Mohon tunggu...
Arrie Boediman La Ede
Arrie Boediman La Ede Mohon Tunggu... Arsitek - : wisdom is earth

| pesyair sontoloyo di titik nol |

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak Lolongan, Luka, Labirin, dan Harapan yang Mati

14 September 2020   18:42 Diperbarui: 14 September 2020   18:44 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(i) lolongan

seharian ini, entah yang kali keberapanya kudengar suara lolongan dari luka hati yang perih;
luka sebagaimana luka yang membuat luka baru bagi yang mendengarnya;

sesorean ini lolongan itu muncul lagi; terdengar semakin panjang bersamaan dengan ratapan-ratapan yang meluruhkan rasa manusiaku, rasa yang membelenggu, membebat akal sehatku;

lalu, bagaimana mungkin mengabaikan lolongan yang memilukan dan mengilukan rasa itu; sementara hati serasa di-iris iris oleh ribuan sembilu yang tak bermata;
 
 (ii) luka

mungkin,
seperti itulah rasa sakit dari luka yang menganga
luka di atas luka
luka yang tak meneteskan darah
luka yang tak akan pernah bisa terlampiaskan hanya dengan lolongan-lolongan, ratapan-ratapan;

(iii) labirin

bahwa, ketika memaknai hidup hanya sebatas apa yang terasa kemarin dan hari ini
maka tak ada artinya hari esok, lusa dan seterusnya

hidup tak sebagaimana yang kita bayangkan, sebagaimana bayang-bayang kita
seperti katamu beberapa saat yang lalu: "hidup saya adalah milik saya, sedemikian pentingkah hidup saya bagimu?"

tetiba, jantung ini serasa berhenti berdetak; kulihat bayang-bayang kegelisahan mengikuti langkahmu; menelan seluruh ragamu tanpa rasa iba sedikitpun.
bayang-bayang itu, kukejar; bayang-bayang itu, berputar-putar dalam lorong yang tak berujung; bayang-bayang itu, dalam sekejap moksa dari tempatnya semula datang
: tempat yang maha gelap;

(iv) harapan yang mati

pada harapan-harapan yang mengangkasa
pada cita-cita yang melambungkan rasa
pada beribu-ribu tuntutan hidup
kulihat engkau semakin terbenam di lumpur yang panas
lumpur yang menjerat

pada bola matamu,
kulihat ada bara yang sedang menyala-nyala, membakar kesadaranmu
kesadaran akan harapan-harapan yang sudah membatu, putus asa
harapan yang akhirnya pergi bersama angin dan kepiluan-kepiluan
di antara keniscayaan sebuah hukum kausa prima;

sumurserambisentul, 14 september 2020
arrie boediman la ede

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun