Mohon tunggu...
Arnol Susanto
Arnol Susanto Mohon Tunggu... -

saya orang senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Untuk Kita

3 Juli 2014   23:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:36 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepadadiriku lima tahun mendatang.

Aku tidak tahu seperti apa keadaanmu. Bagaimana rupa dan kewarasanmu. Doaku semoga kau tetap baik di sana.

Kutulis surat ini untuk mengingatkanmu, wahai masa depanku lima tahun lagi. Aku percaya kamu pasti lebih dewasa saat itu, tetapi perlu juga kamu belajar dari masa lalu yang sudah layu. Merujuk nasehat wong pinter, “masa depan ada karena kita berani belajar dari masa lalu.” Jangan pernah letih belajar dari masa lalu.

Barangkali kamu lupa tentang sekarang, maka baiklah aku ingatkan kembali yang terjadi di masa ini.

Agaknya negeri ini sedang paranoid dengan yang namanya kejujuran. Fobia pada yang disebut keadilan. Alergi perihal soal kebaikan. Sehingga setiap ada orang yang dikenal jujur, baik dan adil seketika itu pula kami beramai-ramai membantai. Kami bertanya-tanya. Kami meragukannya. Kami takut. Ngeri pada ketulusan.

Maklum, kami sudah terbiasa dengan citra. Kami terbiasa dengan polesan-polesan dandanan yang dirangkai sedemikian rupa. Kami terbiasa dengan pidato-pidato palsu para pejabat tentang susu dan bensin, tentang upah dan harga, tentang listrik dan alam, dan masih banyak tentang-tentang lainnya, yang walau saling bertentangan namun tak pernah –atau tak bisa- kami tentang.

Awalnya kami muak juga denga retorika kosong itu. Tapi sekarang kami sudah mafhum. Bahkan mungkin agak tercandui. Tanpa pidato kosong dan retorika semu itu, malah kami jadi gelap menilai orang. Bagi kami, kepalsuan inilah yang paling asli.

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Republik ini nanti. Apakah masih ada Ko Ahok, Bu Risma atau Bung Anies Baswedan di sana? Mereka cukup terkenal saat ini, meski katakanlah mereka masih level “kampung.” Di sini yang namanya kejujuran memang selalu dicap kampungan.

Meski demikian, harapku mereka berteguh di jalur “kampungan” itu hingga lima tahun mendatang. Semoga kamu akan menyambut mereka nanti, seperti akupun berharap besar pada mereka saat ini. Aku membayangkan seandainya mereka maju menjadi pemimpin negeri ini kelak. Pemimpin yang bukan kelas kampung, tapi kelas nasional, level PRESIDEN.

Sudah terbayang di benakku betapa menariknya pertarungan itu. Gagasan brilian akan saling beradu. Debat visi dan dialog ide mereka menjadi keniscayaan masa depan Indonesia. Para orang baik ini bukan semata retoris, tapi mampu mendobrak, menawarkan konsep-konsep pembaruan. Lima tahun lagi mereka pasti berkembang. Kiranya kamu bisa mewakiliku untuk melihat mereka.

Akhir-akhir ini banyak orang berbicara tentang bonus demografi di Indonesia. Aku menanggapinya tawar saja. Tidak ada yang menarik tentang itu. Mungkin karena sifatnya yang cenderung kuantitatif. Bagiku itu seperti batasan numerikal belaka. Belum pasti akan jadi bonus.

Sebaliknya, aku amat menunggu-nunggu kalau betul lima tahun mendatang, orang-orang baik seperti Bu Risma, Ko Ahok dan Bung Anies Baswedan maju menjadi pemimpin tertinggi Indonesia. Ini baru bonus. Bonus Demokrasi namanya. Bersifat kualitatif. Bukan numerik melainkan struktur konsep yang dinilai. Mereka dianggap layak karena konsep dan rekam jejaknya yang bekerja demi Indonesia, bukan karena besaran rupiah yang disebarkan ke seantero khalayak.

Aku membayangkan pula, bagaimana ujud kampanye mereka lima tahun kelak? Semoga saja tak ada kampanye fitnah saat itu. Aku percaya mereka akan berkompetisi secara sehat dan bermartabat. Melihat track record mereka, sepertinya akan jauh mereka dari aksi fitnah-memfitnah. Tapi bisa jadi mereka justru ditumbali oleh para penghujat dan tukang fitnah yang menyamar demi mengendus kekuasaan.

Aku bahkan sudah membayangkan seperti apa rupa kampanye fitnah itu kepada mereka. contohnya bisa jadi seperti ini: si Ko Ahok akan ditebas dengan isu kekafiran. Si kafir tidak boleh jadi pemimpin. Bisa kiamat Indonesia di tangan si kafir!

Nah, kalau Bu Risma akan terhalang anggapan perempuan tidak boleh jadi pemimpin umat. Perempuan itu tidak tegas, mencla-mencle. Mau dikemanakan negara ini kalau perempuan jadi Presiden? Mau ke zaman Megawati lagi? Aset-aset dijualin? Itu karena perempuan tuh yang jadi Presiden. Kira-kira itu kemungkinan tafsir pelumpuhan figur Bu Risma.

Bagaimana dengan Bung Anies Baswedan? Saya juga agak ngeri kalau nanti fitnahnya bisa jadi tentang Bung Anies dan keluarga, atau Bung Anies dan kedekatannya pada kemanusiaan sehingga mendorongnya pro kepada agama sesat yang dianiaya tanpa pengadilan. Tiba-tiba beliau terjerat fitnah tentang deagamisasi, atheisme atau mungkin antek-antek dajjal?? Entahlah. Setidaknya berkaca dari sekarang, mungkin itu yang kelak akan terjadi.

Hei diriku lima tahun mendatang, mungkin kamu lupa, bahwa semua kegundahanku tentang kampanye sudah terjadi lebih dulu saat ini. Ya, semua yang disebutkan di atas itu semacam reproduksi isu usang demi syahwat kekuasaan. Saat ini rakyat diinjeksi dengan berbagai fitnah. Masyarakat disuntikkan kebencian dan prasangka tanpa fakta. Kalau kamu lupa, saat ini negara kita sudah hampir tenggelam dalam lautan fitnah.

Tetapi aku –kamu yang lebih muda lima tahun ini- tak akan membiarkan negara tenggelam begitu gampangnya. Aku tak sudi menyerah apalagi menyerahkan Indonesia ini pada kejayaan fitnah. Mereka yang menang karena fitnah berpotensi mengulang itu di masa mendatang. Setiap kali ada kompetisi, fitnah menjadi stimulus untuk menggerakkan kemenangan. Itu tidak waras. Itu menggelikan juga mengerikan.

Aku akan berjuang dengan kewarasanku yang sedikit banyak mulai tergerus. Walau rasanya sulit waras di masa-masa seperti sekarang, tetapi aku terus bertahan. Sekalipun nanti aku terjatuh dan kalah, jangan biarkan diriku menyerah. Semangati aku. Tegarkan aku. Tetaplah percaya bahwa masa depan itu ada untuk orang-orang baik dan tulus. Teruskan perjuangan itu demi kita.

Meski masa depan itu sebatas impian, setidaknya aku melihat ada harapan untuk ke sana. Barangkali kamu lupa, saat ini –entah mengapa- harapan itu seperti melekat pada sosok bernama Joko Widodo.

Semoga kau tetap waras senantiasa.

Dari Kamu lima tahun yang lalu,

Aurelius Arnol Susanto

(26 Juni 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun