Mohon tunggu...
Aroelika Munar
Aroelika Munar Mohon Tunggu... -

"Cari Aku"/ /Carilah aku, ikat aku dengan belenggu rindu/ Jamahlah daku, bimbing aku sampai aku mati/ Pejamkan mataku, sampai hidup ini berakhir/ /Jua kan kau temukan cinta sejati/ Kan hidup di dasar dadamu/ /Wahai rindu-rinduku/ Itu kau !/ Aku menunggumu/ /Aroelika Munar/ /Mtg Glp Dua, 27/10/2010

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sajadah Rindu

17 November 2011   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:32 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dipenghujung kampung kecil itu hiduplah seorang anak muda yang teguh jiwanya. Ia merupakan pemuda yang penuh kesabaran dalam menempuh impian dan cita-cita. Anak muda berparas tampan itu baru saja memperoleh gelar sarjana setahun yang lalu di sebuah universitas swasta tanah rencong, tepatnya di wilayah kabupaten Bireuen. Dan ia bekerja sebagai karyawan kontrak di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang konsultan supervisi. Namun ia juga lelaki yang sama halnya dengan remaja-ramaja muda lainnya di seluruh dunia. Sebagai laki-laki ia memiliki kisah cinta yang pada umumnya tumbuh dalam diri seorang lelaki normal. Dan Mahar mengenali seorang wanita cantik dan berbudi baik di sebuah kota yang sangat amat jauh dari desa tempat Mahar berasal.

Mereka sudah saling mengenal selama empat tahun lamanya, dan kini tepat di akhir tahun ini hubungan Mahar dengan Elisa sudah mencapai lima tahun. Mahar berniat untuk menikahi Elisa dan ingin hidup berumah tangga dengan kekasih hati impiannya. Namun tiba-tiba badai pun datang melanda dan tak pernah disangka-sangka. Elisa tak disetujui orang tuanya untuk menikah dengan Mahar, dengan sebab Mahar tak sanggup memenuhi syarat-syarat pernikahan tersebut yang terlampau mewah yaitu dengan membawa enam puluh gram emas murni di tambah beberapa perangkat kamar juga seperangkat alat shalat. Begitulah adanya adat dalam urusan nikah menikah di kota petro dollar Lhokseumawe yang masyur itu.

Keluarga Elisa adalah keluarga terpandang. Sedangkan Mahar hanya pemuda sederhana yang berasal dari keluarga yang tak punya banyak harta. Kedua orang tua Mahar hidup sebagai petani. Untuk mencari sesuap nasi saja untung-untungan. Apalagi untuk menikahkan sang anak, sama halnya seperti sang pungguk merindukan bulan. Hanya bisa bermimpi dan terus bermimpi.

Tapi keluarga Mahar tetap saja menyemangatkan keteguhan hati sang anak. Terutama ibunda Mahar yang begitu besar perannya sebagai pembimbing buah hatinya itu. “Mahar anakku, bersabarlah. Mungkin dia bukan jodohmu nak.” Suara serak ibunya bagaikan zam-zam baginya. Bening dan dingin. Mahar pun mencoba meredamkan hasratnya yang begitu besar kepada gadis kota itu. Mahar harus merasakan masa-masa pahit yang begitu sulit ia tinggalkan. Seakan dirinya hanya hidup sendirian di bumi ini.

Tak seorang pun yang dinanti. Hatinya galau. Remuk berkeping keping. Tak tertahankan olehnya. Hanya sepucuk puisi yang bisa membuat Mahar sejenak lega. Diatas kertas putih diarinya ia tuliskan: “Aku ingin pergi/ menjauhkan diri dari dermaga sunyi/ Tapi nanti aku akan kembali/ menjemput perih walau itu mimpi.”

Kegundahan Mahar pun telah menjadikan dirinya seorang lelaki dewasa dan penuh kesabaran juga ketabahan hati yang begitu tinggi, walaupun diri tak berdaya menghadapi goncangan batin kegelisahan yang seakan mencabik-cabik harga dirinya sebagai lelaki. Elisa adalah wanita satu-satunya yang pernah ia cintai semasa hidupnya. Tak sedikit pula wanita lain yang memberi perhatian kepada Mahar dengan tujuan mendapatkan cinta darinya, namun lelaki tampan itu tak pernah luput cintanya hanya untuk seorang wanita saja, yakni Elisa pujaan hati terindah.

Di satu sisi Elisa tak berani mengambil keputusan batinnya yang tetap ingin hidup bersama Mahar pangeran jiwanya itu. Elisa tak berani membantah kehendak orang tua. Dan ia tak pernah lagi bertemu dengan Mahar, walaupun dirinya harus memendam rasa cinta yang begitu mendalam kepada Mahar. Air mata hanya bisa memberi kelegaan hati. Berhari-hari Elisa menahan rasa sakit itu dengan tetap menginginkan kekasih hatinya Mahar akan kembali untuk meminangnya lagi suatu saat nanti. Ia tetap ingin menunggu dan menunggu. Dan beberapa bulan kemudian Elisa pun mendapat kabar burung bahwa Mahar telah merantau ke luar negeri, Australia.

Mahar telah pergi menjauhi satu-satunya wanita yang pernah ia cintai dan ia sayangi sepenuh hati. Elisa semakin hari semakin berharu pilu dan kelabu. Ia merasa kesepian di tengah-tengah keramaian. Hatinya tercabik-cabik oleh waktu yang telah memisahkan dirinya dengan pengawal hati yang penuh cinta itu. Mahar tak memberi kabar apapun tentang kepergiannya kepada wanita yang pernah menyayanginya selama lima tahun berlalu.

Hari-hari berlalu tanpa henti, seperti belati menancapkan duri, pada hati yang merenungi akan nasib diri yang takkan pernah pasti. Elisa berbulan bulan bahkan bertahun tahun lamanya menunggu kedatangan Mahar tuk kembali kepangkuannya. Hanya buku diari bersampul ungu dan bergambar setangkai mawar berkelopak emas yang tetap saja ia bawa kemana ia pergi. Buku diari pemberian Mahar yang berisikan ratusan puisi itu ia bacakan setiap kali ia merindui pujaan hati yang telah pergi. Di bawah pohon besar dekat pepantai ia duduk sendiri sampai senja berhenti. Elisa berlalu pergi meninggalkan pondok kecil yang sering ia singgahi bersama Mahar ketika mereka masih saling melengkapi. Elisa tersenyum mengingat hari-hari penuh canda dan tawa bersama kekasihnya yang pernah mengatakan cinta terhadapnya di pondok kecil itu sambil menunduk memegang tangannya dan berkata pelan-pelan, “Aku mencintaimu sepenuh hati, maukah dikau menerima cintaku ribuan kali?”. Elisa hanya bisa menenggelamkan dirinya dalam kenangan yang tak pernah tergantikan. Elisa juga sangat mencintai Mahar. Ia tak ingin kekasihnya pergi meninggalkan duri yang semakin hari semakin menganga perih menyakitkan hati. Elisa hanya bisa setia menanti Mahar kembali.

Suatu saat ketika Elisa melihat sebuah status di jejaring sosial pribadi Mahar, Elisa tersentak penuh haru, ia seakan merasa seperti telah terlahir kembali ke dunia ini. Semua beban yang ia pikul selama bertahun tahun telah menjadi debu yang ditiup oleh harumnya kasturi surgawi. Elisa membaca sebuah tulisan kecil namun tersirat ribuan makna terkandung di dalamnya. Elisa yang dulu selalu merundung kesedihan dan gelisah tiada henti hingga tak sanggup terbendungi, kini bagaikan kasturi penuh wangi. Elisa hanya membaca sepucuk puisi dari akun facebook lelaki luar negeri itu; “Aku yang pergi dari hati/ kembali pada hati yang pernah ku miliki/ dan kini aku datang dengan jiwa penuh pelangi/ membawa rindu itu kembali menemani surgawi”. Hanya empat baris saja tulisan penuh makna itu di cicipi Elisa. Pujangga yang begitu manis. Dan ia seperti sedang meneguk secangkir anggur, dengan kenikmatan yang tak pernah terganti hingga Elisa mabuk hati. Kebahagiaan tiada tara dirasakan penuh jiwa oleh si cantik berkulit putih Elisa Melati.

Tak lama setelah Elisa membaca puisi kecil di akun Mahar tersebut, dua pekan kemudian Mahar datang bertamu kerumah Elisa. Kedua orang tua gadis itu terkejut. Melihat Mahar yang dulu tak disetujukan menikah dengan anak bungsunya itu, kini datang membawa harapan untuk menjadi seorang menantu. Ibu Elisa meneteskan air mata, sesak dadanya menahan sesuatu yang begitu dalam. Mahar yang duduk di depan sang Ayah gadis jelita kekasihnya, hanya bisa diam tak bicara. Ibu Elisa menjawab keinginan mahar yang ingin sekali bertemu dengan Elisa putrinya. “Nak, Elisa telah pergi meninggalkan kita semua seminggu yang lalu. Elisa sudah meninggal.”

Mahar pun tersentak. Dunia menjadi gelap. Matanya mengalirkan air yang begitu bening. Air mata mahar, jatuh di atas jemari yang mengenakan cincin pemberian Elisa tujuh tahun yang lalu. Mahar hanya bisa merasakan pedih perih tak tertahankan. Mahar tak bisa berucap apa-apa. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. Bibirnya menjadi kaku hingga beku. Mahar hanya menerima kembali diari pemberiannya dulu pada gadis pujaan hatinya, yang kini telah pergi meninggalkan duniawi untuk selama-lamanya. Terselip sebuah foto di dalam diari itu. Foto yang bergambar Elisa, tersenyum dengan mengenakan kerudung hitam. Foto itu ia genggam. Seerat perasaan. Petir datang dan menyambar-nyambar hati Mahar.

Mahar mencoba menyibak helai demi helai isi diari itu tanpa daya dan upaya. Di halaman terakhir Mahar yang sedang menangis terisak-isak, membaca sebaris tulisan bertinta emas. Mahar tak mampu menahan ombak yang begitu besar menghantam tubuhnya yang begitu kecil. Mahar tak bernyali. Tulisan terakhir Elisa untuk Mahar kekasih hati. “Mahar kakanda tercinta, aku ingin sekali berdampingan denganmu sampai akhir hidupku. Kesetiaanku hanya kupersembahkan untukmu. Kini aku lelah, aku ingin pergi membawa perih-perih itu darimu. Hingga suatu saat nanti kita akan bertemu lagi di atas sajadah rindu. Aku percaya padamu, dan aku percaya pada Tuhanku. Mahar sayangku, peluklah aku tuk menyatukan rindu walau kita lama bertemu.” Mahar pun membisu. Hari-hari berlalu dengan hati yang membatu.

Judul: Sajadah Rindu

Oleh: Aroelika Munar

Tambue, 7 November 2011.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun