[caption id="attachment_360215" align="aligncenter" width="300" caption="Universitas Negeri Padang"][/caption]
Dalam literatur klasik Arab-Islam, kecenderungan berlebihan terhadap fikih adalah sebuah fenomena yang jamak dan lumrah. Gambaran ini jelas paralel dengan satu kenyataan bahwa matrik peradaban Arab-Islam adalah teks-teks liturgis keagamaan (al-nushûsh al-muqaddasat). Paling tidak, ini yang dipotret oleh pemikir muslim kontemporer kenamaan, Abid al-Jabiri dan Nashr Hamid Abu Zayd.
Lantas apa yang menarik untuk dijelitkan dalam tulisan ini? Kiranya, kini, dirasa perlu adanya sebuah upaya untuk menelisik lebih jauh nalar politik Arab-Islam klasik sebagai salah satu representasi bagi anasir pembentuk konstruksi nalar politik Arab-Islam kontemporer. Membincang nalar politik Arab-Islam niscaya akan mengantarkan kepada kita guna bersedia untuk "menjenguk" terma fiqh al-siyâsah. Artinya, mengangkat wacana fiqh al-siyâsah di sini bermaksud untuk membawanya ke altar kritisisme -jauh dari pemujaan terhadap turats- yang tidak lain merupakan awal dari rangkaian "gerbong panjang" kekuasaan, politik, agama dan cerita perselingkuhan di antara ketiganya dalam dunia Arab-Islam Klasik.
Menanjaknya tren "Khilâfah Islâmiyah" yang terus didengungkan oleh kalangan Islam fundamental di satu sisi dan penolakan terhadap sistem pemerintahan sekular yang berbasiskan masyarakat sipil dewasa ini yang terjadi dalam perbincangan tentang relasi agama dan negara adalah sebuah realitas yang harus disikapi secara cermat. Terlebih, tren ini dibarengi dengan meruyaknya romantika terhadap Khilafah Utsmaniyyah seraya mendendangkan irama-irama yang kental dengan nuansa Arabisme. Untuk itu, mendedahkan nalar politik Arab-Islam Klasik yang terbingkai dalam diskursus fiqh al-siyâsah secara utuh akan menjadi niscaya guna memahami posisi dan peranan politik, kekuasaan dan agama dengan tepat serta problem orisinalitasnya.
Arab-Islam Klasik dan Civil Society
Dalam bentangan sejarah peradaban Arab-Islam dan deretan literatur Islam Klasik, kiprah awal Islam dalam dunia politik akan selalu menunjuk Nabi sebagai pelaku utamanya. Posisinya sebagai titik pusat rujukan segala aktifitas sosial kemasyarakatan masyarakat muslim jelas memungkinkannya untuk memainkan banyak peran dalam berbagai lini kehidupan.
Sejarah menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam ajaran Islam antara 2 periode; periode
Di Makkah, Nabi begitu terbebani dengan tugas kenabiannya (dimensi spiritual keagamaan) sehingga wilayah politik-kekuasaan serasa terabaikan. Tampilan ini pun terlihat kontras dalambay’at al-‘aqabah yang kerap disalah pahami sebagai tonggak bagi lahirnya kesadaran berpolitik bagi kalangan Arab-Islam. Nihilnya nalar politik-kekuasaan pada periode Makkah atau pada masa sebelum Hijrah bukan berarti akan menempatkan periode Makkah sebagai sebuah periode yang hampa, melainkan secara riil, periode Mekkah ini merupakan gerbang bagi membanjirnya nalar politik-kekuasaan pada periode Madinah.
Secara historis, Islam Madinah adalah sebuah lahan subur bagi bersemainya nalar politik-kekuasaan Arab-Islam Klasik. Pada periode ini, Nabi tidak lagi disibukkan oleh perannya sebagai tokoh spiritual. Nabi –dalam masa ini- nampak lebih peduli dan concern terhadap konstruksi masyarakat; tidak lagi berputar-putar dalam ranah keagamaan. Di kota ini, umat Islam terlihat mulai mau untuk peduli terhadap bagaimana cara menyusun dan membangun kekuatan pertahanan serta mengimplementasikannya, bagaimana menciptakan tatanan yang berkeadilan dan konsep-konsep lainnya (Muhammad Jalal Syaraf, Nasy’at al-Fikr al-Siyâsi wa Tathawwurihi fi al-Islam; 2006, 23).
Keyakinan bahwa praktek politik Islam bermula dari kawasan Madinah terekam begitu kuat dalamSîrat ibn Hisyam-nya Ibn Ishaq, khususnya ketika menyoroti bay’at al-‘aqabah. Paling tidak, afirmasi dari Ibn Hisyam ini merupakan perwakilan dari sarjana muslim klasik yang menilai jika langkah-langkah politik Arab-Islam dimulai dari kota ini.
Jikalau memang benar anggapan yang yang menyatakan Arab-Islam mengawali langkah politiknya semasa di Madinah, lantas bagaimana sistem politik yang diterapkan oleh Nabi ketika itu? Apakah konsep "Khilâfah Islâmiyah" yang kini tengah nyaring dinyanyikan kembali ataukah sistem demokrasi dengan berkarakter Islam yang melahirkan masyarakat sipil yang peka dengan pluralitas dan humanitas?
Sedari awal, Nabi terlihat ingin berupaya menerapkan sebuah sistem demokrasi yang nantinya tidak berbeda jauh dengan konsep demokrasi yang kini tengah dijalankan. Bagi Nabi, sebuah sitem politik yang ideal harus menempatkan rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi kekuasaan. Nabi dengan praktek politiknya nampak ingin menegaskan jika Islam enggan untuk meniru konsep sistem politik peradaban masa silam seperti peradaban Yunani Kuno, Persia, Romawi dan Mesir Kuno. Konsep politik-kekuasaan yang dikenalkan Nabi bukanlah konsep politik teokrasi yang memposisikan pemegang otoritas tertinggi sebagai manifestasi tuhan. Islam pun tidak terjebak pada oligarki ataupun monarki.
Akibat nyata dari kemandirian sistem politik Arab-Islam Klasik adalah sebuah penegasan kepada publik bahwa Islam tidak akan pernah mau menyampuradukkkan permasalahan keagamaan dengan permasalahan kehidupan. Dengan vulgar Nabi menyatakan, “Jikalau Aku meminta kalian semua terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan ritual agama, maka penuhilah. Jika permintaanku berkenaan dengan hasil nalarku, maka sesungguhnya Aku hanya sekedar manusia”.
Statemen Nabi di atas menunjukkan kepada kita bahwa permasalahan seputar teologi (akidah) dan aspek ritual-formal ibadah hendaknya merujuk langsung kepada Nabi. Adapun permasalahan yang berkaitan dengan fenomena dan realitas sosial kemasyarakatan, maka peran akal dan ijtihad dijadikan sebagai pedoman. Di sini, Nabi nampak punya hasrat yang demikian kuatnya untuk menjadikan warga Madinah sebagai masyarakat yang berperadaban dan mempunyai kesadaran terhadap keniscayaan adanya keberagaman, bersikap toleran dan menjunjung tinggi budaya humanisme.
Sejauh pembacaan terhadap turâts, sama sekali tidak ditemukan adanya upaya Nabi untuk “menjerumuskan” warga Madinah dalam kehidupan berpolitik yang tiran dengan absolutisme kekuasaan. Posisi dan kiprah politik masyarakat Madinah diakui ekistensinya. Boleh dibilang, iklim politik yang dibangun oleh Nabi adalah iklim yang terbuka. Semua komponen masyarakat Madinah dilibatkan dalam dinamika politik-kekuasaan yang dibangun oleh Nabi. Nabi (Islam) tidak pernah memaksa umat Islam untuk tunduk dalam sebuah sistem politik tertentu dan bahkan sama sekali tidak menggariskan model politik-kekuasaan yang saklek dan ajeg. Islam hanya menekankan urgensitas al-syurâ sebagai sebuah entitas kehidupan berpolitik yang tidak boleh diabaikan.
Arab-Islam Medieval Versus Otoritarianisme Politik
Selepas meninggalnya Nabi, praktek politik-kekuasaan bermetamorfosa ke dalam bentuk khilafah yang pada permulaan pelaksanaannya sudah banyak menuai badai kontroversi. Bahkan, suksesi yang berhasil menaikkan Abu Bakar mengalami penolakan yang dilancarkan oleh keturunan Hasyim (Muhammad Mawhiburrahman, et-all, Panorama Islam Mondial; Senarai Perjalan Islam Klasik dan Kontemporer; 2006). Islam –paska kematian Nabi- banyak disibukkan oleh deraan konflik multi dimensi. Ironisnya, konflik yang meletup pertama kali dalam Islam adalah konflik yang sarat dengan nuansa politis. Sebuah fenomena yang tidak ditemukan semasa Nabi memimpin Madinah selama hampir 10 tahun.
Yang paling tragis adalah ketika Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dengan semena-mena merubah model khilafah ke dalam format monarki. Pemimpin (selepas kepemimpinan Mu’awiyah) tidak lagi diangkat berdasarkan metode bay’at, tapi dimonopoli oleh klan Umayyah dengan pertimbangan keturunan dan waris. Realitas ini diperparah oleh represifnya pemerintahan dinasti Umayyah sebagai konsekuensi guna mempertahankan kelanggengan kekuasaannya.
Keputusan pengalihan model kepemimpinan secara sepihak oleh Mu’awiyah serta merta menggeser model politik-kekuasaan yang dikonsepsikan Nabi. Pada masa Mu’awiyah, rakyat tersingkir dari gelanggang politik. Bahkan, hak-hak politik mereka pun diberangus. Bila dibandingkan, pemerintahan masa Nabi adalah sebuah pemerintahan berbasis masyarakat sipil yang mempertahankan spirit al-syurâ, sementara pemerintahan Mu’awiyah menempatkan titah sang khalifah (raja/ sultan: malik –dalam bahasa Arab) selayaknya sabda tuhan. Masyarakat yang karena memperjuangkan haknya dan secara kebetulan berbeda atau dianggap menentang dengan pihak pemegang kekuasaan menjadi sah dan legal untuk dieksekusi atas nama hukum dan agama.
Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya salah satu karakteristik "Khilâfah Islâmiyah" yang diterapkan pada era Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah keengganannya untuk berpijak pada agama secara formal; bersandar pada teks liturgis keagamaan. Dengan demikian, ada sebuah pengingkaran dan pengkhianatan secara nyata yang dilakukan oleh Mu’awiyah ketika dirinya menempatkan dirinya dan anak keturunannya sebagai seorang raja. Adalah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kepemimpinan dinasti Umayyah tidak lah didirikan atas tiang nilai-nilai etika dan moralitas keislaman, melainkan berpijak kokoh di atas budaya primordialisme (Muhammad Sa’id al-Asymawi, al-Khilâfah al-Islâmiyah; 1996, 191).
Rezim tiran dinasti Umayyah ternyata berlanjut dan menular kepada dinasti pengganti dinasti Umayyah; dinasti Abasiyyah. Alih-alih dinasti ini mampu memutus budaya otoriterianisme yang merebak pesat, malah justru memperparah budaya otoriterianisme. Bahkan, pada masa dinasti Abasiyyah ini, konsep kepemimpinan secara vulgar ditarik ke dalam ranah agama dan menganggapnya sebagai bagian pokok (fardh) dari agama. Selain itu, terma al-khilâfah pun dengan sengaja ditumpang-tindihkan dengan terma al-imâmah sebagai bagian dari upaya melegitimasi kekuasaan dengan teks-teks agama.
Memburuknya iklim politik semasa dinasti Umayyah dan Abasiyyah, disamping berdampak kepada hilangnya kedewasaan dalam memahami perbedaan nalar politik, juga memicu maraknya berbagai sekte, mazhab dan aliran. Umat Islam menjadi tersekat dalam beberapa kelompok, sekte dan aliran. Kita jadi mengenal Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah, Sunni, Jabariah, Qadariah dan Murjiah. Atau lebih spesifiknya, kita menjadi merasa akrab dengan kelompok al-Mutahadditsûn, al-Mufassirûn, al-Fuqahâ, al-Mutakallimûn dan al-Mutashawwifah.
Kemunculan berbagai kelompok di atas oleh Ahmad Amin disinyalir sebagai gejala awal bagi kemunduran dunia Arab-Islam dalam segala bidang. Bagi Ahmad Amin, masih dalam analisanya mengenai kemunduran dunia Arab-Islam, penyebab kemunduran tersebut disebabkan oleh banyak faktor antara lain, redupnya kredibilitas kaum Mu’tazilah, hegemoni non-Arab dan fanatisme mazhab yang berlebihan sebagaimana terpotret dalam konflik yang melelahkan antara al-Fuqahâ melawan al-Mutashawwifah, antara pihak Sunni dengan Mu’tazilah, penganut Syafi’i kontra penganut Hanafi dan sebagainya (Muhammad Nur Farhât, al-Bahts ‘an al-‘Aql; Hiwâr ma’a Fikr al-Hâkimiyyah wa al-Naql; 2006, 68).
Selain menyembulkan aroma otoriterianisme, pergeseran dari konsep al-khilafah menuju konsep al-mulk juga mencuatkan sisi positif bagi khazanah intelektual Islam. Sisi positif tersebut adalah maraknya kajian-kajian tentang nalar politik (al-âdâb al-sulthâniyah) yang pada akhirnya lebih akrab disebut fiqh al-siyâsah.
Sayangnya, merebaknya diskursus fiqh al-siyâsah ketika itu, bukan dimaksudkan sebagai anti tesa bagi rezim tiran yang sedang berkuasa. Kajian fiqh al-siyâsah di sini malah lebih terlihat sebagai pembelaan, tidak sebagai bentuk perlawanan yang ditujukan guna melakukan de-legitimasi kekuasaan politik saat itu. Pun diskursus tersebut tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan pola politik-kekuasaan ala Nabi dan membawa pulang kembali nalar-nalar politik yang pernah eksis di Madinah (‘Izzuddin al-‘Alâm, al-Âdâb al-Sulthâniyah; 2006, 14).
Dalam analisa Abid al-Jabiri yang termuat dalam buku provokatifnya, al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabi, sejarah mencatat, kajian fiqh al-siyâsah yang didominasi oleh ideologi kerajaan bermula dari sosok Ibn al-Muqaffa’ (145 H.) yang notabene merupakan keturunan Persia. Oleh karenanya, dalam anggapan al-Jabiri, wacana yang berkembang dalam diskursus fiqh al-siyâsah yang berisi pengkultusan terhadap pemimpin merupakan warisan budaya Sasaniyah (Persia) -juga tradisi politik Helenisme dan praktek politik Madinah- yang tertransformasikan melalui figur Ibn al-Muqaffa’. Transformasi ini dapat berlangsung mulus karena secara politik ada kemiripan antara kondisi politik dalam masyarakat Arab dengan masyarakat Persia. Tentu tidak berlebihan jika Abdullah Laroui berasumsi bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kajian fiqh al-siyâsah masa Nabi yang masih berentitaskan semangat al-syura dengan kajian fiqh al-siyâsah masa Abasiyyah yang banyak mengadopsi spirit monarki (Abdullah Laroui, Mafhûm al-Dawlah; 1981, 105).
Dengan demikian, agaknya sulit bagi kita untuk membantah “tuduhan” al-Jabiri dan Laroui di atas. Bahkan tuduhan tersebut akan menjadi lebih meyakinkan ketika kita melakukan pengembaraan panjang terhadap buku-buku karangan sarjana klasik yang mengupas tuntas mengenai sistem dan konsep politik-kekuasaan serta relasinya dengan masyarakat. Dari al-Ahkâm al-Sulthâniyah-nya al-Mawardi sampai karya Lisân al-Dîn ibn al-Khathîb berjudul Maqâmat al-Siyâsah dan al-Isyârah ila Adab al-Wizârah, juga buku Sulûk al-Mâlik fî Tadbîr al-Mamâlik-nya Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Abi Rabî'.
Pada akhirnya, Islam memang tidak pernah memaksakan kepada setiap muslim untuk tunduk kepada setiap sistem politik apapun. Islam hanya menitipkan semangat al-syura sebagai hal yang harus dipedomani. Islam dan Nabi tidak pernah campur tangan dalam jargon “Khilâfah Islâmiyah” yang tengah diwacanakan. Demikian...
Sumber : Peneliti di Philo School dan Afkar United.
[caption id="attachment_360218" align="aligncenter" width="137" caption="Ketua Jurusan Teknik Elektro - UNP"]
[caption id="attachment_360219" align="aligncenter" width="147" caption="KA. LAB Pemakaian Listrik"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H