Mohon tunggu...
Muhammad Arrasy
Muhammad Arrasy Mohon Tunggu... -

Muhammad Arrasy, Asal Kedang Nusa Tenggara Timur..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyelami Pergulatan Demokrasi Melawan Otoriterianisme

18 Desember 2014   19:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:02 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akibat nyata dari kemandirian sistem politik Arab-Islam Klasik adalah sebuah penegasan kepada publik bahwa Islam tidak akan pernah mau menyampuradukkkan permasalahan keagamaan dengan permasalahan kehidupan. Dengan vulgar Nabi menyatakan, “Jikalau Aku meminta kalian semua terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan ritual agama, maka penuhilah. Jika permintaanku berkenaan dengan hasil nalarku, maka sesungguhnya Aku hanya sekedar manusia”.

Statemen Nabi di atas menunjukkan kepada kita bahwa permasalahan seputar teologi (akidah) dan aspek ritual-formal ibadah hendaknya merujuk langsung kepada Nabi. Adapun permasalahan yang berkaitan dengan fenomena dan realitas sosial kemasyarakatan, maka peran akal dan ijtihad dijadikan sebagai pedoman. Di sini, Nabi nampak punya hasrat yang demikian kuatnya untuk menjadikan warga Madinah sebagai masyarakat yang berperadaban dan mempunyai kesadaran terhadap keniscayaan adanya keberagaman, bersikap toleran dan menjunjung tinggi budaya humanisme.

Sejauh pembacaan terhadap turâts, sama sekali tidak ditemukan adanya upaya Nabi untuk “menjerumuskan” warga Madinah dalam kehidupan berpolitik yang tiran dengan absolutisme kekuasaan. Posisi dan kiprah politik masyarakat Madinah diakui ekistensinya. Boleh dibilang, iklim politik yang dibangun oleh Nabi adalah iklim yang terbuka. Semua komponen masyarakat Madinah dilibatkan dalam dinamika politik-kekuasaan yang dibangun oleh Nabi. Nabi (Islam) tidak pernah memaksa umat Islam untuk tunduk dalam sebuah sistem politik tertentu dan bahkan sama sekali tidak menggariskan model politik-kekuasaan yang saklek dan ajeg. Islam hanya menekankan urgensitas al-syurâ sebagai sebuah entitas kehidupan berpolitik yang tidak boleh diabaikan.

Arab-Islam Medieval Versus Otoritarianisme Politik


Selepas meninggalnya Nabi, praktek politik-kekuasaan bermetamorfosa ke dalam bentuk khilafah yang pada permulaan pelaksanaannya sudah banyak menuai badai kontroversi. Bahkan, suksesi yang berhasil menaikkan Abu Bakar mengalami penolakan yang dilancarkan oleh keturunan Hasyim (Muhammad Mawhiburrahman, et-all, Panorama Islam Mondial; Senarai Perjalan Islam Klasik dan Kontemporer; 2006). Islam –paska kematian Nabi- banyak disibukkan oleh deraan konflik multi dimensi. Ironisnya, konflik yang meletup pertama kali dalam Islam adalah konflik yang sarat dengan nuansa politis. Sebuah fenomena yang tidak ditemukan semasa Nabi memimpin Madinah selama hampir 10 tahun.

Yang paling tragis adalah ketika Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dengan semena-mena merubah model khilafah ke dalam format monarki. Pemimpin (selepas kepemimpinan Mu’awiyah) tidak lagi diangkat berdasarkan metode bay’at, tapi dimonopoli oleh klan Umayyah dengan pertimbangan keturunan dan waris. Realitas ini diperparah oleh represifnya pemerintahan dinasti Umayyah sebagai konsekuensi guna mempertahankan kelanggengan kekuasaannya.

Keputusan pengalihan model kepemimpinan secara sepihak oleh Mu’awiyah serta merta menggeser model politik-kekuasaan yang dikonsepsikan Nabi. Pada masa Mu’awiyah, rakyat tersingkir dari gelanggang politik. Bahkan, hak-hak politik mereka pun diberangus. Bila dibandingkan, pemerintahan masa Nabi adalah sebuah pemerintahan berbasis masyarakat sipil yang mempertahankan spirit al-syurâ, sementara pemerintahan Mu’awiyah menempatkan titah sang khalifah (raja/ sultan: malik –dalam bahasa Arab) selayaknya sabda tuhan. Masyarakat yang karena memperjuangkan haknya dan secara kebetulan berbeda atau dianggap menentang dengan pihak pemegang kekuasaan menjadi sah dan legal untuk dieksekusi atas nama hukum dan agama.

Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya salah satu karakteristik "Khilâfah Islâmiyah" yang diterapkan pada era Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah keengganannya untuk berpijak pada agama secara formal; bersandar pada teks liturgis keagamaan. Dengan demikian, ada sebuah pengingkaran dan pengkhianatan secara nyata yang dilakukan oleh Mu’awiyah ketika dirinya menempatkan dirinya dan anak keturunannya sebagai seorang raja. Adalah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kepemimpinan dinasti Umayyah tidak lah didirikan atas tiang nilai-nilai etika dan moralitas keislaman, melainkan berpijak kokoh di atas budaya primordialisme (Muhammad Sa’id al-Asymawi, al-Khilâfah al-Islâmiyah; 1996, 191).

Rezim tiran dinasti Umayyah ternyata berlanjut dan menular kepada dinasti pengganti dinasti Umayyah; dinasti Abasiyyah. Alih-alih dinasti ini mampu memutus budaya otoriterianisme yang merebak pesat, malah justru memperparah budaya otoriterianisme. Bahkan, pada masa dinasti Abasiyyah ini, konsep kepemimpinan secara vulgar ditarik ke dalam ranah agama dan menganggapnya sebagai bagian pokok (fardh) dari agama. Selain itu, terma al-khilâfah pun dengan sengaja ditumpang-tindihkan dengan terma al-imâmah sebagai bagian dari upaya melegitimasi kekuasaan dengan teks-teks agama.

Memburuknya iklim politik semasa dinasti Umayyah dan Abasiyyah, disamping berdampak kepada hilangnya kedewasaan dalam memahami perbedaan nalar politik, juga memicu maraknya berbagai sekte, mazhab dan aliran. Umat Islam menjadi tersekat dalam beberapa kelompok, sekte dan aliran. Kita jadi mengenal Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah, Sunni, Jabariah, Qadariah dan Murjiah. Atau lebih spesifiknya, kita menjadi merasa akrab dengan kelompok al-Mutahadditsûn, al-Mufassirûn, al-Fuqahâ, al-Mutakallimûn dan al-Mutashawwifah.

Kemunculan berbagai kelompok di atas oleh Ahmad Amin disinyalir sebagai gejala awal bagi kemunduran dunia Arab-Islam dalam segala bidang. Bagi Ahmad Amin, masih dalam analisanya mengenai kemunduran dunia Arab-Islam, penyebab kemunduran tersebut disebabkan oleh banyak faktor antara lain, redupnya kredibilitas kaum Mu’tazilah, hegemoni non-Arab dan fanatisme mazhab yang berlebihan sebagaimana terpotret dalam konflik yang melelahkan antara al-Fuqahâ melawan al-Mutashawwifah, antara pihak Sunni dengan Mu’tazilah, penganut Syafi’i kontra penganut Hanafi dan sebagainya (Muhammad Nur Farhât, al-Bahts ‘an al-‘Aql; Hiwâr ma’a Fikr al-Hâkimiyyah wa al-Naql; 2006, 68).

Selain menyembulkan aroma otoriterianisme, pergeseran dari konsep al-khilafah menuju konsep al-mulk juga mencuatkan sisi positif bagi khazanah intelektual Islam. Sisi positif tersebut adalah maraknya kajian-kajian tentang nalar politik (al-âdâb al-sulthâniyah) yang pada akhirnya lebih akrab disebut fiqh al-siyâsah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun