Ketegangan antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) seperti tak berujung. Sejak perang meletus pada 1950 hingga 1953, kedua negara yang disokong masing-masing sekutunya itu sering terlibat perselisihan.
Teranyar, Korut acapkali melakukan uji coba rudal balistik. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk provokasi terhadap Korsel, beserta sekutunya Amerika Serikat (AS). Karena hal itu pula, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pernah memberikan sanksi keras kepada Korut.
Namun, Korut membela diri. Mereka menegaskan, bahwa uji coba rudal balistik dan pengembangan rudal yang mereka lakukan semata-mata demi menjaga kedaulatan negaranya.
Selama ini, AS dituding kerap melakukan provokasi lebih dulu terhadap Korut. Negeri berhaluan komunis itu berpandangan, provokasi terang-terangan yang dilakukan AS dengan mengadakan latihan perang bersama dengan Korsel, dan Jepang. Pada Juni 2024 misalnya, kapal induk Angkatan Laut AS USS Theodore Roosevelt tiba di pelabuhan Busan, Korsel.
Kedatangan kapal induk itu bagian dari kegiatan latihan perang bersama AS, Korsel dan Jepang. Sejak latihan bersama dilakukan, ketegangan kembali memuncak. Korut yang tak tinggal diam kemudian melesatkan rudal balistik jarak pendek ke arah timur pada Juli 2024 kemarin. Peluncuran rudal dilakukan di daerah Jangyon, Provinsi Hwangahe Selatan sekira pukul 05.05 waktu setempat. Kemudian, rudal kedua kembali melesat sekira pukul 05.15.
Meski perang nuklir di Semenanjung Korea ini tidak berdampak langsung dengan Indonesia, namun kita harus tetap berhati-hati. Sebab, jika perang nuklir meletus, tidak tertutup kemungkinan wilayah Indonesia bisa terpapar radiasi nuklir. Hal itu pernah disampaikan oleh Direktur Keteknikan dan Kesiapsiagaan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Dedik Eko Sumargo. Dalam sebuah wawancara tahun 2017 silam, Dedik mengatakan bahwa bisa saja Indonesia terpapar radiasi nuklir karena tiupan angin.
"Sudah ditakdirkan angin di belahan utara akan berbenturan dengan angin bagian Selatan. Itu kemudian akan bertemu di wilayah ekuatorial (khalustiwa/Indonesia)," kata Dedik, selepas bertemu Menkopolhukam Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (27/9/2017) silam. Apa yang disampaikan Dedik itu ada kaitannya dengan ancaman Korut yang akan menyerang wilayah Guam, yang dikuasai AS. Letaknya berada di perairan samudera pasifik, sebelah timur laut Indonesia.
Jika saja radiasi nuklir itu terjadi, maka dampaknya akan sangat mematikan bagi manusia. Seperti diketahui bersama, bahwa kadar radiasi nuklir itu berada pada ambang 30 Rad (satuan radiasi), hingga di atas 1.000 Rad. Bila kadar radiasinya 30 Rad, gejala yang timbul pada manusia berupa muntah, mual dan diare. Namun, jika paparannya mencapai di atas 300 Rad, atau 1.000 Rad, maka bisa menyebabkan kematian, yang diawali dengan kerontokan rambut, kerusakan sel saraf, gangguan sistem pencernaan, dan rasa sakit yang luar biasa pada tubuh.
Karena alasan ini pula, Indonesia patut bersiap diri. Tahun 2019 lalu, sempat ada kabar bahwa Bapeten akan memasang 126 radiation data monitoring system (RDPMS) di seluruh stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Indonesia. Dari 126 yang akan dipasang itu, 15 RDMS sudah berdiri. Tujuannya, untuk mendeteksi dan memantau radiasi nuklir di lingkungan. Pemasangan RDPMS ini juga dibarengi dengan pemasangan radiation portal monitor (RPM). RPM akan dipasang di seluruh pelabuhan yang ada di Indonesia. Namun saat itu, yang baru terpasang ada 7. Beberapa diantaranya sudah berdiri di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Pelabuhan Batu Ampar di Batam, dan Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara (sumber: Kompas.com).
Meski sudah ada antisipasi dini terhadap kemungkinan paparan nuklir tersebut, Indonesia juga perlu mengetahui cara mengobatinya. Agar orang-orang yang kelak terpapar radiasi nuklir bisa ditangani dengan baik. Indonesia juga perlu memastikan ketersediaan obat dan tempat perawatan, jika nantinya 'mimpi buruk' ini benar-benar terjadi, dan menimpa masyarakat kita.
Mendorong Denuklirisasi
Demi mencegah terjadinya perang nuklir, beberapa negara seperti Korut, Korsel, AS, China, Jepang, dan Rusia pernah mengadakan perundingan multilateral yang disebut Six-Party Talks yang dimulai tahun 2003. Dalam perundingan itu, dicari solusi bagaimana menghentikan krisis nuklir antarnegara yang terlibat ketegangan. Tahun 2005, Korut sepakat mengakhiri program nuklirnya dengan imbalan bantuan energi dan jaminan keamanan dari AS. Namun kesepakatan itu akhirnya terhenti tahun 2009.
Ketegangan pun kembali memuncak di Semenanjung Korea, hingga kemudian Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un bertemu di tahun 2018 dan 2019. Kedua pemimpin itu membicarakan denuklirsasi yang sempat terhenti beberapa tahun lalu. Sayangnya, karena adanya perbedaan pendapat soal denuklirisasi ini, hubungan kedua negara kembali merenggang. Keduanya saling tebar ancaman, hingga membuat was-was sejumlah negara di kawasan Asia Timur.
Melihat sejarah panjang rencana denuklirisasi ini, Indonesia, sebagai negara yang punya hubungan baik dengan Korut dan Korsel bisa ambil bagian dalam mendorong rencana denuklirisasi yang sempat terhenti tersebut. Indonesia bisa menjadi penengah bagi kedua negara yang terus terlibat ketegangan.
Sebagai negara non blok, Indonesia juga bisa meminta bantuan China dan Rusia, selaku penyokong Korut, dan juga AS selaku sekutu Korsel. Atau setidak-tidaknya, Indonesia bisa mendorong terlaksananya kembali pertemuan multilateral yang sudah pernah berjalan beberapa tahun lalu, demi mencegah terjadinya perang nuklir di Semenanjung Korea.
Peran Para Diplomat
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia memiliki sejumlah diplomat yang ditempatkan baik di Korea Utara maupun di Korea Selatan. Peran para diplomat ini sangat penting dalam memetakan situasi terkini antarkedua negara. Para diplomat bisa membantu negara dalam memberikan masukan, serta mengambil keputusan, jika sewaktu-waktu perang nuklir terjadi.
Di Korea Selatan misalnya, saat ini terdapat 61.000 warga negara Indonesia, yang 91 persen diantaranya merupakan pekerja migran. Jika perang nuklir terjadi, tentu WNI yang ada di Korea Selatan wajib diperhatikan keselamatannya. Begitu juga dengan WNI yang ada di Korea Utara, mesti dipikirkan bersama bagaimana nasibnya kelak.
Maka dari itu, penting pula untuk memetakan seperti apa langkah Indonesia kedepan jika perang meletus antara Korut dan Korsel. Perlu dipikirkan bersama bagaimana langkah dan upaya dalam mengevakuasi para WNI ini, jika hal yang tidak diinginkan terjadi. Sebab seperti diketahui, ketika perang meletus, tentu semua akan sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Orang-orang yang ada di negara perang akan sulit keluar dari tempat itu, mengingat situasi yang kacau balau akibat pertempuran. Kedepan, Indonesia sudah bisa melakukan pemetaan kondisi terkini di Korut dan Korsel. Perlu adanya pendataan ulang WNI yang ada di kedua negara. Lalu memikirkan bagaimana jalur evakuasi bila perang nuklir meletus. Sehingga ketika perang nuklir benar-benar terjadi, negara bisa cepat mengambil langkah taktis menyelamatkan warganya dari ancaman yang terjadi.(ray)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H