Mohon tunggu...
Array Anarcho
Array Anarcho Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Budak korporat yang lagi berjuang hidup dari remah-remah kemegahan dunia. Sekarang ini lagi dan terus belajar menulis. “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. – Imam Al-Ghazali.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bau-bau "Orde Baru" dalam Draf RUU Penyiaran

13 Mei 2024   21:41 Diperbarui: 15 Mei 2024   15:19 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Draf Revisi Undang-undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas DPR RI menuai polemik. Draf RUU tersebut memuat pasal dan poin yang dinilai mengancam kebebasan pers. Satu diantara pasal yang saat ini tengah dibahas kalangan jurnalis adalah Pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Tak pelak, rancangan undang-undang ini bikin 'gerah' kalangan jurnalis. Selain dianggap sebagai bentuk kemunduran kemerdekaan pers, produk hukum yang tengah dibahas DPR RI ini juga dinilai bentuk pembungkaman nyata terhadap penyampaian informasi kepada masyarakat.

Yang jadi pertanyaan, siapa sih yang mengusulkan isi pasal tersebut? Atau jangan-jangan yang mengusulkan isi pasal Draf RUU itu adalah mereka yang punya masalah hukum? Atau pula mereka yang mengusulkan poin ini punya usaha ilegal yang suatu waktu takut diinvestigasi awak media? Karena pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan berkelindan di kepala, penulis sendiri penasaran dengan sosok yang mengusulkan poin tersebut. Apa motif yang mendasari munculnya gagasan pelarangan penayangan jurnalistik investigasi. 

Sayangnya, anggota DPR RI yang ditanyai soal motif usulan poin tersebut belum bisa menjawabnya dengan tegas. Dilansir dari BBC, Anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan tidak ada niatan untuk memberangus kebebasan pers. Tapi faktanya, banyak pihak menilai, termasuk kalangan jurnalis, bahwa isi pasal pada poin tersebut menjurus kepada pembungkaman pers. Karena kencangnya kritikan terhadap isi pasal pada Draf RUU dimaksud, Dave kemudian mengatakan, bahwa masukan-masukan yang muncul itu akan membantu pembahasan RRU ini menjadi lebih "sempurna".

Karena pasal ini pula, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bereaksi keras. Sekretaris AJI Indonesia, Bayu Wardhana merasa aneh dengan isi pasal tersebut. Menurut Bayu, pasal yang ada di dalam Draf RUU Penyiaran itu dikhawatirkan akan berdampak pada penyampaian informasi yang nantinya diterima masyarakat. Publik, kata Bayu, mungkin hanya akan menerima informasi yang sifatnya cuma seremoni dan rilis belaka. Padahal, masyarakat sendiri berhak mendapatkan informasi yang kritis tentang beragam peristiwa dan kondisi terkini di Tanah Air. 

"Saya khawatir semakin mati ruang publik kita," kata Bayu. Apa yang disampaikan Bayu juga diamini oleh Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya Utomo. Katanya, keberadaan Pasal 56 ayat 2 poin c ini justru menjadi ancaman kebebasan pers. Menurut hemat penulis, sudah semestinya pasal ini dihapus. Sebab, jika pasal tersebut disahkan, masyarakat dipastikan tidak akan mendapatkan informasi investigasi yang bermutu.

Sebagai contoh, mungkin masyarakat tidak akan mendapatkan informasi soal penayangan berita menyangkut korupsi oknum pejabat, misalnya. Atau menyangkut usaha ilegal yang mungkin saja melibatkan oknum aparat penegak hukum. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa di Indonesia, banyak sekali oknum pejabat dan oknum aparat yang tidak takut dengan Tuhan. Seperti kata Pengamat Politik dan Pertahanan Salim Said, bahwa pejabat di Indonesia ini ketika dilantik diambil sumpahnya secara agama dan atas nama Tuhan. Tapi faktanya, masih ada juga yang melakukan korupsi. Bahkan biadabnya, masih ada yang tega mengorupsi dana bencana, atau korupsi di masa pandemi Covid-19.

Sungguh, hal-hal seperti ini, jika tidak dikritisi, maka rusaklah negara ini. Indonesia akan terus mengalami kemunduran, karena pilar keempat demokrasi sudah dibatasi ruang geraknya. Mereka yang mungkin hidup bergelimang harta dari hasil merampas uang rakyat bisa berleha-leha, karena tidak ada lagi yang mengkritisi. Dengan alfanya kehadiran pers, masyarakat pun tidak terpenuhi haknya dalam mendapatkan informasi yang bermutu dan bersifat kekinian.

Upaya Melemahkan Dewan Pers

Bukan cuma Pasal 56 ayat 2 poin c itu saja yang menjadi kekhawatiran kalangan jurnalis. Ada satu pasal lain yang menurut banyak pihak, termasuk kalangan jurnalis, bisa melemahkan Dewan Pers. Adapun pasal tersebut yakni Pasal 25 ayat 1 butir q. Isinya, menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Informasi (KPI) berwenang "menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran". Padahal selama ini sengketa jurnalistik itu selalu ditangani oleh Dewan Pers. Tidak jelas pula siapa yang mengusulkan aturan ini, dan apa alasannya. Sehingga pasal ini juga mestinya dicabut. Karena menurut Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, masalah sengketa pers itu sudah menjadi ranahnya Dewan Pers.

Lantaran pasal-pasal ini dianggap mengancam kebebasan pers, tak sedikit pula yang menganggap bahwa aturan ini kental dengan nuansa 'orde baru'. Meski pihak terkait membantahnya, tapi fakta dari pasal-pasal ini jelas dan terang mengarah kepada pembungkaman pers. Sehingga pasal-pasal bermasalah ini sudah sepatutnya dan semestinya segera dicabut. Dan yang perlu digarisbawahi, bahwa kalangan jurnalis bukan menolak isi keseluruhan Draf RUU Penyiaran itu, tapi lebih kepada pasal-pasal bermasalahnya saja.

Libatkan Dewan Pers

Agar Draf RUU Penyiaran ini tidak bertabrakan dengan kemerdekaan pers, tentunya DPR RI mestinya melibatkan Dewan Pers dan organisasi jurnalis. Banyak organsiasi jurnalis yang bisa diajak berdiskusi berkenaan dengan penyusunan RUU ini. Sebut saja misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Atau bisa juga Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Kedua organisasi ini bisa dimintai pendapatnya terkait RUU tersebut. Namun begitu, semua tergantung pada DPR RI. Jika semangatnya memang bukan untuk memberangus kemerdekaan pers, maka DPR RI sudah sepantasnya merangkul Dewan Pers dan organisasi jurnalis yang ada di Indonesia. Tapi jika semangatnya justru kebalikan dari itu semua, penulis sendiri sudah tak bisa berkata-kata lagi. Semoga Draf RUU Penyiaran ini tidak menjadi batu sandungan bagi kalangan jurnalis dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan informasi ke masyarakat kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun