Namaku Alissa Ashafara dan ini ceritaku. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara dan orang-orang memanggilku Ara. Pada saat usiaku 8 tahun aku pindah rumah, namun tidak begitu jauh dari rumahku yang sebelumnya. Tidak banyak kenangan di tempat tinggalku sebelumnya.Â
Yang ku ingat hanyalah pada saat perayaan ulang tahunku yang ke 5 tahun aku menangis karena tulang tangan kiri ku patah. Aku mencoba untuk menaiki sepeda milik sepupuku, namun aku terjatuh dan berakhir di tukang urut.
Perlu waktu untuk aku beradaptasi di tempat tinggal baruku. Seperti apa yang dikatakan oleh ibuku, bagai pinang dibelah dua aku memiliki sifat pemalu seperti ayahku sehingga sulit untuk mendapatkan teman.
Pada tahun 2008 aku memasuki taman kanak-kanak. Pada saat pertama kali aku masuk, guruku memintaku untuk melakukan tes golongan darah. Itu pertama kalinya aku periksa golongan darah. Pada tahun 2009 aku melanjutkan ke sekolah dasar.Â
Sejak kecil Ibu dan Ayahku bekerja. Dan setiap pulang sekolah, aku membeli makan terlebih dahulu karena saat itu aku belum bisa memasak. Mulai saat aku kelas 5 SD, aku mengikuti seni bela diri pencak silat. Setiap selesai sholat isya, aku dan Ayahku pergi ke perguruan pencak silat dan berlatih hingga larut malam.
Aku pun mencoba mengikuti pertandingan seni bela diri pencak silat untuk pertama kalinya. Walaupun saat itu aku tidak menang, tapi aku sangat senang karena mempunyai pengalaman untuk tampil di depan banyak orang.
"Tadi Ara ikut pertandingan?" ujar Mira, dia adalah kakak dari ayahku. "Masa sih Ara mau ikut pertandingan itu?" sahut Sinta, sepupuku.
"Iya, Ara ikut pertandingan itu, tapi dia belum menang." Ayahku berkata sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh mereka. "Tidak apa-apa kalau belum menang, yang penting kan sudah punya pengalaman. Sudah merasakan bagaimana rasanya tampil di depan banyak orang," ujar Tuti.
Semua keluarga ku tidak ada yang menyangka aku berani tampil di depan banyak orang saat itu. Namun pada kenyataannya aku memang melakukannya.
Suatu hari, aku dan ayahku pulang ke rumah melewati sawah dibawah guyuran hujan yang deras. Saat itu aku berusaha turun ke hilir dengan tangga yang licin. Tiba-tiba terdengar suara petir tepat diatas kami. Ayahku langsung mengintruksi ku untuk bertiarap. Aku dan Ayah pun bersembunyi di balik semak-semak.
Setelah tamat pada tahun 2015, aku melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Pada awalnya aku susah beradaptasi karena setiap hari aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Aku juga terlibat aktif dalam ekstrakulikuler basket.Â
Pada saat aku menginjak kelas 9, teman-teman ku meminta aku mengikuti ekskul basket lagi karena akan diadakan pertandingan. Memang, aku sempat berhenti mengikuti ekskul basket karena terlalu banyak tugas sekolah yang membuatku mengabaikan ekskul.
Sejak saat itu, kami semua mulai fokus berlatih bersiap mengikuti pertandingan. Setiap pulang sekolah, aku dan teman-temanku berlatih di sekolah hingga petang. Tibalah hari dimana pertandingan akan dimulai. Pada pertandingan pertama, kedua tim dari sekolah ku memenangkan pertandingan dan berhasil melanjutkan ke pertandingan selanjutnya.
Namun di pertandingan selanjutnya, tidak semudah di pertandingan pertama. Tim putri dari sekolah ku melawan tim putri tuan rumah. Sebelum dimulai, kami semua berlatih sebagai pemanasan.Â
Tak lama, pertandingan pun dimulai. Setiap kali aku mencoba merebut bola, lawan selalu bisa menghindarinya. Aku akui jika mereka mempunyai energi yang sangat kuat. Sampai-sampai membuatku terpental ke dinding lapangan saat akan menangkap bola.
Melihat skor tim kami yang belum juga bertambah, semuanya panik dan kepanikan itu membuat kami tidak fokus. Tim lawan terus menyerang kami, hingga di akhir permain semangat sudah tidak kami miliki. Kami pasrah dan permainan ini berakhir dengan skor 0-60 dimenangkan oleh tim putri tuan rumah.Â
Sedangkan untuk tim putra, di menangkan oleh tim dari sekolahku. Selesai pertandingan, pelatihku cukup marah karena permainan yang diberikan oleh tim putri kurang baik. Kami pun mengadakan evaluasi sebentar.
"Kenapa kalian bermain seperti itu? Mana teknik-teknik yang sudah Abang ajarkan? Kenapa tidak kalian gunakan?" ujar sang pelatih dengan penuh amarah.
"Maaf Bang, tadi waktu pertandingan kami tidak diberikan kesempatan untuk memegang bola." Diana berkata dengan rasa takut yang menyelimutinya.
"Iya Bang, tadi Saras sudah mencoba panggil Ica. Tapi dia tidak juga mengoper bolanya." Ica yang mendengar itupun tidak terima.
"Bang, tadi saat Ica mau mengoper bolanya posisi mereka sedang tidak aman Bang!" sangkal Ica.
"Tidak aman bagaimana? Tadi aku lihat Ara posisinya aman-aman saja," sahut Sarah. Saat Ica hendak menyangkal lagi, Pelatih mengintruksikan kami untuk diam.
"Kalian itu tim. Tidak seharusnya saling menyalahkan seperti itu. Abang sudah sering mengatakan, komunikasi! Jangan diam saja seperti tadi. Seharusnya kalian bisa mencari cara supaya bola itu ada di tangan kalian!" tegas sang pelatih. Kemudian ia berkata, "Lain kali harus lebih fokus sama permainan. Sering-sering melakukan komunikasi supaya tahu posisi tim kalian itu seperti apa. Masa bola kalian oper ke tim lawan? Bisa-bisanya tidak ada satu poin pun yang kalian dapatkan."
"Iya Bang, maaf." Kami semua berkata sambil menunduk, meminta maaf kepada sang pelatih.Â
"Sebagai hukumannya, tim putri Abang hukum mengelilingi lapangan selama satu jam," putus sang pelatih. Akhirnya, sepulang dari sana aku dan tim putri melaksanakan hukuman yang pelatih kami berikan.
Mungkin kelas 9 adalah masa-masa terberat bagi ku. Karena selain kalahnya tim putri di pertandingan, akupun harus dihadapkan dengan berbagai ujian praktek dan unbk yang diadakan sekolah.
Pada saat ujian praktek ansamble, kelompokku sempat berseteru dengan kelompok lainnya karena kesalah pahaman yang terjadi. Belum lagi jadwal praktek kelasku di majukan dan tentunya itu sangat merepotkan.Â
Setelah praktek lari kami semua harus bersiap mengganti pakaian dan tidak ada waktu untuk berlatih sebentar. Jeda waktu yang diberikan pun hanya 30 menit. Akhirnya setelah penampilan ansamble kelompok kami, respon yang diberikan oleh guru sangatlah memuaskan.
Tidak sampai disitu, tapi kami harus melakukan UNBK. Angkatan ku bisa dibilang sebagai kelinci percobaan karena angkatan pertama yang melakukan un berbasis komputer dan angkatan pertama yang menggunakan kurikulum tiga belas.
Pada saat pengumuman hasil unbk aku sangat takut dan pasrah. Aku mendengar nilai temanku yang kurang memuaskan padahal dia mengikuti les tambahan diluar sekolah.Â
Aku berpikir nilaiku akan lebih buruk dari teman-temanku. Namun ternyata alhamdulillah, berkat dukungan, usaha, dan doa dari orang-orang terdekatku aku bisa mendapatkan hasil yang memuaskan dan diterima di Sekolah Menengah Atas pilihanku.
Namun begitu, aku masih harus mempersiapkan diri untuk menghadapi banyaknya tugas dan ujian-ujian yang akan datang. Dan sekarang disinilah aku berada, di kelas 12 Mipa 3 bersama teman-teman ku yang terus mendukung ku untuk meraih prestasi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H