Tulisan ini dibuat jelang pelaksanaan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Aceh pada Juni 2023 lalu.
Jurnalis dalam menjalankan tugasnya selalu dituntut untuk profesional. Selain harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam bidang pers, jurnalis juga sepatutnya memiliki kesejahteraan yang layak. Sebab, jika kesejahteraan jurnalis tidak dijamin oleh perusahaan tempatnya bekerja, tidak tertutup kemungkinan masalah ini akan mempengaruhi profesionalitas jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, dari 47.000 media yang tersebar di Idonesia berdasarkan catatan Dewan Pers, masih ada media yang menggaji jurnalis atau wartawannya di bawah upah minimum kota (UMK) atau upah minimum regional (UMR). Bahkan, masih ada media yang tidak menggaji jurnalisnya. Masalah ini kemudian menimbulkan kesenjangan di kalangan jurnalis. Sehingga, jurnalis yang bertugas di lapangan, acapkali ditemukan menjalani peran ganda.
Di satu sisi, jurnalis tersebut bekerja mencari berita. Di sisi lain, ia bahkan berperan layaknya seorang marketing. Padahal, tindakan seperti ini menurut hemat penulis salah. Sebab, jika seorang jurnalis turut berperan sebagai marketing yang mencari income untuk perusahaan, dapat dipastikan tidak akan pernah profesional dalam menjalankan tugasnya. Karena daya kritisnya akan hilang akibat lobi-lobi masalah pemberitaan.
Untuk mengatasi masalah ini, tentu perlu adanya peran pengawasan dari Dewan Pers. Lembaga negara yang ditunjuk untuk melindungi kemerdekaan pers ini juga sepatutnya rutin melakukan kajian terhadap persoalan kesejahteraan jurnalis. Dalam Pasal 15 ayat (4) UU Pers poin b disebutkan, bahwa Dewan Pers memiliki fungsi melakukan pengkajian dan untuk pengembangan kehidupan pers. Menurut hemat penulis, 'pengembangan kehidupan pers' juga tak luput dari masalah kesejahteraan.
Namun faktanya, sampai sekarang belum ada formulasi khusus untuk menyelesaikan masalah kesejahteraan ini. Padahal, sejak tahun 2006 lalu, mantan Ketua AJI Abdul Manan pernah memberi masukan, bahwa standar gaji jurnalis itu semestinya tiga kali dari UMP (Upah Minimum Provinsi). Harapannya, semata-mata agar jurnalis bisa bekerja secara profesional, sebanding dengan risiko pekerjaan yang akan ditanggung.
Sayangnya, masukan AJI tersebut belum terlaksana hingga saat ini. Sebab, Dewan Pers kala itu beralasan, bahwa penggajian jurnalis tergantung kondisi daerah dan keuangan perusahaan. Padahal, untuk mendirikan media, minimal harus punya modal awal yang cukup kuat. Ini pula yang mestinya menjadi catatan kedepan, agar ketika ada yang ingin mendirikan media, masalah ini harus dijadikan pertimbangan sebagai bahan evaluasi penerbitan izin dari Dewan Pers.
Tantangan di Tahun Politik
Karena saat ini sudah memasuki tahun politik, media-media baru pun mulai bermunculan. Apakah itu media cetak, atau umumnya media online. Kemunculan media baru di tahun politik ini juga erat kaitannya dengan masalah profesionalisme. Ada dugaan, bahwa kemunculan beberapa media saat ini hanya akan menjadi buzzer politik partai ataupun calon tertentu. Dengan bermodalkan media online alakadarnya, calon legislatif dapat menekan ongkos publikasi,
Paling tidak, mereka akan menggunakan media onlinenya sendiri sebagai sarana kampanye, yang memungkinkan di dalamnya akan melibatkan peran jurnalis. Melihat persoalan yang ada di depan mata, tentu Dewan Pers juga harus melakukan pengawasan secara ketat. Jangan sampai jurnalis malah menjadi tim kampanye calon atau partai politik tertentu. AJI, sebagai lembaga pers independen, sudah jauh hari memberikan 'warning' kepada seluruh anggotanya.
Langkah ini perlu dilakukan, mengingat godaan dari pihak tertentu sangat menggiurkan untuk menghasilkan pundi-pundi penghasilan secara mudah. Dewan Pers, harus membuat aturan yang jelas menyangkut masalah ini. Jangan sampai media atau jurnalis menjadi partisan partai atau calon tertentu di tahun politik yang mulai menghangat seperti sekarang. Ada kekhawatiran, bahwa jurnalis akan terjerumus dalam pusara politik tanpa ia sadari. Mulanya, mungkin hanya diminta memuat rilis kegiatan partai atau calon legislatif. Tapi lama kelamaan, bisa saja jurnalis menjadi bagian tim sukes partai atau calon tertentu.
Menanamkan Nilai AJI
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai organisasi pers konstituen Dewan Pers, perlu kembali mengingatkan seluruh anggotanya untuk tetap menanamkan nilai-nilai ke-AJI-an. Terkhusus di tahun politik seperti sekarang ini, sudah sepatutnya seluruh anggota AJI menjunjung tinggi nilai independensi. Jangan sampai terpengaruh dengan kepentingan politik pihak tertentu. Sebab, pengaruh politik ini kadangkala tanpa kita sadari turut mempengaruhi karya jurnalistik yang kita hasilkan.
Jangan sampai jurnalis malah menjadi tim kampanye partai atau calon tertentu. Jika hal ini terjadi, otomatis profesionalitas akan tergadai. Cita-cita untuk menjadikan jurnalisme yang berkualitas barangkali tidak akan tercapai, jika jurnalisnya sendiri tidak patuh dan taat terhadap kode etik yang ada. AJI, diharap terus mendorong anggotanya untuk menanamkan nilai-nilai ke-AJI-an, utamanya menyangkut independensi dan akuntabilitas.
Bukan hanya itu, AJI juga diharap bisa terus mendorong seluruh anggotanya untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis partai ataupun calon tertentu. Sehingga, AJI sebagai wadah organisasi yang sudah mendapatkan pengakuan internasional bisa terus mendapatkan kepercayaan publik, sebagai lembaga yang mampu menghasilkan jurnalis andal berintegritas dan profesional.(ray)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H