Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 4 Empat Puluh Lima

17 Oktober 2013   01:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

***

Hari-hari selepas Isya, tak ada kegiatan lagi bagi Koma. Di saat santri lain menyambung kegiatan mengkaji kitab kuning dan mendengarkan ceramah ustaz-ustaz pengajar, Koma hanya duduk-duduk di tepas depan kobong putra di lantai dua. Selama masa sakit, selama pendengarannya belum pulih, dia diperbolehkan tidak ikut beberapa rutinitas pesantren, terutama salat berjemaah, karena seringkali ketinggalan jauh dari gerakan imam dan jemaah lain. Dianggap akan mengurangi kekhusuan ibadah, atas pertimbangan Kyai Mastur, Koma dibolehkan tidak ikut berjemaah. Dia juga mendapat dispensasi untuk absen mengaji dan mendengarkan ceramah.

Keanehan, keajaiban atau entah bahasa apalagi, kejadian demi kejadian ganjil berantai menimpa. Koma melamun, larut dalam perenungan lebih dalam, mengingati semua kejadian selama ini. Mencari-cari kesimpulan apa di balik semua kejadian ganjil dan keanehan itu. Perenungan semakin jauh. Saat Koma hampir menemukan dan menginterpretasikan kesimpulan, sesosok suara membuyarkan lamunan. "Jalu....!!" Koma terkejut, di tengah hening sepi, tiba-tiba mendengar suara seorang laki-laki menyeru. Dia belum menoleh untuk mencari sumber suara itu berada. Kaget bercampur setitik kebahagiaan. Pikir Koma, jika dia dapat mendengar suara menggema itu, berarti pendengarannya sudah kembali normal.

Untuk beberapa saat, perasaan girang membuat Koma tak mengacuhkan pertanyaan, dan mencegahnya mencari-cari dimana dan dari siapa sumber suara itu berasal. Ada yang ganjil. Jika dia bisa mendengar suara itu, berarti juga dapat mendengar suara-suara lain, bisa mendengar suara daun bergesekan diterpa angin, suara kincir bambu, dan suara sayup-sayup santri mengaji di masjid pesantren. Koma mencoba lagi mendengar-dengar lebih jelas. Tapi, tidak ada suara lain yang mampu ditangkap pendengarannya. Yang ada hanya sunyi, terasa lebih sunyi, serasa di ruang kedap suara.

Kedua kalinya suara itu muncul lagi. Koma dengarkan lebih teliti lagi, hanya suara sosok lelaki itu yang terdengar jelas dalam hening, tanpa latar suara lain. Ketiga kalinya, suara itu muncul dengan nada gusar seakan kesal sapaannya tak dihiraukan. Koma tergerak mencari-cari dimana sumber suara itu. Siapa di balik gema suara berwibawa itu. Tapi tak mendapati seseorang. Di asrama putra, hanya dia sendirian, santri-santri penghuni asrama itu sedang sibuk dengan aktivitas relijius mereka.

"Hei, siapa kamu? Di mana kamu?" Koma gesit menoleh ke berbagai arah, matanya berusaha menangkap sesuatu yang menjadi sumber suara itu.

"Jaluu...! Jangan kaget! Jangan cari aku di manapun! Karena aku tak kan kau temukan. Aku ada di manapun. Aku ada di dalam dirimu." suara itu terasa semakin menggaung, seolah begitu dekat di ujung telinga. Koma semakin dibuat penasaran, dia kembali mencari-cari di mana sumber suara itu. Suara itu, tak jelas asal usul sumbernya, pikir Koma, mungkin suara gaib.

"Siapa kamu?" Koma mendelik ke atas. Dia melacak sumber suara hingga ke atas rimbun pohon beringin tua di samping asrama putra.

"Aku, Rakean Surawisesa. Aku akan menitis padamu. Aku akan menuntunmu. Aku akan memberikan kelebihan padamu!" suara gaib itu makin menggema dalam pendengaran Koma.

"Kelebihan apa?" Koma bertanya menyelidik pada suara gaib itu untuk membedah keingintahuannya. Tapi beberapa saat ditunggu, tak ada jawaban lagi. Suara itu menghilang seakan sosok sumber suara itu sudah pergi meninggalkan Koma yang terjeruji kepenasaran.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun