Mohon tunggu...
Ar Rajip
Ar Rajip Mohon Tunggu... -

Jika Ingin merubah sesuatu, maka mulailah dengan menuliskan ide perubahan tersebut......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Haruskah Ibu Kotaku Pindah???

11 September 2010   17:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.....Macet......,banjir......,sempit........., susah air bersih........, dan lain-lain...,

Mungkin kata-kata di atas lebih kurangnya pas jika dialamatkan pada kondisi Ibu Kota Jakarta sekarang ini. Suatu kondisi yang cukup ironis memang, melihat disamping kiri menjulang gedung-gedung tinggi, sedangkan di sebelah kanannya berdiri gubuk-gubuk yang kalau merujuk pada standar kelayakan huni sudah tidak memenuhi lagi. Melihat kondisi-kondisi yang ada sekarang, status Jakarta sudah tidak jelas, apakah sebagai ibu kota negara, kota industri, pusat perdagangan atau pusat hiburan (perfilman).

Dari tujuh pakar yang diwawancarai oleh redaksi Vivanews.com, hanya satu yang menolak dengan tegas kalau ibu kota dipindahkan. Pakar tersebut yaitu Marco Kusumawijaya, Direktur Rujak Center for Urban Studies. Beliau menyatakan bahwa masalah-masalah Jakarta dapat diperbaiki dengan biaya lebih kecil daripada ongkos memindahkan Ibukota jika tujuannya adalah untuk membikin pemerintahan nasional berfungsi lebih baik. Beliau mencontohkan negara Jepang yang mampu mengatasi permasalahan yang hampir mirip yakni di kota Tokyo dengan tanpa memindahkan ibu kotanya tersebut.

Kemudian enam pakar lain yang setuju dengan wacana dipindahkannya ibu kota yaitu :

1. Andrinof Chaniago

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini adalah pendukung kuat pemindahan Ibukota. Beliau menyatakan bahwa suatu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun serta gangguan jiwa meningkat. bahkan beliau mewanti-wanti bahwa ledakan sosial seperti tragedi Mei 1998 akan mungkin terjadi kembali kalau tidak ada keputusan politik untuk pindah ibu kota. Adapun suatu langkah nyata yang diberikan oleh beliau yaitu suatu kota di Kalimantan untuk dijadikan sebagai ibu kota yang baru.

2. Yayat Supriyatna

Planolog dari Universitas Trisakti, Jakarta, ini mendukung upaya pemindahan Ibukota dari Jakarta. Beliau berpendapat bahwa fungsi dan peran jakarta sekarang ini menjadi tidak jelas. Hal ini karena Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang untuk menjadi ibu kota dengan skala sebesar sekarang. Kemudian juga diakibatkan oleh paradigma sentralistis pada pemerintahan orde baru dimana proyek-proyek pembangunan dirancang di Jakarta, sehingga seolah-olah memberikan daya tarik yang besar bagi penduduk di luar Jakarta. Beliau menambahkan bahwa suatu daerah yang seluas Jakarta, idealnya berpenduduk sekitar 4 sampai 5 juta jiwa, sungguh jumlah yang nilainya setengah dari jumlah penduduk Jakarta saat ini (kurang lebih sekitar 9,5 juta jiwa). Adapun solusi yang ditawarkan yaitu dengan memindahkan ibu kota tetapi tanpa harus membangun kota baru yang dapat menelan biaya yang tidak sedikit.

3. Haryo Winarso

Planolog Institut Teknologi Bandung ini bersikap, pemindahan Ibukota jangan berdasarkan faktor Jakarta yang macet dan semrawut saja. Memindahkan Ibukota tidak serta merta menghilangkan segala masalah yang ada di Jakarta saat ini seperti kemacetan. “Karena kalau alasannya untuk mengurangi kemacetan itu emosional, jangka pendek dan itu tidak benar,” kata Haryo Winarso kepada VIVAnews, Rabu 4 Agustus 2010. Menurutnya Ibukota tidak dapat pindah ke dalam lokasi berdekatan seperti Jonggol dan Karawang karena hal tersebut hanya akan memperpanjang kemacetan. “Karena orang-orang yang terlibat pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet,” katanya. Jika Ibukota tetap berada di Jakarta maka solusinya adalah pemerintah harus menerapkan manajemen transportasi massal yang baik dan mengeluarkan kebijakan yang tidak populis seperti pembatasan kendaraan pribadi dan menaikkan tarif parkir. “Jika transportasi massal telah baik dan adanya pembatasan kendaraan pribadi maka kemacetan dapat berkurang, hal ini telah diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura,” ujarnya.

4. Sonny Harry B. Harmadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun