Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Riya Idul Fitri

8 Juli 2016   23:44 Diperbarui: 8 Juli 2016   23:50 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebaran udah lewat beberapa hari. Tapi semaraknya masih kentara terasa. Riuh-riuh suasana lebaran masih bisa disaksikan dari beberapa peralihan suasana keramaian. Pusat keramaian di Kota besar semisal jakarta, tempat merantau orang-orang dari berbagai penjuru nusantara, menjadi sepi ditinggal mudik warganya. 

Keramaian itu beralih ke kampung, desa-desa, dan pelosok wilayah lainnya. Sebagian besar mal di jakarta untuk sementara pada beberapa hari lebaran sedikit lengang. Beralih ma-mal dan pusat perbelanjaan di sekitar pinggiran desa mendadak diserbu warga yang jarang atau belum pernah ke mal. Mal atau berbagai pusat perbelanjaan diramaikan nenek-nenek berkebaya, berciput, disandal selop kayu, atau aki-aki berkampret dengan kopiah miring dikit. 

Komplek perumahan yang sebagian besar warganya perantau mendadak sepi, dan komplek pemakaman lah yang giliran diserbu keramaian penziarah. Jalan-jalan ibukota yang tiap harinya dihiasi kemacetan, menjadi bebas hambatan macam jalan tol, dan kemacetan terjadi di jalan-jalan penghubung kota propinsi, jalan alternatif, hingga jalan-jalan tikus.

Itu semarak lebaran yang masih terasa. Dan kita tidak akan bahas sisa semarak lebaran yang lainnya. Ini saja, sesuai judulnya hari riya idul fitri, kita akan mengupat mengenai riya di hari idul fitri. Loh, ko mengupat? Makan ketupat pakai opor? Istilah ngupat bagi orang sunda bisa bermakna makan ketupat. Namun ada makna lainnya juga, ngupat hampir sama dengan menggunjing alisa menggibah. Jadi kita akan menggunjingkan yang riya di hari idul fitri.

Idul fitri itu hari raya, bukan hari riya. Tapi kok ada hari riya idul fitri? Ah itu plesetan, tapi bukan berniat melecehkan makna kesakralan idul fitri. Tergelitik membahas oknum yang memiliki hasrat berlebihan, alias lebay di hari idul fitri. Ya, itu mereka yang riya di hari idul fitri. Kok niat banget sih ngusilin bahas orang riya. 

Ya tergelitik aja, saya, kita dan bukan tak mungkin banyak di antara anda sekalian yang pernah terserang wabah penyakit hati ini. Sifat manusia yang ingin dipuji, disanjung dan dianggap lebih ekslusif dibanding yang lain memang sudah jadi bagian sifat dasar manusia seperti halnya esteem need atau need achievement dalam ilmu sosial.

Kita bahas dulu pengertian riya. Dalam istilah islam, makna riya didefinisikan kurang lebih hasrat atau perilaku manusia yang ingin disanjung, dipuji, dianggap wah, dan dianggap superior di banding orang lain. Sifat yang satu ini hampir satu rumpun dengan sifat sombong, pamer, narsis, eksibisionis, dan arogan. Sampai di sini sudah faham kan pengertian riya ini? Kalau belum, tanya saja mbah gugel.

Kok ada ya orang yang menjadikan momen idul fitri sebagai ajang unjuk riya. Bukan ada lagi, tapi buaanyak. Anda mungkin termasuk? Tipe orang macam apa sajakah itu? Ini bukan bicara mengenai tuduh menuduh seseorang riya, tetapi kita tergelitik mencermatinya dilihat dari indikator atau ciri-cirinya.

Pertama, mantan jones. Lebaran tahun lalu mudik pulkam atau kunjungan ke sanak kerabat dia seperti uji nyali, datang sendirian. Lebaran tahun ini beda lagi, datang barengan pasangan. Momen kunjungan silaturahim ke ortu dan kerabat dijadikan ajang memamerkan si cinta sekaligus ajang balas dendam. 

Dalam hati, “mana loh orang yang lebaran taun lalu nanya seolah sambil ngejek, mana pasangannya, kapan nikah, dll”. Apalagi kalau si cinta cakep, kece badai, tentunya suatu yang wuaah memamerkan si cinta. 

Keluarga sekampung bakal gempar, mantan jones bawa bidadari ke desa. Kembang desa mendadak kembang kempis, sebab si kumbang sudah dapat idaman hati dari desa atawa kota lain. Apa ini tipe riya? Bisa ya bisa juga ndak, tergantung niat dan kesempatan si pelaku.

Kedua, mantan pengangguran. Kalau lebaran tahun lalu mudik seadanya, minus penampilan necis, tidak bagi-bagi angpau, datang naik sandal jepit, malah di kumpulan keluarga besar mirip penampakan yang datang sekelebat lalu menghilang tak ketahuan. Lebaran tahun ini dia tampil necis, penampilan wow, kendaraan mengkilat, bagi-bagi angpauw. Terus bagaimana tipikal ini bisa dikatakan riya? Sekali lagi, tergantung niat dan kesempatan si pelaku. Bisa ya bisa tidak.

Ketiga, pengusaha sukses. Ini macam seorang pengusaha, entah itu lingkup usahanya besar atau kecil. Entah itu broker, agen, sampai pedagang kecil. Secara di lebaran taun lalu ketika usahanya belum lancar dan ada kemajuan, sikapnya biasa saja, ditandai dengan rendah hati, bila bicara apa adanya membumi alias merendah. Tetapi di lebaran tahun ini bicaranya ada perbedaan, dan bahkan dari sikapnya ada tendensi seolah memamerkan pencapaiannya dengan maksud dan tujuan ingin dipuji, disanjung dan dianggap wuaaah. Dan masih banyak lagi contoh yang bisa diindikatorkan sebagai riya.

Parameter seseorang dapat dikategorikan riya memang rada susah gampang. Tapi bisa lah dicermati dari gerak gerik, sikap dan pembicaraannya. Ciri-cirinya apabila dia bersikap dan berbicara campur baur antara lebay, pamer, narsis dan unjuk pencapaian. Biasanya membesar-besarkan hal yang kecil tentang keberhasilan, kesuksesan dan apa yang dia punya. Dalam nada bicaranya terkesan ada semacam melecehkan. Ketika berbicara tidak mau kalah dan tersaingi oleh mereka yang tingkatannya lebih dari dia, baik dari kesuksesan maupun dari tingkat ekonomi.

Seperti halnya kenaikan harga BBM yang akan membawa dampak efek gaple (domino), riya juga bisa menyebabkan efek domino. Stop, terlalu ekonomi lah menganalogikan efek riya. Kita ganti saja dengan analogi kedokteran. Begini, riya itu seperti virus flu yang bisa menyebar baik disengaja maupun tak disengaja, malah bisa sampai ada komplikasi dengan penyakit lainnya. 

Kita ambil misal, kalau seorang anak yang merantau ke kota pas pulang mudik ke kampung halaman dia sudah sukses, lalu dia memamerkan hasil pencapaian kesuksesannya dengan ada niat indikasi riya, sombong atau arogan. Secara tidak langsung, orangtuanya ketularan riya. Contohnya ketika si ortu itu bangga akan anaknya, kalau si ortu ketularan riya dia akan bilang begini : “tuh lihat wa, anak sayah mah sukses, sekarang sudah punya ini itu. Saya bangga.” memang perkataan itu susah dideteksi ada tidaknya riya, tapi ini pun bergantung pada niat dan tendensi perasaan si orang tua tersebut. Biasanya sih dapat dikatakan riya kalau cerita atau omongan si ortu itu berlebihan, membesar-besarkan dan sedikit ada tendensi merendahkan dalam membanding-bandingkan si anaknya dengan orang lain. Contohnya ada tambahan : “Anak saya mah sukses ga seperti anak si anu.” Ini selain riya, terkomplikasi dengan virus pelecehan.

Tapi menuduh orang riya itu tidak baik, masa riya teriak riya. Yang tidak begitu itu Cuma kakaknya si susan, yang meskipun namanya riya tapi dia tidak mengajarkan bahkan menjadikan susan riya. Mengapa susan tidak bakal riya, tidak akan jadi dokter yang bisa sombong, pamer suntik orang lewat enjus enjus enjuuss. Sebab cita-citanya ga kesampaian, dari taun 90 hingga 2016 masih aja betah jadi bayi (jangan dibilang boneka ya). Ga kepingin tuh susan jadi macam barbie gituh.

Kembali lagi ke soal riya. Tapi ada juga riya tipe motivator, dia yang berbicara mengenai pencapaian keberhasilan misalnya dari usaha, karir pekerjaan, hingga urusan perjodohannya. Memang dari pembicaraannya terkesan riya, sombong dan arogan, tapi dibalik itu di dalamnya terselip niat untuk memotivasi. Contoh bicaranya : “Nih lihat, saya dulu susah, blangsak. Tapi sekarang, kamu lihat kan saya sudah punya ini itu. Semua itu saya raih dengan kerja keras dan karunia tuhan YME. Kalau saya bisa, masa kamu enggak. Saya yakin kalau kamu punya tekad kuat, semangat dan kerja keras, pertolongan dari Gusti Allah SWT saya yakin kamu pun bisa lebih sukses dari saya.”

Kata ustad beneran mah, idul fitri itu seharusnya hari raya, hari merayakan kemenangan karena sudah menggenapi perjuangan dalam beribadah shaum, memungkaskan sebulan penuh perlombaan dalam berlomba-lomba memperbanyak amal ibadah. Hikmah dari berpuasa dengan menahan rasa lapar, menahan diri dari hal-hal yang tidak baik itu dijadikan tolok ukur dan bekal melalui bulan-bulan berikutnya. Kita layak merayakan kemenangan, tetapi janganlah berlebihan.

 Makna idul fitri yang kembali pada fitrah dan atau kesucian, seharusnya hati jadi suci kembali seperti bayi yang baru lahir. Suci itu bersih. Bersih artinya terbebas dari noda. Karena riya adalah noda-noda yang mengotori hati, maka semestinya hari kembali pada kesucian itu hati janganlah dinodai oleh riya.

Jadi gimana dong supaya hari raya tidak riya. Ya jadilah bayi, seperti analogi kembali pada fitrah. Jadilah bayi yang baru lahir ke dunia dengan kesuciannya tanpa terkotori niat sombong, riya. Seperti bayi, polos. Poloskan hati itu dari sifat ingin disanjung, dipuji, dan dianggap superior. Atau barangkali jadilah seperti riya enes. Yang di dalam dirinya harus terselip tekad menciptakan kestabilan, mempertahankan susan yang tetap kecil, tapi dia ceriwis dan pintar. Artinya kita harus mempertahankan kekecilan susan, alias kekecilan hati, apa yang kita miliki dan kita punya jangan dibesar-besarkan. 

Pencapaian kesuksesan kita, tetap kecilkan seperti tubuh si susan, jangan dibesarkan. Jadikanlah suasana hati dan pikiran itu sama kaya si susan yang tak mau jadi barbie. Yang cita-citanya tetap teguh mau jadi dokter yang bisa suntik orang lewat enjuss enjuss enjuusss. Faham kan advisnya, hebat bukan. Hah, anda tak mengerti, apalagi saya yang riya ingin dipuji pada hal-hal semacam gagal faham. Hayo, saya ingin riya, puji dong saya sebagai penulis usil yang gagal faham. Hahaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun