Gejolak nilai tukar Rupiah banyak terpengaruh dari aktivitas eksternal. Tensi geopolitik yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap depresiasi Rupiah. Lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS belakangan diakibatkan oleh ketegangan geopolitik serta keagresifan Amerika dalam mempertahankan ekonominya di tengah ketidakpastian global.
Pengetatan yang dilakukan oleh Amerika melalui suku bunga kebijakan telah mengakibatkan Rupiah terdepresiasi. The Fed telah mengerek suku bunga mencapai 525 bps sejak pertengahan 2022 karena inflasi yang tinggi. Kondisi ini meningkatkan kerentanan Rupiah hingga menyentuh angka Rp16.000/USD
Outlook ekonomi meramalkan tingginya tensi geopolitik akan berakhir pada akhir tahun 2024. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada tahun 2025 disertai dengan sasaran inflasi yang lebih rendah memungkinkan stabilitas ekonomi tahun 2025 lebih terjaga.
Tingginya tingkat inflasi di Amerika yang dikendalikan melalui dinaikkannya Fed Fund Rate (FFR) telah mencapai titik balik. Setelah sekian lama The Fed mempertahankan suku bunga kebijakan yang tinggi, pada awal November 2024, The Fed mulai memangkas suku bunga sebesar 75 bsp sehingga suku bunga AS berada pada rentang 4,50-4,75%. Prediksi penurunan suku bunga The Fed akan terus berlanjut hingga akhir 2024.
Pemangkasan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed dilakukan sebagai akibat menurunnya inflasi mendekati sasaran inflasi yakni 2%. Hal ini direspon baik oleh negara lainnya, terutama negara berkembang yang telah lama menantikan penurunan suku bunga The Fed, termasuk Indonesia.
Tingkat suku bunga kebijakan yang tinggi oleh bank sentral Amerika ini secara pasti memberikan tekanan terhadap Bank Indonesia. Dalam mempertahankan stabilitas ekonomi utamanya dari guncangan ekonomi global, Bank Indonesia juga mengerek suku bunga kebijakan hingga 375 bps. Namun, meredanya kondisi ekonomi global juga berdampak pada penurunan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,00% pada September 2024.
Penurunan secara bertahap suku bunga kebijakan ini berpengaruh terhadap penguatan nilai Rupiah. Meski berjalan dengan hati-hati, Rupiah telah menunjukkan penguatan. Pada Jumat (08/11) nilai Rupiah ditutup dengan Rp16.672 menguat 0,43 persen.
Dampak kondisi global terhadap Stabilitas Rupiah
Tingginya tingkat ketidakpastian ekonomi global berdampak pada sektor ekonomi domestik melalui transmisi nilai tukar. Pada hakikatnya, kondisi perekonomian antar negara dalam interaksi keuangan di kanca internasional akan saling terpengaruh melalui perdagangan internasional. Dalam hal ini, nilai tukar utamanya di negara berkembang cenderung lebih mengalami fluktuasi.
Aktivitas ekonomi internasional pada saat tensi geopolitik tinggi mengalami sejumlah gangguan. Masalah yang terjadi di Terusan Suez, Rusia membatasi ekspor gandum, kenaikan harga minyak mentah dunia, dan lainnya menyebabkan terjadinya imported inflation. Hal ini berdampak pada pelemahan mata uang domestik terhadap asing, termasuk Rupiah.
Pelemahan Rupiah mengakibatkan harga barang ekspor Indonesia menjadi lebih murah. Meski hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan dari sisi jumlah ekspor, namun tidak menutup kemungkinan akibat inflasi global yang tinggi mengakibatkan defisit neraca perdagangan.
Pelemahan nilai tukar Rupiah akibat sentimen ekonomi global perlu didukung oleh penguatan ekonomi domestik. Bank Indonesia terus meningkatkan penguatan melalui dorongan pada pasar uang melalui sejumlah instrumen yang baru diterbitkan antara lain SRBI, SVBI, dan SUVBI. Tidak hanya itu, Bank Indonesia juga mendorong penguatan sektor domestik melalui kebijakan makroprudensial untuk membangun proyeksi pertumbuhan Indonesia yang berkelanjutan sehingga mempengaruhi preferensi investor
Dengan serangkaian kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia, hal ini menegaskan bahwa stabilitas Rupiah memiliki peran penting dalam perekonomian baik internal maupun ekternal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H