Demi mencegah terjadinya perang nuklir, beberapa negara seperti Korut, Korsel, AS, China, Jepang, dan Rusia pernah mengadakan perundingan multilateral yang disebut Six-Party Talks yang dimulai tahun 2003. Dalam perundingan itu, dicari solusi bagaimana menghentikan krisis nuklir antarnegara yang terlibat ketegangan. Tahun 2005, Korut sepakat mengakhiri program nuklirnya dengan imbalan bantuan energi dan jaminan keamanan dari AS. Namun kesepakatan itu akhirnya terhenti tahun 2009.
Ketegangan pun kembali memuncak di Semenanjung Korea, hingga kemudian Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un bertemu di tahun 2018 dan 2019. Kedua pemimpin itu membicarakan denuklirsasi yang sempat terhenti beberapa tahun lalu. Sayangnya, karena adanya perbedaan pendapat soal denuklirisasi ini, hubungan kedua negara kembali merenggang. Keduanya saling tebar ancaman, hingga membuat was-was sejumlah negara di kawasan Asia Timur.
Melihat sejarah panjang rencana denuklirisasi ini, Indonesia, sebagai negara yang punya hubungan baik dengan Korut dan Korsel bisa ambil bagian dalam mendorong rencana denuklirisasi yang sempat terhenti tersebut. Indonesia bisa menjadi penengah bagi kedua negara yang terus terlibat ketegangan.
Sebagai negara non blok, Indonesia juga bisa meminta bantuan China dan Rusia, selaku penyokong Korut, dan juga AS selaku sekutu Korsel. Atau setidak-tidaknya, Indonesia bisa mendorong terlaksananya kembali pertemuan multilateral yang sudah pernah berjalan beberapa tahun lalu, demi mencegah terjadinya perang nuklir di Semenanjung Korea.
Peran Para Diplomat
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia memiliki sejumlah diplomat yang ditempatkan baik di Korea Utara maupun di Korea Selatan. Peran para diplomat ini sangat penting dalam memetakan situasi terkini antarkedua negara. Para diplomat bisa membantu negara dalam memberikan masukan, serta mengambil keputusan, jika sewaktu-waktu perang nuklir terjadi.
Di Korea Selatan misalnya, saat ini terdapat 61.000 warga negara Indonesia, yang 91 persen diantaranya merupakan pekerja migran. Jika perang nuklir terjadi, tentu WNI yang ada di Korea Selatan wajib diperhatikan keselamatannya. Begitu juga dengan WNI yang ada di Korea Utara, mesti dipikirkan bersama bagaimana nasibnya kelak.
Maka dari itu, penting pula untuk memetakan seperti apa langkah Indonesia kedepan jika perang meletus antara Korut dan Korsel. Perlu dipikirkan bersama bagaimana langkah dan upaya dalam mengevakuasi para WNI ini, jika hal yang tidak diinginkan terjadi. Sebab seperti diketahui, ketika perang meletus, tentu semua akan sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Orang-orang yang ada di negara perang akan sulit keluar dari tempat itu, mengingat situasi yang kacau balau akibat pertempuran. Kedepan, Indonesia sudah bisa melakukan pemetaan kondisi terkini di Korut dan Korsel. Perlu adanya pendataan ulang WNI yang ada di kedua negara. Lalu memikirkan bagaimana jalur evakuasi bila perang nuklir meletus. Sehingga ketika perang nuklir benar-benar terjadi, negara bisa cepat mengambil langkah taktis menyelamatkan warganya dari ancaman yang terjadi.(ray)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H