Mohon tunggu...
Array Anarcho
Array Anarcho Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Budak korporat yang lagi berjuang hidup dari remah-remah kemegahan dunia. Sekarang ini lagi dan terus belajar menulis. “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. – Imam Al-Ghazali.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pentingnya Memahami Hukum Pers dan Kode Etik, Agar Tak Dicap Jurnalis Abal-abal

7 Mei 2024   19:26 Diperbarui: 7 Mei 2024   19:26 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini dibuat jelang pelaksanaan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Aceh pada Juni 2023 lalu

Bagi sebahagian orang, khususnya masyarakat awam, profesi jurnalis atau wartawan acapkali masih dipandang sebelah mata. Hal ini tak terlepas dari banyaknya sejumlah oknum yang kerap menyalahgunakan profesi jurnalis atau wartawan, untuk melakukan tindakan-tindakan di luar ketentuan. Sering kita dengar, bahwa ada saja oknum yang mengaku-ngaku sebagai wartawan atau jurnalis, demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Sebut saja jurnalis atau wartawan 'bodrex', alias wartawan abal-abal. Hampir di setiap daerah di Indonesia, ada saja oknum-oknum semacam ini yang kerap menodai profesi jurnalis. Berbekal kartu pers buatan sendiri dengan modus konfirmasi, oknum wartawan abal-abal ini kerap melakukan pengancaman, bahkan pemerasan berdalih pemberitaan.

Pernah ada satu kasus di Sumatra Utara, persisnya di Kota Siantar. Seorang pria yang mengaku sebagai pimpinan media online bernama Mara Salem Harahap alias Marsal mati ditembak oknum TNI Praka AS. Oknum TNI AD itu adalah suruhan mantan calon Wali Kota Siantar, yang juga pengusaha hiburan malam. Pada Sabtu, 19 Juni 2021 silam, Marsal yang hendak pulang ke rumahnya di Nagori Karang Anyer, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun ditembak pada bagian kakinya oleh Praka AS.

Nahas, setelah ditembak tak jauh dari rumahnya, Marsal tewas karena pembuluh darah di kakinya robek tertembus timah panas. Kasus ini pun sempat menggemparkan warga Kota Siantar, khususnya jurnalis di Sumatra Utara. Tapi belakangan, terungkap fakta bahwa tindakan pembunuhan ini karena korban membuat mantan calon Wali Kota Siantar, Sudjito alias Gito geram. Pengusaha hiburan malam di Kota Siantar ini kesal, karena diperas oleh Marsal setelah ditakut-takuti akan diberitakan.

Dari penuturan Gito, Marsal meminta jatah dua butir pil ekstasi setiap hari, dengan akumulasi perhitungan perbutir Rp 200 ribu. Jika dikalkulasikan, maka satu bulan Gito harus menyetor Rp 12 juta kepada Marsal. Karena hal itu pula, Gito kemudian meminta oknum TNI AD memberikan pelajaran kepada Marsal, hingga oknum yang mengaku sebagai pimpinan media online ini tewas usai ditembak.

Dari kasus tersebut, dapat diambil pembelajaran, bahwa masih ada saja segelintir oknum yang memanfaatkan profesi wartawan. Menurut penulis, peristiwa semacam ini tak terlepas dari minimnya pengetahuan oknum tersebut terhadap hukum pers dan kode etik jurnalistik. Di sisi lain, motivasi dari pada oknum semacam ini memang sudah salah sejak awal.

Akibat diduga menganggur dan tak punya pekerjaan tetap, muncullah wartawan abal-abal ini. Bermodalkan pengetahuan menulis yang ala kadarnya, dan jaringan di warung kopi, keberadaan wartawan abal-abal ini makin eksis. Tak heran, jika profesi jurnalis atau wartawan kerap kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat awam.

Pentingnya Memahami Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik

Berkaca dari kasus di atas, tentu sebagai jurnalis yang benar-benar menjalankan tugasnya dalam menyampaikan informasi haruslah memahami tentang hukum pers dan kode etik jurnalistik. Dalam hukum pers, ada poin yang menegaskan, bahwa individu dan media dijamin dalam menyampaikan informasi tanpa campur tangan pihak ketiga yang berkepentingan.

Namun, poin ini kerap kali disalahartikan oleh sebahagian orang. Tak sedikit yang beranggapan, bahwa pers memiliki kebebasan sebebas-bebasnya memberitakan apa saja. Kerap kali oknum berbuat semaunya. Padahal, dalam poin lainnya ditegaskan, bahwa pers juga harus bertanggungjawab terhadap informasi yang disampaikan. Pers atau media harus benar-benar memastikan, bahwa informasi yang disampaikan itu akurat dan berimbang. Tidak berlandaskan hanya pada sangkaan tak berdasar.  

Tidak hanya itu, pers juga harus memahami tentang hak privasi individu. Pers tidak boleh sembarangan membeberkan informasi pribadi tanpa izin yang sah. Misal, jurnalis tidak boleh mengunggah kartu identitas atau kartu tanda penduduk (KTP) seseorang, yang tidak ada kaitannya dengan pemberitaan dan kepentingan masyarakat luas.

Kemudian, pers juga harus memahami, bahwa ada situasi dimana kebebasan pers dapat dibatasi demi kepentingan umum. Contoh, jika ada terjadi konflik agama atau perang saudara yang dapat meruntuhkan satu negara. Maka pers sudah sepatutnya bisa memilah dan memilih, serta menimbang informasi seperti apa yang harusnya dipublikasikan. Jangan sampai informasi yang kita sampaikan justru menjadi pemicu konflik yang semakin luas di tengah masyarakat.

Berangkat dari hal tersebut, tentunya jurnalis atau wartawan juga sepatutnya mematuhi rambu-rambu yang ada di kode etik jurnalistik. Dalam 11 poin kode etik jurnalistik itu sudah jelas dan terang, bagaimana semestinya jurnalis dalam bertindak menjalankan tugasnya. Jangan sampai produk pemberitaan yang disajikan justru bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam 11 poin kode etik tersebut.

Perlunya UKJ dan Peran Dewan Pers

Agar jurnalis dan wartawan professional dalam menjalankan tugasnya, tentu penting rasanya untuk mengikuti uji kompetensi jurnalis (UKJ). Kegiatan ini sepatutnya menjadi wadah atau tempat bagi kalangan jurnalis, dalam merefresh kembali aturan dan acuan saat menjalankan tugasnya sehari-hari. Besar harapan, bahwa kegiatan UKJ tidak hanya menjadi kegiatan seremonial belaka.

AJI (Aliansi Jurnalis Independen), sebagai lembaga dan organisasi pers yang konsern dalam mendorong lahirnya jurnalis profesional, diharap terus dapat melakukan pelatihan dan kegiatan yang dapat menambah wawasan kalangan jurnalis. AJI juga diharap dapat memberikan masukan dan dorongan kepada Dewan Pers, untuk terus melakukan sosialisasi berkenaan dengan hukum pers dan kode etik jurnalistik, terkhusus kepada pihak-pihak yang mungkin akan mendirikan media baru.

Sebab, lahirnya media baru tanpa pemahaman hukum pers dan kode etik yang jelas, dikhawatirkan dapat melahirkan jurnalis atau wartawan yang tidak kompeten. Sehingga, bilamana muncul media yang hanya mementingkan sisi bisnis saja, niscaya harapan untuk memperbaiki mental dan melahirkan jurnalis yang profesional hanya akan menjadi angan-angan belaka.(ray)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun