Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi kontroversial kerena dinilai bukan hal mendesak. Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta RUU HIP dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara mendapat sorotan banyak pihak karena dinilai sebagai RUU yang kontroversial yang akan memberikan kelonggaran terhadap penyebaran paham komunisme di Indonesia.
Dalam Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan atas Penyusunan Rancanangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila, 22 April 2020, RUU HIP merupakan usulan DPR RI dan ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas 2020. Usulan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh belum adanya landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain dianggap tak memiliki urgensi, banyak pihak yang menilai RUU Haluan Ideologi Negara berpotensi menimbulkan konflik ideologi. Salah satu yang kemudian menimbulkan polemik di masyarakat adalah konsep dari Trisila dan Ekasila.
Kedua konsep tersebut termaktub dalam Bab II Pasal 7 yang berbunyi: (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. (2) Ciri pokok pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Beberapa pihak menilai memeras pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara. Sebab, pancasila sebagai norma fundamental harus dilihat dalam satu kesatuan utuh dan tak bisa dipisahkan. Urutannya pun tak boleh diubah-ubah.
Kemudian hal yang menjadi polemik selanjutnya adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 pada RUU Haluan Ideologi Pancasila. Tentang pembubaran partai komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme. Problem tersebut kemudian menuai kecaman dari berbagai kalangan, terutama kalangan islam karena di khawatirkan akan menjadi celah kebangkitan PKI/komunis.
Segala ikhtiar untuk mengawal, melestarikan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, dan konsensus nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah ancaman ideologi transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa dan persatuan nasional.
Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa') yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius.
Rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa. Tindakan apapun yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional WAJIB dihindari, karena Pancasila dirajut oleh para founding fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam sebuah tenda besar.
Pancasila sebagai perjanjian agung tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai, di mana sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling menjiwai itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila. Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai philosophische grondslag (falsafah dasar) maupun staatsfundamentalnorm (hukum dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.