Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 4 Empat Puluh Lima

17 Oktober 2013   01:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Empat Puluh Lima

~ Jurig Bonge dan Suara Gaib ~

Tiga pohon cempedak di belakang rumah tinggal Kyai Mastur sudah berbuah. Ustaz Nanang meminta Koma dan beberapa santri untuk memanennya. Sisi berontak Koma muncul, tapi dia tak mampu berkelit dan menurut saja walau dalam hati ketus. Tak ada ruang di hati Koma untuk rela membiarkan siapa pun di pesantren memerintahnya, kecuali sang kyai. Bisa saja mengelak dengan mencari-cari alasan logis untuk menolak suruhan Ustaz Nanang, tapi berhubung pohon cempedak itu berada di belakang rumah tinggal sang kyai, Koma bisa patuh dengan ikhlas. Hanya segala sesuatu mengenai Kyai Mastur, dan apa pun yang diperintahkan atas nama Kyai Mastur yang dapat dia lakukan sepenuh hati.

Terakhir kali naik pohon, ketika Koma masih kecil. Tapi ingatan itu disembunyikan keberuntungan. Dia lupa pernah jatuh dari pohon jambu. Di atas pohon, sebagian cempedak tampak sudah masak. Sebagian lagi masih muda. Pohon cempedak yang cukup tinggi dan rimbun, akan sulit memanjatnya. Tapi ini akan nikmat, di sana terdapat kesulitan yang didambakan Koma. Atau mungkin juga ada kegagalan.

Seorang santri sudah lebih dulu naik pohon cempedak sebelah Koma. Dia berhasil menjatuhkan sebuah cempedak. Koma terpacu untuk menyaingi. Lebih seru, seperti persaingan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar cempedak, atau lebih seru dari sekadar menuruti perintah Ustaz Nanang atas nama Kyai Mastur.

Instruksi yang didapat Koma dari Ustaz Nanang berbeda dengan instruksi untuk santri lain. Tugas Koma memetik cempedak muda untuk dimasak sebagai sayur oleh Nyai Arum, istri Kyai Mastur. Koma cukup bersemangat, sebab dia akan menyenangkan Nyai Arum, yang berarti juga akan menyenangkan Kyai Mastur.

Satu cempedak muda berhasil dijatuhkan Koma. Dia ingin hasil lebih baik lagi, memetik cempedak muda yang lebih besar. Koma sempat membayangkan begitu nikmatnya sayur cempedak buatan Nyai Arum. Sayur dengan kuah penuh berkah keluarga kyai. Tapi yang paling diinginkan Koma adalah kegagalan, bukan keberkahan, bukan juga sayur buatan Nyai Arum. Tapi untuk sementara, yang terpikirkan Koma adalah adalah bakti pada keluarga sang kyai. Dengan berbakti pada Kyai Mastur, berarti dia telah berbakti kepada Asih, Mak Acem, Bi Tati, Mat Boncel, juga Mehong. Karena Kyai Mastur di mata Koma adalah gabungan dari orang-orang itu.

Di ujung dahan yang menjuntai sebelah kiri, sebuah cempedak muda lebih besar tiga kali lipat besar kepala orang dewasa, seolah melambai-lambai meminta dipetik Koma. Dahan pijakan cukup kuat menahan beban dua orang dewasa. Malang segera mendekat, dan itulah kegagalan yang akan didapatkan. Dia meraih cempedak muda, memelintirkannya agar terlepas dari tangkai. Terlintas senyum Nyai Arum dan sang kyai. Dahan licin akibat semalaman kemarin diguyur hujan. Pijakan kaki tak cukup lekat membuat Koma terpeleset, dan, braakk....!!! dia terjatuh. Lebih dari lima meter tinggi pohon itu, jarak yang cukup untuk mematahkan tulang.

Seorang santri di bawah pohon yang bertugas menadah cempedak segera menolong Koma. Ustaz Nanang yang mengawasi beringsut dari kursinya. Seorang santri di atas pohon hanya melongo seolah berkata "Oh, si santri aneh itu terjatuh". Tak ada reaksi berlebihan dari beberapa santri yang menolong Koma. Meskipun antipati terhadap Koma tapi di balik itu terselip harapan di hati mereka, semoga tidak parah dan semoga setelah jatuh, si santri intropert itu tak aneh lagi, dan dia bisa lebih akrab dengan penghuni pesantren.

Keberuntungan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Koma agar tidak jatuh. Tidak juga dapat menangguhkan waktunya sehingga dia tidak jatuh hari itu, mungkin besok, atau minggu depan. Keberuntungan juga tak dapat memangkas jarak menjadi pendek supaya jatuhnya lebih ringan, dan akibatnya tak terlalu parah.

Koma jatuh membentur tanah becek berair. Tak ada tulang yang patah, tak juga ada memar. Koma masih mampu bangkit sendiri. Beberapa langkah setelah berdiri, seolah dihantam benda keras, pening terasa di kepala. Dia mengaduh menahan sakit sambil memegangi kepala. Langkahnya terhuyung, tersungkur ke tanah. Badan menggigil, disambut kejang-kejang di sekujur tubuhnya. Lidah tercekat gigi. Busa berhamburan di mulut. Ustaz Nanang dan seorang santri segera membopong Koma ke teras rumah tinggal Kyai Mastur. Saat itulah awal epilepsi yang disembunyikan Koma terkuak, dan menyebar ke seluruh penghuni pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun