Mohon tunggu...
Armaja Dinata
Armaja Dinata Mohon Tunggu... Administrasi - Arrey

tak tau sisa waktuku inginku tetap terus menjagamu....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Bukan "Robot"

3 Mei 2019   15:49 Diperbarui: 3 Mei 2019   16:28 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Setiap anak yang lahir ibaratkan kertas putih yang belum tercoret sedikitpun" sebuah teori yang dipelopori  oleh Jhon locke (1632-1704) .Sudut pandang teori ini berpendapat bahwa setiap individu itu merupakan hasil karya lingkungan, dan lingkunganlah  yang akan menentukan akan menjadi apa seseorang tersebut.

Berlawananan dengan teori yang dikemukakan oleh Jhon locke, arthur schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa individu dalam perkembangannya ditentukan dari faktor bawaan yang merupakan turunan dari gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Yang tori ini dikenal dengan teori Nativisme.

Dari kedua pendapat dan teori diatas ada yang mengambil jalan tengah yaitu teori yang dipelopori oleh Louis William Stern yang terkenal dengan teori konvergensi. Dimana dunia pendidikan lebih dapat  menerima pendapat ini.

Dari sudut pandang yang berbeda para ahli berbeda pula mengungkapkan pendapatnya. Hari ini dunia pendidikan mengalami degradasi nilai (Value). Terutama dunia penndidikan Indonesia yang pada saat ini sedang mengalami kegamangan arah. Perubahan kurikulum yang bertubi-tubi menyebabkan tidak jelasnya arah pendidikan yang ingin di capai oleh pemerintah.

Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan instansi pendidikan saja tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Antara pemerintah, sekolah dan masyarakat. Merosotnya nilai-nilai pendidikan yang terjadi ini tidak ter lepas dari peran orang tua yang di era modern ini semakin kehilangan jadi diri sebagai orang tua yang memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan.

Terlebih masyarakat modern, yang menyerahkan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, dan sanggup membayar berapapun untuk mendidik anaknya. Sebagian orang tua di era modern ini beranggapan bahwa pendidikan anaknya cukup disekolah saja. Sebagai orang tua hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan biaya yang dibutruhkan untuk sekolah anaknya.

Tidak jarang akhir-akhir ini kita melihat seorang anak membawa tas yang lebih besar dari tubuhnya penuh dengan buku yang beratnyapun lebih dari beban yang seharusnya ia bawa. Bukan hanya beban bawaan berupa buku tetapi juga beban mental dan tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya me

"Setiap anak yang lahir ibaratkan kertas putih yang belum tercoret sedikitpun" sebuah teori yang dipelopori  oleh Jhon locke (1632-1704) .Sudut pandang teori ini berpendapat bahwa setiap individu itu merupakan hasil karya lingkungan, dan lingkunganlah  yang akan menentukan akan menjadi apa seseorang tersebut.

Berlawananan dengan teori yang dikemukakan oleh Jhon locke, arthur schopenhauer (1788-1860) berpendapat bahwa individu dalam perkembangannya ditentukan dari faktor bawaan yang merupakan turunan dari gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Yang tori ini dikenal dengan teori Nativisme.

Dari kedua pendapat dan teori diatas ada yang mengambil jalan tengah yaitu teori yang dipelopori oleh Louis William Stern yang terkenal dengan teori konvergensi. Dimana dunia pendidikan lebih dapat  menerima pendapat ini.

Dari sudut pandang yang berbeda para ahli berbeda pula mengungkapkan pendapatnya. Hari ini dunia pendidikan mengalami degradasi nilai (Value). Terutama dunia penndidikan Indonesia yang pada saat ini sedang mengalami kegamangan arah. Perubahan kurikulum yang bertubi-tubi menyebabkan tidak jelasnya arah pendidikan yang ingin di capai oleh pemerintah.

Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan instansi pendidikan saja tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Antara pemerintah, sekolah dan masyarakat. Merosotnya nilai-nilai pendidikan yang terjadi ini tidak ter lepas dari peran orang tua yang di era modern ini semakin kehilangan jadi diri sebagai orang tua yang memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan.

Terlebih masyarakat modern, yang menyerahkan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, dan sanggup membayar berapapun untuk mendidik anaknya. Sebagian orang tua di era modern ini beranggapan bahwa pendidikan anaknya cukup disekolah saja. Sebagai orang tua hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan biaya yang dibutruhkan untuk sekolah anaknya.

Tidak jarang akhir-akhir ini kita melihat seorang anak membawa tas yang lebih besar dari tubuhnya penuh dengan buku yang beratnyapun lebih dari beban yang seharusnya ia bawa. Bukan hanya beban bawaan berupa buku tetapi juga beban mental dan tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menjadi pintar dengan alasan "kan bukumu lengkap semua".

Orang tua tidak menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan yang sebenarnya adalah dirumah, pembentukan karakter bukan mutlak menjadi tanggung jawab sekolah tapi merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah dengan pemerintah yang menjadi fasilitator penyedia sarana dan prasarana.

Kita sering menganggap anak cukup dengan disediakan buku dan nanti akan diajarkan oleh guru disekolah. Sementara orang tua yang memegang peran penting dalam pendidikan anaknya sibuk dengan  pekerjaan, tidak jarang brangkat kerja ketika anak masih tertidur dan pulang anak telah tidur kembali. Kapan waktu kita bermain dan mendengarkan keluh kesah mereka. Mendengarkan cerita apa-apa yang mereka lakukan disekolah. Bahkan kita tidak pernah sempat menanyakan belajar apa nak hari ini?...

Mereka bukanlah robot pembawa buku, mereka andalah masa depan yang tetap harus dibimbing, dan diarahkan akan kemana dan apa yang harus mereka perbuat, bahkan terkadang mereka bimbang bagaimana mereka harus berbuat. Tangan dan arahan kita yang mereka harap. Bukan hanya uang dan fasilitas mewah tetapi perhatian dan contoh dari orang tua yang mereka nanti. menjadi pintar dengan alasan "kan bukumu lengkap semua".

Orang tua tidak menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan yang sebenarnya adalah dirumah, pembentukan karakter bukan mutlak menjadi tanggung jawab sekolah tapi merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah dengan pemerintah yang menjadi fasilitator penyedia sarana dan prasarana.

Kita sering menganggap anak cukup dengan disediakan buku dan nanti akan diajarkan oleh guru disekolah. Sementara orang tua yang memegang peran penting dalam pendidikan anaknya sibuk dengan  pekerjaan, tidak jarang brangkat kerja ketika anak masih tertidur dan pulang anak telah tidur kembali. Kapan waktu kita bermain dan mendengarkan keluh kesah mereka. Mendengarkan cerita apa-apa yang mereka lakukan disekolah. Bahkan kita tidak pernah sempat menanyakan belajar apa nak hari ini?...

Mereka bukanlah robot pembawa buku, mereka andalah masa depan yang tetap harus dibimbing, dan diarahkan akan kemana dan apa yang harus mereka perbuat, bahkan terkadang mereka bimbang bagaimana mereka harus berbuat. Tangan dan arahan kita yang mereka harap. Bukan hanya uang dan fasilitas mewah tetapi perhatian dan contoh dari orang tua yang mereka nanti.

Sumber :

https://juliawankomang.wordpress.com/2015/12/01/teori-belajar-menurut-nativisme-empirisme-dan-konvergensi/

Curup, 3 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun