Mohon tunggu...
Arra Yusuf
Arra Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Arra Itsna Yusuf suka jalan-jalan dan nulis suka-suka

Setidaknya, dengan menulis, "Aku menghadirkan diri, meski kau anggap aku mati" (Arra Yusuf)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senarai Kasih Nenek

20 April 2014   19:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen

Senarai Kasih Nenek

oleh: Arra Itsna Yusuf

Tak ada yang kutahu tentang asal-usul perempuan tua ini. Yang akrab denganku hanya suara rengekannya di pagi hari, meminta susu atau ketika ia mengeluh ingin buang air.

Benar kata orang, menjadi tua berarti siap terlahir seperti bayi kembali. Siap kehilangan kebugaran, apa-apa harus dilayani. Dan aku, bayangkan, selama hampir setahun ini boleh dikatakan sudah teramat muak dengan pekerjaan ini. Awalnya aku hanya mengurus semua tentang dapur dan sumur keluarga perlente ini. Kini ditambah mengurus nenek tua yang sudah tak berdaya ingat setiap harinya. Andai aku tahu dari mana asalnya, atau setidaknya namanya, akan kuantar ia kepada sanak keluarganya. Biar mereka tahu rasa bagaimana rasanya mengurus perempuan sepuh ini.

Aku mengembuskan napas. menatap ke luar jendela kamar sumpek ini. Malam di kota Jakarta tak ada beda dengan siang harinya. Udara tetap saja terasa mampat. Seperti terkurung dalam ruangan kecil tanpa ventilasi. Di luar atau di dalam, sama tersiksa oleh pengapnya. Bedanya, di luar kau bisa merasakan semilir angin kering, meski angin itu lalu membawa aroma-aroma tak sedap.

Rumah yang kutumpangi ini boleh saja mewah, boleh saja sejuk, boleh saja rapi dan resik. Tetapi itu hanya berlaku bagi anggota keluarga, tidak bagi penghuni kelas dua, atau kelas tiga, katakanlah kelas rendah sepertiku. Aku hanya bagian kecil yang hampir terlupakan dari keseluruhan kemegahan yang terlihat.

Seperti tikus kecil yang tetap dibiarkan hidup di salah satu sarang, di pojok ruangan. Pengap dan lembap. Aku bahkan bosan mendengar suara derit kipas bodol yang ternyata masih bisa berputar di langit-langit sarangku. Maksudku, kamarku. Ruangan 3x4 meter yang hampir seperti gudang. Banyak benda tumpuk-menumpuk, tak ada habisnya, tak ada rapinya, setiap harinya.

Cukup. Baiklah, cukup. Aku sudah mual.

Aku mual dengan keadaan monoton ini, andai saja pundi-pundi rupiah tak kudapatkan setiap awal bulan, aku mungkin sudah muntah darah di sini saking memuakkannya pekerjaanku.

Di mana orangtuaku? Saat aku, gadis yang baru memasuki usia lima belas ini, saat gadis seusiaku seharusnya berceloteh riang menuju gerbang sekolah menengah atas dengan kawan-kawannya, malah di sini. Teronggok bersama kasur lepek bau apek dan tumpukan pakaian. Menjadi asisten rumah tangga yang terkenal sabar mengurus seorang perempuan sepuh. Sabar?

Andai bisa mengeluh. Aku ingin mengeluh sebanyak yang aku rasa, tapi kepada siapa? Tukang sayur usia 30-an itu tak pernah serius menanggapiku. Si Darman, yang lulusan STM itu, yang kerjanya di bengkel itu pun hanya mendengarkanku seperti angin lalu. Juga si Sarip, asisten penjaga keamanan itu, yang usianya baru dua puluh tahun itu, ia bahkan hanya bisa menepuk pundakku sambil berkata, "sing sabar bae, Ti.. kamu akan menemukan kehidupan yang lebih baik kalau kamu bersabar. Sing penting, kamu punya uang. Bisa ditabung, punya pengalaman di tempat baru." Setelah mengatakan hal itu, berulang-ulang, ia akan berlari, menghilang di ujung gang, berbarengan dengan suara peluit sang komandan keamanan komplek tempatnya bekerja, memanggilnya bertugas.

Seolah tak ada manusia yang mau mendengar keluhanku kecuali nenek sepuh itu. Astaga! Sekarang sepertinya aku mulai gila.

Berbicara sendiri pada berlembar-lembar pakaian modis milik majikanku, yang hendak ku-laundry.

Nenek tua mengetuk-ngetuk pegangan kursi rodanya dengan sendok. Aku sangat hafal, itu tanda bahwa ia sudah lapar.

Pukul delapan.

Aku mengehela napas panjang meninggalkan cucian menumpuk kemudian berlari menujunya. Kupasang wajah senyumku, semanis mungkin, meski yang kudapati kadang-kadang rengekan menjengkelkan. Bahkan jambakan di rambutku hingga cubit dan cakar di wajahku. Tuhan... Ini benar-benar menyebalkan!

Tapi aku bukanlah tipe pendendam, sayangnya. Kalau saja aku mudah sakit hati, barangkali sudah kubawa pergi nenek ini. Kubuang dia di penampungan. Atau kukirim saja ke panti jompo!

Tapi tampaknya kekuatan nilai segepok uang menjadi penghalangku berbuat hal-hal semacam itu. Detik itu aku merasa menjadi manusia kotor lagi hina dina karena yang kupikirkan hanya uang. Orientasiku hanya uang, uang dan uang. Padahal, uang itu toh tak akan kuberikan kepada siapa-siapa. Toh, aku sudah tak punya keluarga di kampung. Aku pun tak tahu di mana keluarga besarku tinggal. Aku anak semata wayang yang ditawari bekerja di kota setelah orangtuaku meninggal lima tahun lalu. Bahkan aku tidak pernah melihat jasad kedua orangtuaku karena menurut kabar yang santer beredar, mereka berdua sudah disemayamkan di rantau orang. Di negeri yang jauh di sana. Mereka, bahkan tidak menganggapku ada?

Nenek itu terus merengek meski aku sudah menyuapinya perlahan. Entah apa yang membuat suasana hatinya selalu rusuh setiap kali aku memberinya makan dan minum. Ia tak bisa bicara. Hanya bisa meringis, menyebut namaku sesekali.

"Kenapa mereka membawamu ke sini, Nenek? Mereka terlalu baik untuk ukuran orang kaya yang kukenal sangat pelit? Lihat! Aku saja ditempatkan di ruang pengap itu dan hampir saja terkena berbagai penyakit, sementara kau ditempatkan di kamar besar lengkap dengan televisi. Hagh! Memangnya siapa kau ini, Nek?"

Mulut keriput nenek itu belum jua terbuka untuk suapan terakhir. Ia malah menunduk. Mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. Wajah penuh lipatan-lipatan kerut kulit tipis itu tiba-tiba muram .

"Apa aku salah bicara? Apa Nenek mendengar apa yang kukatakan? Apa Nenek mengerti?" Tanyaku bertubi-tubi sembari menatap wajah tua itu lekat-lekat. Berharap ia menggumamkan sesuatu semacam ucapan terima kasih atau meminta maaf, atau menjelaskan padaku semuanya. Tetapi nihil, Ia terus menunduk. Bahkan tak merespon datangnya sendok berisi bubur sayuran yang kusodorkan.

"Erggh... Nenek, tolong pahamilah kondisiku saat ini! Aku sudah hampir pingsan menahan kesabaran!" Aku mencengkram lutut kurus tertutup selimut hangatperempuan tua. Tak ada reaksi selain menunduk dan ketukan sendok di meja yang semakian cepat dan keras. Seakan-akan nenek mau menghancurkannya.

"Apa Nenek sudah selesai makan?"

Nenek itu belum bergeming dari aktiviatasnya.

"Kalau sudah selesai, aku akan kembali mencuci." Lenganku mengelap kembali bibir perempuan tua yang tadi belepotan. Merapikan helaian rambut yang menyembul dari balik kupluknya, rambut yang keseluruhannya adalah uban. rambut keriting kusut yang selalu kuusahakan tersisir rapi dan lalu kusembunyikan di dalam ciput, semacam kupluk, berwarna coklat kemerahan. Sehingga tak ada rambut beruban yang muncul sembarangan.

"Bersyukurlah, Nenek. Aku masih baik padamu. Meski upayaku bersabar tak sehebat keluarga kaya ini. Mereka mana mau tahu bagaimana aku mengurusmu!" Gerutuku. Setelah memastikan tak ada yang tersisa di mulut si Nenek, aku membawanya ke dekat tempatku mencuci, supaya ia bisa tetap kuawasi. Kuberikan buku cerita bergambar sebanyak tiga buah. Kuletakkan di atas lututnya. Setahun mengurus perempuan tak jelas asal-usul ini aku tahu ia senang sekali melihat buku cerita bergambar. Benar-benar seperti kembali menjadi bocah.

"Ti..Nar...ti..." Aku mendengar desisan suara yang memanggil namaku. Kutolehkan wajah ke arah nenek yang masih asyik membuka-buka buku cerita. Aku sangat yakin itu suara nenek memanggilku. Tapi mengapa intonasinya berubah?

"Ada apa dengan suara Nenek?"

Kuhampiri kursi rodanya. Perempuan tua itu terkikik. Entah menertawakan gambar di buku atau pertanyaanku.

"Nenek, katakanlah sesuatu!" Aku berjongkok di sisinya. Perempuan tua itu malah terkikik lagi. Aku mendengus, watakku yang gampang tersinggung menuntunku untuk acuh tak acuh. Jadi aku hiraukan saja. Memilih kembali menuju tempat laundry lagi.Tak peduli ia terus mendesis-desis lalu terkikik seusai menyebut-nyebut namaku.

Siang hari juga bukan waktu favoritku. Lepas membereskan semua pekerjaan rumah dan mengurus nenek, aku membawanya ke luar. Terik sekali! Tetapi kali ini misiku harus tunai. Kalau tidak, aku bisa meledak sendirian di sarang pengapku. Lihat! Sekarang aku sendiri saja sudah menganggap diriku tak ubahnya binatang kecil pengerat yang suka bercericit itu? Lantas kamarku kubilang sarang? Hai Narti! Syukurilah segalanya. Kau masih hidup dan majikanmu tak pernah macam-macam padamu! Hanya sedikit pelit, baik uang maupun senyuman.

Perempuan tua menatap silau sekelilingnya yang ramai. Sengaja kupakaikan kacamata berwarna gelap agar matanya tak terpapar sinar matahari secara langsung. kasihan juga tubuh ringkih itu seperti ikut menciut di keramaian tengah kota.

Aku terus mendorong kursi rodanya di sepanjang trotoar area pusat perbelanjaan mewah daerah Kuningan. Dalam pandangan orang-orang, kami mungkin terlihat seperti sepasang cucu dan Nenek glamour yang hendak berbelanja. Aku tampak seperti cucu berbakti yang berpenampilan modis. Rokrempel warna abu-abu selutut dipadu atasan kaus warna pink yang ditutupi cardigan warna pink muda. Rambut hitam tipisku kukuncir kuda dengan teramat rapi. Kupinjam sepatu pantofel mahal milik anak perempuan majikanku. Kusampirkan tas Dolce Gabbana KW dua yang juga kupinjam dari anak perempuan majikanku. Pas! Semua terlihat pas di badan kurus semampaiku. Tak ada yang tahu aku hanya gadis yatim piatu, putus sekolah dasar dengan terpaksa, yang kini berprofesi sebagai asisten rumah tangga sebuah keluarga kaya di kota Jakarta.

Aku menghentikan laju kursi roda Nenek. Nenek juga tak kalah modis. Kudandani ia sedemikian rupa. Mulai dari pakaian hingga make up-nya. Kupakaikan pakaian terbaik. Selimut baru yang menutup kakinya, juga sepatu baru. Bahkan kulekatkan kacamata ke mata keriputnya. Bukan kasihan, hanya agar dia tak terlalu terlihat punya kekurangan.

"Nenek, tunggulah di sini. Aku akan membeli beberapa buku cerita bergambar." Ujarku seraya memaksakan senyumku. Mata nenek mengerjap-ngerjap seraya mencengkram lenganku beberapa saat. Bibir kecil keriputnya menyuguhkan senyum. Aku, mau tak mau harus membalas senyumnya. Demi kesempatan emas yang akan kudapatkan hari ini. Kesempatan langka yang sudah kunanti-nanti.

Setelah melepaskan cengkraman tangan si nenek. Aku berlari ke salah satu sisi bangunan. Bersembunyi beberapa saat di sana, melihat ke arah nenek sebentar lalu mengelus dada.

"Baiklah Narti. Tinggalkan dia di sana."

Aku berdialog dengan diriku sendiri sambil perlahan berjalan mundur meninggalkan nenek. Tidak ke toko buku, tidak ke supermarket, bahkan tidak ke panti jompo, aku justru menyetop sebuah taksi menuju terminal. Pikiranku hanya tertuju ke suatu tempat.

Seminggu kemudian...

"Buka pintunya!"

Aku merasa duniaku seakan masih berada di saat matahari belum menyinarinya. Meski begitu, gedoran pintu yang cukup keras nyatanya berhasil membuat duniaku terlihat terang benderang. aku kewalahan mengumpulkan kesadaranku.

"Pukul 11!" Aku terlonjak dari tempat tidur saat mataku tertumbuk pada jarum jam dinding. Berlari menuju kamar mandi, tapi gedoran keras di pintu membuatku urung melangkah ke kamar mandi.

"Siapa?" Teriakku dari dalam.

"Buka pintunya!" Sebuah suara menyahuti dari luar.

Aku terhuyung ke sana. Membuka pintu seraya mengucek mata. Merapikan rambutku yang awut-awutan mekar seperti rambut singa, sebisanya.

Di depan pintu, seorang lelaki setengah baya berdiri tegap. Memakai seragam berwarna abu-abu gelap.

"Ada apa... pak polisi?" Kata-kataku seakan tercekat di tenggorokan. Aku menelan ludah. Mimpi apa aku sehingga didatangi petugas polisi?

"Narti Sudibya?" Lelaki berseragam itu bertanya di depan wajah lusuhku.

Aku mengangguk.

"Kenal dengan nenek ini?"

Ia memiringkan posisi badannya, aku memiringkan kepalaku demi melihat ada siapa di balik tubuh tegap itu? Pertama-tama kulihat sepasang kaki bersepatu slop, lalu rok panjang, sweater, wajah... wajah... ciput itu, uban... senyuman...

Lantas aku jatuh terduduk, lututku tiba-tiba bergetar tak mampu lagi menopang berat badanku.

"Ini nenek Anda bukan?" Lelaki berseragam polisi bertanya kembali.

Perempuan di belakangnya tersenyum lagi. Mulutku terkatup, seperti tersegel lakban.

"Kami mengetahui tempat tinggal Anda dari nenek ini." Ujar polisi.

"Mana mungkin..." desisku hampir tak terdengar. Nenek itu tersenyum lagi lalu melangkah mendekatiku.

Berjongkok di depanku. Menuntunku berdiri. Sementara mataku terbelalak seolah baru saja melihat hantu.

Polisi dan nenek itu akhirnya duduk lesehan di ruang tamu. Beralas karpet lusuh. Kusuguhi keduanya dengan dua gelas teh manis hangat saja, karena aku kehabisan minuman atau makanan lainnya.

"Dik Narti, kenal nenek ini?" Polisi menatapku. Memastikan sesuatu.

Aku mengangguk ragu. Ingin menyangkal tapi senyuman si nenek seperti menyihirku untuk mengangguk.

Polisi lalu tersenyum.

"Silakan, Nek.. jelaskanlah." Bapak berseragam itu lalu mempersilakan si nenek bicara. Aku siap mendengarkan dengan tegang.

"Lima belas tahun lalu nenek meninggalkan rumah dalam keadaan marah pada kedua orangtuamu, terutama ibumu yang keras kepala. Nenek membawa semua pakaian dan harta satu-satunya. Kalung ini." Tangan keriput nenek memegang liontin di lehernya. Ia melanjutkan, "Nenek tidak sangka, kedua orangtuamu juga akan meninggalkanmu bekerja ke luar negri saat kamu masih berusia delapan tahun..."

"Dan keluarga Kiai Rais mengasuhku di pesantrennya.." aku memotong perkataan nenek. Nenek menghela napas. ia melanjutkan, "Demi uang, demi uang kami semua pergi meninggalkan gadis kecil ini."

Masih hening. Aku seperti tengah berada di dalam gua yang hanya menggemakan suara nenek.

"Nenek akhirnya pergi ke Jakarta. Meninggalkan orangtuamu, dan kamu yang baru lahir. Nenek bekerja di rumah besar itu. Rumah yang seminggu lalu kamu tinggalkan. Bertahun-tahun mengabdi pada keluarga kaya yang kamu anggap pelit itu. Sama, mereka mulanya menempatkan nenek di ruang pengap dengan kipas bodol itu. Lalu saat nenek jatuh sakit, tak disangka mereka ternyata tetap merawat nenek dengan sabar. Karena mereka bilang, nenek cukup berjasa bagi keluarga mereka, meski sudah tua." Nenek menjeda penjelasannya sejenak.

Aku menahan napas demi mendengar kelanjutan cerita yang hampir sudah bisa kutebak intinya.

"Nenek lalu mendengar kabar itu. Kabar bahwa orangtuamu sudah wafat. Dan jenazahnya tak bisa dikembalikan ke Indonesia. Nenek saat itu memikirkan kamu yang pasti masih berumur sepuluh tahun. Akhirnya nenek meminta majikan nenek untuk mencarimu ke kampung. Menawarimu pekerjaan di rumah besar. Mereka setuju karena nenek yang meminta. Dan kamu pun pasti tahu kelanjutan ceritanya kan? Kamu, di usia belia itu lalu disekolahkan dulu sampai kelas enam, sambil tetap membantu majikan di rumahnaya. Setelah lulus, kamu baru disuruh benar-benar bekerja dengan waktu penuh. Nenek tidak tega, sebenarnya, karena kamu masih berumur dua belas tahun, tapi semangat kerja dan mengabdimu sepertinya menurun dari nenek dan berkat pengalamanmu di pesantren Kiai Rais, sehingga kamu tidak tampak berumur sekian." Nenek tersenyum getir. Bibirnya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. Saputangan yang sedari tadi ia pegang, akhirnya berguna untuk menyeka ekor mata yang berair.

"Maaf nenek sudah merepotkan kamu, Narti... nenek hanya ingin merawatmu meskipun kamu tidak kenal nenek. Maaf nenek merepotkan kamu selama setahun karena kaki nenek mendadak tak bisa bergerak."Tangis nenek benar-benar berderai kemudian.

Aku menyaksikan adegan itu dengan perasaan --yang anehnya-- biasa-biasa saja. Hanya terkejut sedikit lalu biasa lagi.

"Lalu apa nenek mendadak tak bisa bicara juga selama setahun aku merawat nenek?" Tanyaku begitu saja, ternyata itu menjadi guruh bagi kecamuk jiwa nenek. Kulihat ia menatapku nanar. Hampir menangis lagi.

"Nenek bisa bicara tapi tak sanggup menjelaskan apa-apa... nenek hanya merasa bersalah." kalimatnya menggantung. Aku mengembuskan napas berat. Tiba-tiba merasa dibodohi.

"Maaf..." akhirnya kata ajaib itu keluar juga dari mulut nenek. Polisi ikut-ikutan menghela napas, seperti terbawa pada situasi itu. Kupikir, "'kenapa pula nenek repot-repot berurusan dengan polisi?"

"Jadi selama ini, nenek berpura-pura tak bisa lancar berbicara dan pura-pura seperti lupa ingatan, hanya agar bisa berdekatan dengan Dik Narti, cucunya." Polisi itu menepuk bahu kurusku.

Aku tak bergeming. Aku sudah mengatakan bahwa aku bukan tipe pendendam, tapi sayangnya aku mudah tersinggung. Jadi, kubiarkan saja situasi cengeng itu hanya berlaku bagi si nenek.

"Aku tidak marah pada nenek. Tapi sulit bagiku untuk menerima semua cerita itu."

Nenek masih terisak. Aku melanjutkan, "Aku tahu nenek memikirkanku, terima kasih untuk itu. Dan aku minta maaf sudah meninggalkan nenek di jalanan waktu itu. Tapi... aku tidak mengerti kenapa nenek harus berpura-pura tidak bisa bicara? Apa nenek sengaja menguji kesabaranku?"

"Karena nenek tahu kamu sangat sabar meski kamu penggerutu. Hanya, kamu tidak cukup mampu bertahan lebih lama dalam satu situasi." Ujar nenek seraya tersenyum, "Kembalilah bekerja, Cu... Majikanmu tidak akan marah karena nenek tidak mengadukan yang macam-macam. Kali ini nenek janji akan membantu semua pekerjaanmu. Kaki nenek kan sudah membaik." Nenek tersenyum ke arahku. senyum yang tak mampu mendobrak kekesalanku.

"Tetap saja nenek sudah tua..." Jawabku spontan. Nenek tersenyum lagi.

"Tidak bisakah kita tinggal di sini saja, Nek? Mengurusi lahan yang ditinggalkan orangtuaku? Mumpung belum dijual. Mungkin kita bisa menanam sayuran atau obat-obatan? Aku masih punya cukup modal, Nek..."

"Kamu tidak mau melanjutkan sekolah?"Aku menghela napas.

"Nanti saja kalau suasana hatiku membaik. Yang pasti, aku tidak mau kembali ke rumah besar itu, Nenek..."

Nenek tersenyum meski sepertinya merasa kecewa. Tapi ia paham, meski orientasiku adalah uang, tapi ia pun sepertinya tahu aku tidak seambisius dirinya dan juga orangtuaku. Aku butuh uang tapi takbegitu butuh harta benda yang bisa kubeli dengan uangku itu. Mungkin aku bodoh, tapi hasil usahaku selama ini tak ingin kubuang sia-sia.

Setelah meninggalkan rumah besar aku jadi berpikir, ada tujuan lain yang ingin kugapai dengan modal uang yang kupunya saat ini. Dengan atau tanpa nenek, aku sudah tidak peduli.

Selesai_

Arra Itsna Yusuf,

Bekasi, 20 April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun