Mohon tunggu...
Aroelika Munar
Aroelika Munar Mohon Tunggu... -

"Cari Aku"/ /Carilah aku, ikat aku dengan belenggu rindu/ Jamahlah daku, bimbing aku sampai aku mati/ Pejamkan mataku, sampai hidup ini berakhir/ /Jua kan kau temukan cinta sejati/ Kan hidup di dasar dadamu/ /Wahai rindu-rinduku/ Itu kau !/ Aku menunggumu/ /Aroelika Munar/ /Mtg Glp Dua, 27/10/2010

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burnitelong ( Part 1 )

19 Oktober 2011   20:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:45 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari mulai gelap, para jangkrik bersiap-siap mendendangkan nyanyian malam. Arlojiku menunjukkan pukul 18.30 WIB. Aku duduk disebuah warkop tak jauh dari terminal bus angkutan umum Medan – Banda Aceh dengan secangkir kopi hangat diatas meja bertaplak bunga sakura. Aku sedang menunggu seseorang, yakni seorang sahabat setia dan juga sekaligus sebagai mitra kerjaku di Lembaga Pers Mahasiswa ( LPM ) kampusku. Namanya Rahmat Kribo. Nama yang unik, yakni sebuah nama penghargaan terbaik tahun ini dari kami, sahabatnya di kampus. Menurutku nama tersebut sangatlah cocok dengan gaya rambutnya yang keriting panjang sebahu. Rahmat Kribo. Nama yang tak tergantikan!

Langit tampak mendung, dan awan berarak-arakan membentuk warna hitam kelabu diatas kota Bireuen alias Kota Juang. Langit segera menghujani tanah kami. Dan Bireuen pun basah seketika.

Tak lama kemudian datanglah seorang pemuda dengan tergesa-gesa menghampiriku dengan tentengansebuah tas mini. Dengan gayarambutnya kribo sebahu, bertopi macam koboi, dengan jeans sobek di paha, juga terpajang di lehernya sebuah kalung besi putih bergulungan seperti gulungan rambutnya yang keriting dan gimbal tak beraturan itu, pokoknya acak-acakan bener lah orangnya. Susah diatur. Dan dari sinar matanya kulihat, pancaran semangat besar yang membabi-buta. Mungkin dia sedang penasaran. Bersikukuh untuk tetap berangkat ke Bener Meriah walaupun hari menjelang maghrib dan hujan lebat mengguyur kota kami.

Ah, mungkin saja ia sedang menyimpan sesuatu yang tak bisa ku ketahui begitu saja”.Gumamku dalam hati.

Kawan, selama ini aku hanya menceritakan betapa hebatnya akan perjalanan kami nanti pada Rahmat, pada saat kabut dingin menyelimuti tubuh kami, melewati hutan kopi ribuan hektar, menapaki jalan ber-aspal goreng bergelombang naik turun, bertutur sapa dengan orang-orang kampung yang ramah. Dan yang paling asyiknya lagi, ketika nanti sampai di kaki gunung, kita akan menyempatkan sedikit waktu membasuh muka dan menghilangkan dahaga dengan air terjun di dekat lembah.

Kawan, masih banyak aneka flora maupun fauna yang terdapat disana nun indah dan menawan. Aku jamin kita takkan bosan menikmati keadaan alam disana. Apalagi jika kita telah memasuki daerah pendakian ke puncak gunung, terasa lelah menyengat berbalut keringat, tapi jiwa pasti akan lega tak berdahaga saat kita berhadapan dengan ribuan bahkan miliaran pohon Eidelwis yang berhamburan sepanjang mata memandang. Dan sedikit berpaling ke kanan, lukisan Tuhan dalam bingkai raksasa bernamakan hutan gayo yang berserakan tapi indah, nun hijau melingkari satu titik bening kecil berkilau di ujung sana; itulah danau Lut Tawar, Takengon.

Dan kini mungkin saja sobatku Rahmat hanya penasaran dengan apa yang sudah kusampaikan padanya tadi pagi tentangrupaholidayawal tahun ini. Kulihat binar-binar matanya itu menunjukkan; bahwa jiwanya sangat bersemangat mendaki sebuah gunung berketinggian kurang lebih 2700 meter diatas permukaan laut itu.

Mengasyikkan!Isyarat rahsia matanya menunjukkan begitu padaku.

***

Beberapa saat setelah menghabisi secangkir kopi hangat, kami bergegas untuk membeli tiket angkutan umum dengan tujuan Aceh Tengah( tanah gayo). Tapi tujuan kami bukannya untuk merasakan tawarnya air Danau Lut Tawar, yang kata orang-orang danau tersebut sungguh sangatlah indah mempesona. Namun tujuan kami kesana ialah tak lain tak bukan hanya pergi untuk merasakan harmoni pendakian yang menantang ke sebuah puncak kerucut raksasa yang di selimuti oleh miliaran pohon Eidelwis, dan gunung itu bernama: Burni Telong.

***

Kami mempunyai seorang sahabat bernama Dipa, ia adalah seorang sahabat karib yang mempunyai kepribadian tegas dan setia terhadap kawan-kawannya. Ia menyandang status mahasiswa di kampusku dan juga sebagai perintis Mapala di universitas swasta Almuslim tercinta.

Sebelumnya kami sudah menelepon Dipa yang duluan sudah berada di kaki gunung tersebut, agar nanti ketika kami sampai disana Dipa dan kawan-kawannya bersedia menunggu kami supaya bersama-sama mendaki ketempat perkemahan malam. Namun Dipa tak mengizinkan kami untuk cari perkara dengan alam disana. Karena disana pun hujan sangat lebat. Apalagi kami pergi malam-malam buta dan tak membawa perlengkapan apapun. Tolol alias dungu!. Mungkin begitulah kata-kata yang pas buat kami berdua saat itu.

“Bang, kami sudah setengah perjalanan nih! Tak mungkin kami balik lagi ke Bireuen”. Kataku padanya lewat telepon seluler.

“Sudah kubilang kalau mau ikut harus berangkat dari siang! Bukan jam segini! Cari masalah aja kalian!” Dipa membentakku agar kami berdua tak melanjutkan perjalanan ke Bener Meriah.

Aku tetap saja bertingkah sok nekat bin sok hebat, dan mengatakan padanya.

“Bang, walaupun rintangan menghadang, aku dan Rahmat tetap mau kesana. Dan kumohon padamu bang, tunggu kami disana ya....!” Pintaku padanya agar ia tetap mau menunggu kami berdua. Walaupun kami harus rela mencicipi hardik dan cacian darinya nanti.

***

Gelap telah menyelimuti malam. Tak kusangka hujan begitu lebat.Kulihat kaca mobil yang kami tumpangi, air hujan yang menghujam kaca mobil terlihat menyalar-nyalarlah guyuran hujannya berbentuk seperti anak-anak sungai yang saling berhimpitan merebutcelah-celah kekuasaannya. Rupanya hujan tak berhenti sedetik pun selama perjalanan tadi.

Kekhawatiranku mulai menguap, apakah aku dan Rahmat akan sampai pada tujuan yang sesusungguhnya.Yaitu sampai di shelter pertamadan melepaskan lelah di tengah-tengah hutan lebat dengan ribuan pohon-pohon besar berdiri tegap–gelap menyerupai monster-monster lucu. Dan apa mungkin kami bisa menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh sambil ngopi dan menghisap sebatang rokok kretek beraroma nikmat; tembakau terbaik dan bermutu di Indonesia katanya. Ataukah nanti, ketika subuh datang dalam gelapnya rimba, kami membasuh muka dan mendengar ribuan suara azan menggemakan merdu di kaki bukit sana. Sungguh indah menawan serta mengasyikkan relung jiwa. Dan mungkinkami takkan sampai disana malam ini. Bisikan hati kecilku.

Aku tertunduk membisu. Dan Rahmat Kribo yang belum tahu apa-apa tentang bagaimana alam disana, hanya diam termangu-mangu disampingku. Ditengah-tengah hutan gayo ini, membuat mataku tak tertahankan melihat wajahnya yang polos membingungkan.

“Mat, mungkin kita tak bisa melanjuti perjalanan ini. Bang Dipa tadi bilang, disana hujan lebat sekali! Ia menyuruh kita balik ke Bireuen.”

Rahmat hanya diam, tak tahu harus jawab apa. Aku memegang tas mini yang di bawa Rahmat dan memeriksa sesuatu. “Apa kau membawa Head Lamp, Mat?” tanyaku.

“Wah, aku lupa...” Jawabnya kaku.

“Ya ampun Mat...! sudah kubilang kan tadi, jangan lupa kau bawa Head Lamp itu...! Bagaimana kita bisa mendaki. Disana gelap sekali, Mat!” Hardikku pada Rahmat yang memang betul-betul sangat polos saat itu.

“Maaf... aku benar-benar lupa!”

“Berzikirlah banyak-banyak, Mat.” Gumamku dalam dada.

Aku tak tahu harus ngomong apa lagi padanya. Semakin lama kupandangi wajahnya, semakin polos pula wajah si anak bujang ini! Aku yang kebingungan, turut prihatin melihat kepolosannya.

Rasa takutku mulai menakuti jalan fikiranku; menggoncang-goncangkan aliran darah di tubuhku, lemas sudahbadan dan otot-ototku, dan akhirnya rasa takut itu merajai otakku dan turun menjadi ombak ganasmenyerang perutku hingga mual-mual. Akhirnya sesuatu yang bercampuran, mirip bermacam menu makanan yang disatukan dalam mesin blender, keluar dari mulutku, bau sekali, dan berhamburan. Aku muntah. Mataku berbintang. Kepalaku mendadak pusing. Aku mabuk darat!

“Mat.... kantong plastiknya sudah penuh...”

***

Perjalanan yang memabukkan. Aku tak berdaya melanjutkan perjalanan ini. Apalagi hujan tak kunjung reda. Sudah 2 jam lebih kami di dalam mobil bus mini. Berayun-ayun, sesekali kekiri, tak tunggu lama ke kanan lagi, kadang naik, kadang turun. Kontur jalannya berlika-liku memusingkan. Begitulah transportasi darat di hutan gayo.

Hand phone ku berbunyi: “Dimana kalian!” tanya bang Dipa agak sedikit membentak.

“Emm... 15 menit lagi sudah sampai di Lampahan bang.”

“Tut! tut! tut! tut..!”

Dipa langsung memutuskan telepon. Tak banyak bicara. Tak suka basa-basi. Begitulah seorang Dipa.

Tak lama kemudian, sampailah kami di perempetan jalan di dekat sebuah kampung. Aku dan Rahmat turun dari bus dengan tergesa-gesa. Dan langsung saja kulihat sosok gelap dekat sebuah pondok kecil tepian jalan, bentuk seorang lelaki. Kucermati dengan seksama. Aha... itu anggota Mapala. Mus namanya. Aku paham, bang Dipa menyuruh Mus menjemput kami di bawah nyanyian petir bersuara monster yang mengerikan dan juga menakutkan!.

“Ayo, cepat!” Mus tak sempat berbasa-basi.

Aku melihat jam tanganku; wilayah Indonesia bagian barat menunjukkan pukul dua puluh dua lewat sepuluh menit. Kami harus melewati perkampungan yang tak banyak penduduknya. Rumah-rumah yang tak sama sekali berdekatan. Jarak rumah ke rumah berjauhan, tak saling berdampingan. Sesekali kami melewati kebun-kebun kopi yang berhektar-hektar luasnya. Takut bercampur ngeri semakin berlabuh padaku. Apa lagi jikalau bertemu dengan dedemit sesat di jalanan. Bisa-bisa aku jatuh pingsan dibuatnya.

Kami di jemput Mus dengan sepeda motornya. Anggota lain yang bersama Dipa menunggu kami di kaki bukit sana. Kami pun menancap gas naik turun melewati perkampungan, apalagi dengan jalannya yang beraspal goreng hasil karya kontraktor-kontraktor rakus kayak tikus, sungguh menjengkelkan sekali. Aku pun naik darah, jengkel bin dongkol merasuk pikiranku malam ini.

“Kita hampir sampai. Kawan-kawan menunggu kita di ujung semak-semak sana!” Tunjuk Mus sambil memasukkan keretanya kedalam alang-alang tinggi – setinggi bahuku.

Aku dan Rahmat, sudah tahu bahwa nanti pastilah kami berdua kena marah oleh kawan-kawan lain yang menunggu kedatangan kurcaci tengik sok hebat bin sok mantap ini. Terutama Dipa, yang sudah ku tahu wataknya.

“Ayo! Tak ada waktu lagi.” Perintah seorang Dipa.

Dipa langsung memimpin barisan paling depan. Aku dan Rahmat tak lagi berkutik. Kami harus jalan mengikuti barisan. Aku paling belakang. Rahmat dan aku dalam barisan yang panjang beranggotakan 11 orang berjalan seperti bebek yang baru pulang dari payau. Berderetan!.

Perjalanan kaki yang harus menempuh kurang lebih dua jam pendakian menuju shelter, tempat kami bermalam, membuat kakiku makin melemah. Aku kehabisan energi setelah muntah darat tadi. Rahmat di urutan kesembilan tak mengungkapkan satu patah kata pun. Aku tahu sesuatu darinya. Mungkin dia sedang takut akan kemarahan Dipa yang sebagaimana mereka telat mendaki hanya karena kami berdua yang sok hebat, sok nekat ini!

Dalam perjalanan kami menggambarkan sebuah perjalan yang sangat mencekam. Apalagi tanahnya becek dan licin sekali. Tiba-tiba, barisan terdepan berhenti. Jantungku malah dag dig dug. Takut tak karuan.

“Berhenti! Ada orang lain yang mengikuti kita.” Ungkap seorang teman yang berada dalam barisan.

Barisan yang tadinya berjalan normal. Sekarang berubah menjadi upnormal. Kami dalam barisan hanya diam. Aku dan Mus mengerti. Teman kami yang biasa kami panggil dengan sebutan D, mengetahui sesuatu yang berbau magis. Sudah lumrah bagi seorang pendaki gunung memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kekuatan supranatural.

Kawan, nama teman kami itu bernama D. Ya, namanya D. Kalau kita eja pastilah berbunyi begini; De.

“Ada apa De....?” Tanya seorang gadis yang tepat berada dibelakang De.

“Kau! Kau yang melambat-lambatkan perjalanan kita dari tadi kan?” Bentakan De sambil menunjuk kearah gadis yang juga anggota kami dalam barisan.

“Bukan...? Bukan aku....!!!” Suara halus gadis itu membuat kami panik.

Kawan, gadis yang ku maksudkan diatas bernama Tan. Ia teman kami yang paling lucu perangainya. Badannya tambun. Montok sekali. Kulitnya putih dan berwajah sedikit imut-imut. Tabiat buruknya sangat susah ditebak. Apabila kami berlibur dengan tujuan mendaki, kemana pun dan dimana pun tempatnya, dia tetap saja selalu kemasukan setan atau jin jahat alam sekitar yang tak sinkron dengan manusia. Kalau manusia lagi kerasukan setan, orang kampung kami menyebutnya: Teumeugue. Dengan sebutan lain, Tan lagi Teumeugue.

***

Kami yang sedang panik, hanya bisa diam. Dan melihat ketegangan disana sini. Seperti nonton film saja. Mungkin inilah yang di sebut-sebut sebagai judul film “Horor Diperjalanan”.

Dalam gelap, kami mendengar De membentak.

“Keluar kau sekarang dari tubuh anak ini. Kalau enggak mau, ku tendang kau kejurang sana!”

Entah dengan siapa De berbicara. Sepertinya De sedang berbincang panas dengan setan yang berada dalam tubuh sahabat kami itu. Sepertinya De sudah tahu betul dengan keadaan disini. Dan setan apa yang menjelma masuk ke jiwa manusia tambun ini, De sudah tahu.

“Cepat...! Kami tak banyak waktu disini!” Bentaknya De lagi.

Tak tunggu lama, setan itu pun angkat tangan.

“Maaf... aku tak sengaja ikut kalian... Aku pamit dulu ya...”

Setan tengik itu pun angkat kaki secepat kilat. Aku yang di barisan paling belakang, sambil jongkok ketawa cekikikan. Tak tahan aku mendengar gobloknya setan tadi. Masa baru di gertak saja sudah linglung dan melanglang. Huh, dasar setan tengik.

Tan yang tadi kerasukan, tiba-tiba rebah. Kami pun harus membangunkannya dengan percikan air yang sudah di doakan oleh De. Akhirnya Tan bangun, dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju shelter.

“Ayo, kita hampir sampai di shelter!” Teriak Dipa.

***

Hatiku sungguh tenang, gembira di padu bahagia. Aku dan Rahmat Kribo akhirnya sampai juga di tujuan. Perlahan-lahan kakiku melangkah. Mencicipi dinginnya hawa belantara, dan sunyinya suara malam di tengah hutan. Wow... aku dan kawan-kawan di persilahkan Dipa menyambut malam pergantian tahun. Pas pukul nol-nol lewat enam menit, kami memasuki sebuah tempat yang begitu indah.

Lampu-lampu kecil bertengger di atas dahan-dahan gelap seperti kunang-kunang, kerlap kerlip cahayanya. Dan bivak-bivak dari dedaunan berdiri berbentuk segi tiga mungil-mungil, berhamburan di atas tanah basah. Beberapa api unggun menyala menghanguskan ranting-ranting pohon yang tentunya sudah patah dan kering.

Mataku memandang sebuah kampung kecil buatan anak-anak Mapala kampusku. Rupanya sebagian besar anggota lainnya sudah sampai di shelter itu. Dipa pun tak memberi tahuku dari awal. Kalau ku tahu sebelumnya malam ini begitu ramai, aku akan membawa puisi-puisiku dan membacakannya di depan seluruh anggota lainnya. Dan mungkin mereka bisa memberiku nilai plus di pembukaan tahun baru ini.

Aku tersenyum. Dan juga Rahmat kawanku satu satunya yang bermuka polos itu juga tersenyum sambil menarik sebatang rokok dari kotak berwarna kuning. Dari penglihatanku, kotak kuning yang ada di tangannya itu cuma bertuliskan tiga angka saja; 234 menurutku. Ya, itu rokok Tiga Angka.

“Mat... jangan senyum-senyum dulu... perjalanan kita belum usai! Besok pagi setelah subuh, kita mendaki lagi..!!!”

SEKIAN DULU YAAA...

***

Aroelika Munar

Aceh, Oktober 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun