Ucapan Eman, lebih terasa mendikte, dalam sekejap menyentak di dada Asih. Selama ini dia menerima baik buruk ucap dan sikap Eman. Semua yang dihendaki Eman selalu Asih lakukan tanpa bertanya atau menyanggah. Kali ini, Asih merasa harus berontak. Dia merasa pengorbanannya tak dihargai sedikitpun. Sikap diamnya tak memperbaiki apa pun, malah bentuk penindasan itu semakin berlangsung. Seringkali Eman memanfaatkan Asih untuk mengeruk keuntungan dari laki-laki yang berkunjung atas nama ketertarikan pada kecantikannya, meski mereka tahu Asih sedang hamil.
Yang paling tak bisa diterima Asih adalah kedatangan Surya yang dipersilahkan Eman. Itu lebih mirip pengkhianatan besar yang takkan tersedia kesempatan pengampunan secuil pun. Asih menjadi muak dengan Eman dan segala yang berhubungan dengan rumah itu.
"Tidak! Mamang picik!" Pemberontakan atas penindasan yang selama ini berlaku pada Asih di rumah Eman, hanya diwakili tiga kata itu saja.
"Heh Asih! Mau kemana kau?"
Asih tak menjawab, tak mempedulikan Eman, bahkan menoleh pun sama sekali tidak. Entah akan pergi kemana, dia tak tahu, yang ada hanya sesak, emosi, rasa lelah teramat lelah menghadapi Eman dan keluarganya, juga Surya.
"Asih! Asih! Dasar udik!"
Asih keluar, entah, dia sendiri bingung kemana arah akan dituju. Yang ada di pikirannya, hanya pergi, pergi dan pergi, kemana saja. Di benaknya hanya keluar, keluar dan keluar, untuk membebaskan diri dari kebosanan itu, melepaskan diri dari penindasan, dan sisanya adalah ketidaktahuan. Asih tak menghiraukan panggilan Eman, tak juga peduli di luar rumah banyak mata pemabuk beringas mengawasi seakan siap menjamah -dan menikmati kemolekannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H