Mohon tunggu...
Kamelia Jedo
Kamelia Jedo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Studied at University of Atma Jaya Yogyakarta since 2009.\r\nTook journalism as my major & media studies as minor...\r\n(I'm learning!)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mari Perangi Konsumerisme!

31 Maret 2011   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya awali tulisan ini dengan deretan huruf yang membentuk satu kata: KONSUMERISME. Kata yang tak asing lagi terdengar saking sering mendengarnya bahkan kita sudah dan sedang mempraktekkannya. Tak disangka, kata yang terlihat begitu sedernaha namun sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? Bagaimana tidak, kata inilah yang merepresentasikan manusia sebagai makhluk yang tak pernah luput dari kebutuhan serta pemenuhannya. Pemenuhan yang terkadang menjadi tumpang tindih karena sebagai subjek, kita tak tahu bahkan sama sekali tak bisa membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan semata. Masalah klasik? Mungkin saja.

13015108211277907096
13015108211277907096
Menarik tentunya dapat belajar lebih banyak mengenai hal-hal yang melekat dengan kehidupan kita. Pelajaran berharga hari ini (30 Maret 2011) yang saya peroleh adalah mengenai konsumerisme. Budaya konsumtif yang seakan sulit dibasmi. Konsumerisme ini menjadi satu topik yang diangkat dalam interaktif talkshow yang tadi pagi berlangsung di kampus IV Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Adapun topik yang dibahas adalah “Consumerism, Media, and Youth Culture” dengan menghadirkan tiga nara sumber masing-masing dari Lembaga Konsumen Yogyakarta (Pak Widijantoro), IMPULSE Yogyakarta (Pak Gutomo Priyatmo) dan Media Watch (Ibu Sirikit Syah). Beruntung bisa ikut hadir dan menimba ilmu di sana!

Tiga topik di atas tentunya sangat berkaitan satu sama lain. Media menjadi sarana promosi yang paling efektif untuk kemudian memunculkan budaya konsumtif bagi orang yang mengkonsumsi media itu sendiri. Yang paling mengerikan adalah anak muda menjadi sasaran utamanya! Sungguh banyak sekali godaan bagi para muda-mudi! Bagaimana ini?

Ternyata tak mudah menjadi orang muda! Mengapa demikian? Karena hanya sedikit saja orang muda yang sudah melek terhadap apa yang ia konsumsi dan apa yang memang dibutuhkannya. Bukan hanya itu, orang muda bahkan orang-orang tua juga tak bisa mengalahkan suatu kekuatan besar dibalik pola konsumsi yang berlebihan dan memboros. Bagaimana tidak, kapitalisme global telah sangat kuat masuk ke kehidupan kita. Kapitalismelah yang senantiasa menghadirkan produk-produk budaya populer dan menjadikannya seolah-olah penting untuk kita. Namun jika dipikir-pikir, tak juga memiliki nilai fungsiobal apa-apa selain kesenangan semata dan pemenuhan keinginan.

[caption id="attachment_98649" align="alignleft" width="300" caption="Kata Pak Gutomo: "Apa yang Anda beli tidak menunjukkan siapa Anda!" Setuju! :D"]

13015108771348278726
13015108771348278726
[/caption] Sekedar sharing, hampir sebulan lalu saya kemudian mengganti mobile phone dengan alasan bosan. Oh, alasan yang sungguh naif dan lucu! Padahal jika dihitung-hitung, mobile phone yang saya ganti itu baru memasuki 6 bulan. Itu artinya baru setengah tahun saya menggantinya namun kembali ingin menggantinya. Iklan Samsung Wave yang saya lihat di Kompas betul-betul memikat hati. Dari situlah kemudian tercetus keinginan kembali berganti mobile phone. Ketika mengalami ini, saya sama sekali tidak memperhitungkan bahwa iklan yang saya lihat di Kompas memang bertujuan untuk menarik perhatian sehingga sulit bagi saya untuk kemudian menghalangai tercapainya keinginan yang satu ini. Pelajan dari talkshow interaktive hari ini membuat saya tersadar bahwa sekali lagi dari sekian banyak kalinya, saya pun begitu dengan mudah termakan iklan. Saya kembali berpikir, tak ada bedanya mengganti atau tidak mengganti mobile phone. Toh, funginya tetap sama: sebagai sarana komunikasi.

Pengalaman di atas ternyata sangat lekat dengan budaya konsumtif, bukan? Benar-benar yang muncul adalah persis seperti apa yang dikatakan oleh Marx: false consciousness. Kapitalisme yang ada akan terus berusaha melanggenggkan false consciousness dalam diri setiap orang sebagai objek dapi kapital itu sendiri untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara menyikapinya? Oke, dijelaskan oleh ketiga nara sumber di atas, bahwa hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan adalah kita sebagai pribadi memposisikan diri kita sebagai subjek dan bukannya sebagai objek dari kapitalisme yang ada. Dengan demikian, kita mampu menentukan pilihan; mana yang memang perlu atau tidak perlu kita konsumsi. Lebih jauh, mulai dini kita perlu belajar memisahkan antara needs dan wants. Yang terakhir namun terpenting untuk diingat adalah bahwa memerangi konsumerisme membutuhkan aksi, bukan sekedar sumpah! Untuk itu, mari sama-sama kita lakukan perlawan kecil mulai dari diri kita masing-masing!

1301510996878703902
1301510996878703902

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun