Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 - Tiga Puluh Tujuh s/d Tiga Puluh Sembilan

15 Oktober 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga Puluh Tujuh

~ Mat Boncel: Ibu yang Lahir dari Rahim Koma ~

Dua bulan berlalu, kerinduan itu mulai merasuk. Selama ini tak begitu kentara terasa, Koma masih bisa menyingkirkan dengan menikmati pekerjaannya di jalanan. Siapa lagi yang dia rindukan jika bukan Asih, sosok malaikat penjaganya. Koma takkan bisa cepat melupakan suara, raut wajah, senyum, dan bagaimana tangan halus itu membelainya. Harum aroma tubuh sang ibu, masih terekam di hidungnya, dan rasa segelas kopi buatan Asih, masih terekam di lidahnya.

Kerinduan itu bersekutu dengan keberuntungan yang selalu membayangi Koma ke manapun pergi. Dia belajar tegar. Berusaha tidak menjadi bocah lemah, dramatis, perindu yang cengeng. Sesekali hampir menangis sebab merindukan sang ibu, adalah wajar untuk ukuran anak-anak, tapi dia cukup pandai menyembunyikannya. Yang sering dilakukan untuk melampiaskan kerinduan pada sang ibu adalah memeluk boneka bebeknya. Walau tidak cukup, tapi sementara boneka itu bisa menjadi pengganti Asih.

Saat sendiri dan tak ada yang dilakukan untuk dapat mengalihkan dari bayangan sosok sang ibu, saat itu pula kerinduan menari-nari di benak Koma. Hari ke hari dia terus berusaha menegarkan diri. Dari sehari sekali kerinduan itu muncul mengorek sepi di sanubari Koma, hingga dua hari sekali. Namun, seminggu sekali kerinduan itu terasa begitu dalamnya, menjelma sebuah keinginan yang melebihi keinginan apa pun selain bertemu Asih. Sangat, amat dan teramat ingin melihat wajah sang ibu, langsung. Ingin mendengar suara dan memeluknya langsung, bukan dalam bayangan atau mimpi. Langsung, tak ada jarak dan tak ada waktu yang menghentikan, tak juga ada siapa pun yang menghalangi.

Ibu adalah sosok senantiasa pemberi kekuatan, kedamaian dan pemberi apapun terbaik yang dapat membuat semuanya menjadi lebih baik. Menguatkan saat lemah, menyejukkan saat gersang, menggembirakan saat duka, dan memudahkan saat sulit. Ibu, sosok penuh kekuatan yang sukar terganti oleh sumber kekuatan darimana, siapa dan dari apa pun.

Tanpa mengerdilkan peran dan ketidakberadaan sang ibu, Koma mencoba dan dengan cepat mampu berdiri sendiri, tanpa semua kemudahan yang diberikan sosok malaikat agung bernama "ibu". Awalnya terasa terlalu sulit untuk lepas dari dari bayangan sang ibu. Nafas yang berembus adalah nafas Asih, darah yang mengalir dalam darah Koma adalah darah Asih.

Untuk lepas dan tegar tanpa seorang ibu, sangat tak mudah bagi Koma. Hari, jam dan detik yang dilalui terasa begitu lambat. Kerinduan menyatu bersama waktu, menjadi kejam mendera, menjadi kasar, sukar membiarkannya larut dalam ketenangan. Ketenangan hanyalah bisa dimunculkan ketika ada kehilangan, pengalihan, dan sesuatu yang bernama "lupa". Lupa, artinya tak mengingatnya, atau tergantikan oleh ingatan lain. Dan pada Koma, ingatan itu tergantikan dengan pemikiran harus bertahan hidup dan membuat Mat Boncel selalu tersenyum.

Sesungguhnya setiap malam Koma menangis tanpa suara. Setiap malam Koma gelisah mengaduh tanpa pengaduan. Di balik ketegaran yang terbalut kepolosan itu ada sebuah kerapuhan yang kentara, namun Koma kecil pandai menyembunyikan. Dia menggantikan sosok ibunya dengan boneka bebek, dengan bocah-bocah bohemian yang terbiasa dengan negasi-negasi kenyamanan hidup mewah. Koma gantikan dengan apa pun yang menghindarkan diri untuk mengenang Asih yang membuatnya menjadi bocah cengeng.

Nasib Koma sama dengan bocah-bocah di rumah penampungan itu, jauh terpisah dari figur dan perhatian seorang ibu. Tapi, bukan tak mungkin bocah-bocah lain lebih berat menanggung kesedihan jauh dari keluarga. Kerapuhan itu Koma sembunyikan dengan keacuhan bersikap. Dia menyamarkan kerapuhan itu dengan ketidakteraturan, bahkan dibungkus dengan sikap kasar. Ketegaran yang dibuat-buat untuk menghadirkan apatis dan menjauhkan diri dari dramatis memancing perhatian untuk butuh dikasihani.

Tapi saat-saat tertentu, kerapuhan dan kepedihan itu jangan disembunyikan. Ada saat tertentu yang harus dimunculkan dan dilebih-lebihkan. Saat itu adalah saat berhadapan dengan orang-orang di jalanan pada jam kerja, bukan saat berhadapan dengan sosok ibu, atau pula saat sendirian pragmatis. Menghadirkan rasa itu pada mereka hanya menghasilkan ketulusan, kasih sayang, penghargaan dan perhatian, bukan menghasilkan uang, bukan juga menghasilkan keacuhan dan olok-olok makian bahkan sasaran kekesalan.

Meski tak ada yang dapat sebanding dengan sosok ibu, tapi bukan berarti tiada yang dapat menggantikannya untuk beberapa waktu. Koma menjadikan sosok Mat Boncel sebagai ibu. Ibu yang tercetus dari kerinduannya. Ibu yang terlahir dari rahimnya sendiri. Mat Boncel adalah Ibu ciptaannya. Mereka-reka rasa dan ruh ibu dalam sosok Mat Boncel adalah ketidakmungkinan yang cukup signifikan, seperti anggapan ketidakmungkinan ada petir di siang bolong di langit musim kemarau. Tapi, Koma tak peduli.

Dalam perbendaharaan kata di kamus hidup Koma tidak ada kata ayah. Bahkan dalam novel hidupnya, tak ada tokoh ayah di halaman berapa pun. Koma menganggap kelahirannya seperti kelahiran Nabi Isa, tanpa sosok ayah. Dia menganggap ayahnya adalah angin yang menyetubuhi ibunya. Ayahnya adalah badai yang datang tiba-tiba, mengganas dan berlalu begitu saja meninggalkan berbagai kerusakan, dan penderitaan.

Tak pernah tersimpan dalam laci memori Koma, bagaimana rupa, suara, nama dan semua tentang ayah, bahkan hikayat ayahnya pun begitu tabu dibicarakan sang ibu. Tidak ada secuil waktu pun yang disempatkan untuk membahas sosok ayah sebenarnya. Kalaupun hampir terbetik Koma menanyakan siapa ayahnya, Asih selalu saja dapat mengalihkannya. Hingga Koma terbiasa tanpa bayangan dan tanda tanya mengenai sejarah ayah kandungnya. Bahkan, lambat laun itu membuat dia sangat jarang sekali merasa iri manakala menyaksikan anak lain punya ayah. Hanya perasaan biasa, yang semakin biasa, polos, tanpa interpretasi apa pun. Baginya, titik! Dan, Koma tak membiarkan wacana ayah mengganggu kisah hidupnya, biar suatu saat saja, manakala sudah tercetus keberanian dan haknya diakui untuk mempertanyakan dan menghakimi.

Tiga Puluh Delapan

~ Penyembunyi Cerdik dan Penangguhan Epilepsi ~

Waktu, tekanan kepolosan, dan gebrakan yang dilakukan Koma berhasil menyulap hati seorang pria liar menjadi selembut sosok ibu. Mendadak menjadi murah hati, Mat Boncel berubah dari yang tak acuh menjadi sangat peduli akan masa depan Koma dan bocah-bocah jalanan asuhannya. Mat Boncel memasukkan Koma dan sebagian anak-anak lain ke sebuah sekolah dasar terdekat. Sang jenderal rumah penampungan itu memberi keleluasaan untuk membagi waktu antara waktu pribadi anak-anak jalanan asuhannya, yang banyak diisi dengan bermain atau belajar baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan waktu dengan judul membela kepentingan kelangsungan hidup, yaitu tugas pokok mereka mencari uang di jalanan.

Sangat terbiasa di jalanan membuat rata-rata anak jalanan di sana enggan bersekolah. Pikir mereka, buat apa bersekolah kalau ujung-ujungnya nanti setelah tamat tetap saja merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Bagi sebagian mereka, tak ada tempat yang paling nyaman selain di jalanan. Tempat duduk yang nyaman bagi mereka bukanlah bangku sekolahan, tapi marka jalan dan trotoar. Tempat yang teduh bagi mereka bukanlah di bawah naungan gedung sekolah, tetapi di bawah rindang pohon peneduh jalan yang berderet di sepanjang trotoar jalan. Bagi mereka, belajar bukanlah bagaimana menghafal aljabar dan menghitung perkalian, tapi bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya di jalanan. Dan, prestasi bagi mereka bukanlah mendapat rangking pertama atau lulus dengan nilai memuaskan, tapi ketika mendapatkan uang banyak hasil dari pekerjaannya di jalanan.

Mat Boncel sekarang bisa lebih demokratis. Dia tak memaksa bocah yang tidak mau sekolah dan tetap betah dengan semua ketidakberaturan itu, yang tidak mau menatap masa depan dan mempertanyakan apa yang dilakukan hari ini akan menentukan masa depan.

***

Enam tahun berjalan, rutinitas itu menghiasi hari-hari Koma. Jika sekolah pagi, dia bekerja siang hari usai belajar. Dan jika masuk siang, paginya walau hanya dua jam, Koma beraksi di jalanan. Mat boncel tak lagi mempersoalkan kekurangan setoran dari anak-anak asuhannya. Nurani Mat Boncel sebagai manusia yang telah pergi entah kemana, telah kembali. Tak ada yang mampu mengundang nurani lelaki itu, hanya Koma yang mampu mendatangkannya lagi.

Koma menjadi bocah penyembunyi cerdik menyembunyikan riwayat epilepsinya. Sesekali dalam waktu tertentu, tak pasti jangka waktunya, adakalanya epilepsi itu kambuh. Koma selalu dapat menyembunyikan epilepsinya dari pandangan mata siapa pun. Dia menjadi terlatih mengendalikan epilepsinya. Bahkan dia dapat menangguhkan kekambuhannya. Bila suatu waktu dia merasakan gejala epilepsinya akan kambuh, dia segera meminta agar ditangguhkan sampai saat yang tepat.

Suatu siang di jalanan pada jam kerja, Koma mengendus pertanda epilepsinya akan segera kambuh, dia meminta agar ditangguhkan sampai saat tepat dan di tempat yang tepat. Saat tepat itu adalah malam hari, di sebuah tempat yang jauh dari jangkauan penglihatan siapapun. Selama hidup di ibukota permintaan penangguhan kekambuhan epilepsinya selalu terkabul dan tiada satu pun yang tahu. Koma memilih merahasiakan epilepsinya bukan lantaran malu atau takut dijauhi orang-orang, tapi dia merasa itu suatu keharusan. Dia tak ingin episode hidupnya diganggu oleh adegan-adegan epilepsi. Koma ingin orang-orang murni mengenang hikayat dia di jalanan tanpa diselingi bagian epilepsinya.

Tiga Puluh Sembilan

~ Kutu Loncat yang Dinaungi Keberuntungan ~

Pekerjaan mendasar yang dilakukan hampir semua anak jalanan adalah sama, berjualan, menjual iba. Bertahun-tahun Koma mengemis, dia ingin mencoba pekerjaan baru yang lebih menantang. Selain menjual iba, dia juga ingin mencoba menjual suara. Rata-rata pekerjaan ini dilengkapi peralatan khusus. Ada yang memakai kepingan tutup botol minuman ringan yang dipakukan ke sebuah kayu kecil sebagai gagangnya. Alat itu mewakili sebuah tamborin, yang bila digoyang-goyangkan atau diketukkan ke pergelangan tangan akan menghasilkan sebuah simfoni pengiring. Simfoni begitu berani yang seringkali tak peduli notasi, yang terpenting adalah mengiringi.

Koma berganti pekerjaan menjadi pengamen. Mengamen bukanlah hal yang baru Koma temui. Sejak awal terjun di jalanan, Koma banyak bersentuhan dengan pengamen seusianya maupun yang sudah dewasa. Sejak Koma beralih profesi, rata-rata bocah seangkatannya ikut-ikutan Koma menjadi pengamen. Sebagai anak jalanan, mesin pengeruk keuntungan yang lalu lalang di jalanan, di perempatan jalan, di angkutan umum, mereka dirancang Mat Boncel untuk tak sekedar menadahkan tangan. Selain memberi kesempatan pada generasi berikutnya, yang berarti juga mengurangi persaingan di antara pengemis, Mat Boncel juga memberikan gambaran bahwa mengemis bagi anak yang beranjak remaja sudah tak lagi sesuai dengan umur. Pengembangan lain diperlukan supaya mereka menguasai beragam pekerjaan di jalanan, dan aliran pemasukan Mat Boncel tidak terputus.

Tingkat iba dan hasrat memberi sedekah pada anak jalanan pengemis yang menginjak umur remaja menurun dibanding pada bocah jalanan usia balita. Itu pula yang membuat Mat Boncel berfikir mengganti profesi beberapa anak asuhannya dari mengemis menjadi mengamen, apalagi setelah diilhami Koma. Mat Boncel berfikir harus ada yang dijual, sebagai timbal balik, sama halnya dengan menjual suara. Dan seperti prinsip dagang "konsumen adalah raja", orang boleh suka boleh tidak, boleh membeli atau tidak, boleh memberi atau tidak, dan tentu saja boleh menutup kuping rapat-rapat, tak acuh, atau memaki. Pekerjaan baru itu dinilai Mat Boncel lebih baik, lebih manis, dan sedikit lebih bergengsi.

Bocah pengamen lain yang tidak dilengkapi dengan perlengkapannya karena tak mampu membuat, atau malas membuat, hanya mengandalkan tangan sebagai sumber pengiringnya. Seringkali musik pengiringnya bukan lagi fals, tidak harmonis antara musik dan vokal, tapi sudah kacau. Ibarat plesetan ungkapan klasik "mensana in corporesano, musiknya ke sana nyanyinya ke sono". Tapi tepukan tangan itu, jika sesuai tempo yang stabil, akan menghasilkan harmonisasi simfoni pengiring statis yang konsisten. Mereka beralasan, dan sebuah pembenaran, ketukan-ketukan tak beraturan lebih alami, lebih jujur dan lebih tulus, sekaligus lebih memperlihatkan ketakberdayaan sangat mengharap belas orang untuk menghargai dengan sejumlah rupiah.

Dasar bocah beruntung, dan pada dasarnya Koma bocah ajaib yang selalu dinaungi keberuntungan. Pekerjaan apa pun yang dilakukannya senantiasa ada campur tangan keberuntungan. Di profesi baru itu, Koma menampuk hasil yang sama dan cenderung meningkat dibanding profesi sebelumnya sebagai pengemis. Lagi-lagi setoran Koma membuat senyum Mat Boncel melebar bak potongan tengah martabak Bangka.

***

Bertahun-tahun waktu siang banyak dihabiskan di jalanan, di bawah terik mentari langsung, kulit Koma menjadi legam. Tapi dia tetap manis. Bocah hitam manis yang tetap mempesona. Beberapa orang menganggap dia bukan anak jalanan, tapi artis cilik. Wajah dan tampilan Koma lebih mirip aktor cilik yang sedang syuting di jalanan sebagai pengamen cilik dengan kamera tersembunyi yang tak diketahui, agar adegan-adegannya lebih alami. Ibarat saat berperan sebagai pengamen cilik dalam sebuah produksi film itulah, orang-orang menganggap harus menghargai Koma dengan sepadan. Lazimnya di bioskop, untuk menyaksikan cerita dan adegan-adegan pemeran film tertentu, orang harus membayar. Itu serupa orang yang menonton film di bioskop manakala membeli tiket sesungguhnya salah satunya adalah membayar peran-peran aktornya. Jadi sebetulnya yang menggaji aktor dan aktris adalah penonton.

Bocah ajaib itu selalu diikuti keberuntungan di mana pun berada, membuat kehidupan di jalanan seringkali dilalui dengan indah. Selalu saja dapat dilewati dengan mudah, dan sangat jarang disisipi kesulitan. Sesekali hari-hari Koma diselingi kesedihan yang tercipta dari jelmaan kesepian dan kerinduan pada sang ibu. Kehidupan sekolah, jalanan dan di rumah penampungan yang selalu dilaluinya dengan mudah perlahan memunculkan kebosanan. Menurutnya, mesti ada sesuatu yang baru, tantangan baru yang lebih sulit. Koma remaja mulai tertarik pada sesuatu baru berjudul "tantangan" dan "kesulitan".

***

Koma mengajukan permintaan pada Mat Boncel untuk berganti pekerjaan lagi. Mat Boncel mengamini, dengan prasyarat target pemasukan dari Koma diusahakan tetap besar. Bagi Mat Boncel, Koma serupa pohon yang selalu berbuah di semua musim. Tak peduli Koma menjadi pohon apa pun, yang penting menghasilkan buah.

Sangat menarik bagi Koma mencoba pekerjaan baru yang belum pernah dilakukannya. Dia berfikir, akan menyenangkan membuat barang lama menjadi mengkilat dan seperti baru. Terlintas dalam benak, "Sepatu".

Koma berpendapat sepatu harus mendapat perhatian yang layak. Orang-orang kerap menganggap sepatu hanya benda khusus diinjak, lalu setelah itu, disimpan dan dilupakan begitu saja. Sepatu juga perlu mendapat penghormatan serupa dengan barang lain. Dia adalah pelindung yang baik dan sedia berkorban. Dia paling pertama merasakan panas, dingin, basah dan kotor. Tapi dia tak pernah protes manakala dibiarkan begitu saja di sudut, bahkan menjadi sarang nyamuk, laba-laba atau kecoa.

Koma merasa terhormat melakukan pekerjaan itu. Apapun alasannya, apa itu serupa wacana pemuliaan sepatu sekalipun, dia tak peduli. Yang penting dia merasakan tertantang untuk memuliakan sepatu. Dan bagi Mat Boncel, Koma adalah pohon, apakah dia akan menjadi pohon mangga, jambu, alpukat, atau buah apa pun, tetap dapat dipanen Mat Boncel.

Koma sangat menikmati setiap gosokan, sikatan dan lumuran semir untuk sepatu-sepatu yang dilayaninya. Setelah puas dengan profesi penyemir sepatu, dan sudah merasa cukup mengerjakan tugas mulia memberikan penghargaan tempat terhormat bagi sepatu, serta merasakan nikmatnya menerima beberapa rupiah dari orang-orang yang bahkan tak mengindahkan keberadaan sepatu, dia terpacu mencoba pekerjaan lain. Dia bereksplorasi lagi untuk menemukan sesuatu yang baru dan penuh tantangan yang dapat mengalihkan dari kerinduan pada sang ibu.

Koma pikir, mungkin melayani saja. Menghampiri dan memudahkan orang-orang yang disebut "konsumen". Pekerjaan baru itu adalah menukar sesuatu yang dibutuhkan mereka dengan sesuatu yang kita butuhkan. Serupa dengan menukarkan kepastian dengan kepastian lainnya. Sesuatu yang berantai. Mereka mendapatkan dari orang lain keempat, orang lain keempat mendapatkan dari orang lain ketiga, orang lain ketiga mendapatkan dari orang lain kedua, dan seterusnya. Koma meneruskan dari entah orang lain ke berapa kepada yang membutuhkannya.

Koma merasa gagah menyandang kotak di dadanya. Kotak itu berisi berbagai barang-barang yang dibutuhkan orang-orang di jalanan. Dia begitu bangga, seolah kotak itu berisi nyawa cadangan bagi prajurit yang sekarat di medan perang. Seperti menyandang kotak berisi labu-labu darah untuk mereka yang membutuhkan transfusi dengan segera.

Dia menjadi kutu loncat, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Kebosanan yang kembali cepat mendera membuat dia memikirkan beralih ke pekerjaan baru. Bukan lantaran menjadi pedagang asongan membuatnya kerepotan menghadapi aneka rupa permintaan orang. Bukan pula karena pekerjaan itu lebih berat sebab selain menjual, dia juga harus bersuara. Serupa dua item kerja digabung jadi satu. Tapi suaranya tidak ikut dijual. Hanya sebagai pemanggil, ibarat gelegar petir yang memanggil datangnya hujan. Dia beralih ke pekerjaan lain lantaran sudah merasa cukup menjadi seorang perantara, antara produsen dan konsumen. Juga bukan karena hitung-hitungan keuntungan, toh Koma masih anak ajaib yang senantiasa dinaungi keberuntungan.

Koma menjadi haus akan sesuatu baru dan penuh tantangan, yang di dalamnya terdapat sensasi kenikmatan "kesulitan". Dan, sebetulnya dia banyak memburu kesulitan adalah satu cara untuk mengalihkannya dari kerinduan, untuk memetamorfosiskan diri agar tidak menjadi kepompong picisan.

Koma tertarik pada mawar. Bunga bermacam warna dengan masing-masing warna memiliki interpretasi dan penggambaran simbolis berbeda-beda. Mawar warna ini mengandung maksud dan arti simbolik ini, sedangkan mawar warna itu mengandung perlambang simbolik itu. Dia tertarik pada mawar bukan karena berubah feminis, yang pandangan dan jiwanya menjadi sehalus perempuan. Tapi lebih dilantarankan permainan makna dalam bentuk dan warna, juga aroma yang menggelitik perhatiannya. Pada mawar, Koma mencoba menangkap ruh bukan memerangkap raganya.

Ada lagi alasan tertentu kenapa dia memilih berjualan bunga mawar, bukan bunga bakung, anyelir, atau anggrek. Tentu akan lebih banyak alasan, baik alasan yang sudah ada dan alasan lain yang dibuat-buat. Dengan berjualan mawar, dia ingin menjadi bagian yang ikut hadir di antara wacana keindahan dan romantisme cinta, dan di antara sejoli yang dimabuk cinta. Dia ingin berada di dalam alam penuh simbol-simbol feminis. Dia ingin berada di antara jargon bahwa "katakanlah dengan bunga".

Sempat jadi pertanyaan Koma, benarkah, cukup bunga saja dapat mewakili sesuatu yang ingin diungkapkan. Benarkah semua orang sudah belajar dan mengetahui kode, sandi, simbol-simbol, atau bahasa bunga? Atau apa mungkin akan ada kriptografi khusus bunga? Dan apakah seumuran Koma sudah berhak, pantas merasa, atau sudah cukup tepat terlibat dalam wacana cinta dan segala romantikanya? Tapi, dia tak begitu mengejar jawaban-jawabannya.

Menjadi pedagang bunga mawar, hasilnya tak berbeda dengan pekerjaan sebelumnya. Yang berbeda hanya jangkauan area kerja Koma meluas, selain di perempatan lampu merah, juga merambah ke taman. Dia menemukan ternyata taman lebih nyaman dan sejuk dibanding di jalanan. Taman penuh simbol romantisme keindahan. Pekerjaan ini pun tak lama, hanya dua bulan. Koma merasa sudah cukup terlibat dalam wacana cinta walaupun belum memahami lebih dalam. Dan, dia tak ingin terperosok lebih dalam pada dramatis romantisme cinta.

Koma menjadi kutu loncat yang berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain lantaran ketagihan mencari-cari tantangan dan kesulitan. Jenuh dengan segala keberuntungan yang menaungi, dia ingin banyak merasakan ketidakberuntungan. Seringkali dia merasa iri pada orang-orang yang begitu menikmati kesulitan dan kegagalan. Ingin sekali dia lebih mengecap seperti apa rasanya, meraba lebih lama seperti apa bentuk dan tekstur "kegagalan" itu. Ingin sekali Koma menyingkirkan keberuntungan yang selalu menguntit kemana pun dia pergi. Tapi bagaimana caranya, sosoknya saja tak mampu diihat, apalagi dia jamah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun