Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Inter Milan Sudah Berusaha, tapi City yang Menentukan

11 Juni 2023   05:19 Diperbarui: 11 Juni 2023   07:36 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rodri (tengah) merayakan gol pada final Liga Champions Gambar: AFP/FRANCK FIFE via Kompas.com

Striker Inter Milan, Lautaro Martinez tersedu-sedu cukup lama. Keriuhan di Stadion Ataturk, Istanbul, Turki tidak membuat kecamuk menyakitkan di dadanya mereda.

Berulang kali, rekan-rekannya yang berlagak kuat datang menghiburnya, tapi Lautaro tetap bersedih. Jika waktu bisa memutar kembali, Lautaro pasti tak ingin Inter Milan kalah 0-1 dari Manchester City di final Liga Champions Eropa 2022/23.  

Lautaro Martinez pantas kecewa. Inter Milan tak tampil buruk, tapi Manchester Citylah yang akhirnya juara.

Siapapun yang menyaksikan laga final Liga Champions akan sepakat bahwa Inter Milan sudah melakukan apa yang semestinya dilakukan. Sebagai tim yang tidak diunggulkan dari City yang terlihat lebih unggul, Inter Milan tak tampil inferior di Istanbul.

Dengan gagah berani allenatore Inter Milan, Simone Inzaghi tetap memainkan formasi andalan 3-5-2. Padahal, ada pandit yang memprediksi bahwa Inter akan bermain lebih defensif.

Dua striker, dengan Lautaro sebagai motor, baik berteman dengan Edin Dzeko atau Romelu Lukaku berhasil membuat Manchester City berpikir lebih keras untuk tetap mengontrol garis pertahanan mereka tak terlalu ke depan.

Nampaknya, Inzaghi mempelajari bahwa City akan kesulitan menghadapi tim dengan dua penyerang daripada satu penyerang. 

Di Liga Premier Inggris, Brentford yang dua kali mengalahkan City menggunakan dua striker; Bryan Mbeumo dan Ivan Toney untuk mengalahkan City di Etihad.

Selain itu dua sayap Inter, baik Denzel Dumfries dan Federico Dimarco juga tampil apik bersama tiga gelandang Hakan Calhanoglu, Marcelo Brozovic dan Nicolo Barella yang tampil spartan, dengan memberikan pressure tinggi sepanjang pertandingan.

Alhasil, di babak pertama, Inter berhasil menahan imbang tanpa gol. Di luar gol gelandang City, Rodrigo yang mengubah hasil pertandingan, namun secara statistik Inter terbilang unggul. 

Meskipun City tetap menguasai jalannya laga dengan 58 persen ball possesion, tapi Inter unggul baik di shots on target atau off target. Inter melepaskan 5 tendangan ke gawang berbanding 4, dan bahkan 7 tendangan off target berbanding 3 milik City, dengan 4 corner berbanding hanya 2 milik City.

Jika diperhatikan, Inzaghi juga mampu memaksimalkan keunggulan tinggi para pemain Inter, ketika terjadi corner atau free-kicks. Acerbi, Dzeko atau Lukaku membuat para pemain City kalang kabut. 

Di lima menit terakhir misalnya, jika sundulan Dimarco tidak membentur mistar, dan tandukan Romelu Lukaku tidak menyentuh kaki Ederson, maka hasilnya akan berbeda.

Akan tetapi itulah. Keunggulan-keunggulan itu akan segera dilupakan, karena pada akhirnya sepakbola hanya menghitung bahwa setiap tim yang lebih banyak mencetak gol di lawanlah yang keluar sebagai pemenang, bukan keunggulan statistik yang akhirnya menjadi percuma.

Keunggulan Pep Guardiola yang Nampak Penuh Percaya Diri

Lalu bagaimana Pep Guardiola dengan Manchester City? Meskipun terlihat mampet secara statistik, dan dibuat kerepotan oleh Inter menjelang akhir laga,  namun saya mesti mengatakan bahwa City-nya Guardiola mengontrol laga dengan saya baik.

Ada 2 (dua) hal yang dapat saya kemukakan; 

Pertama, kepercayaan diri Pep Guardiola memainkan formasi 3-2-4-1 dengan John Stones yang ditransformasi menjadi gelandang box to box.

Maksud saya begini. Ada pilihan aman yang dapat dimainkan oleh Pep, yakni memainkan formasi 4-3-3. Di pilihan ini, Pep dapat memainkan Kyle Walker sebagai inverted full back, dibanding mendorong John Stones lebih liar ke depan.

Di pilihan ini, dipercaya, City dapat lebih aman untuk menghentikan laju dua sayap milik Inter Milan, tetapi Pep adalah Pep, pelatih yang tak ingin berada di zona nyaman, dengan temuan pergerakan pemain yang luar biasa.

John Stones dipilihnya untuk dimainkan sedari awal, dan bersama Bernardo Silva dapat bergerak liar dari sisi kiri pertahanan Inter Milan, sedangkan Ruben Diaz, Nathan Ake, dan Manuel Akanji akan terus berdiri kokoh dalam kesejajaran.

Jelas efektif, karena di atas kertas, 3-5-2 milik Inzaghi dipercaya memberi jaminan kekuatan di lini tengah, tetapi ketika berhadapan dengan 3-4-1-1 milik City, maka lini tengah tetap dikuasai oleh City, karena Pep menghadirkan 6 orang gelandang dengan tambahan John Stones yang sering bergerak bebas.

Terbilang jenius, karena gelandang dan bek Inter Milan, di beberapa titik, terlihat kebingungan membaca pergerakan dari John Stones, Ilkay Gundogan, Rodrigo, dan tambahan  fleksibilitas Bernardo Silva dan Kevin De Bruyne.

Kedua, Erling Haaland yang sebenarnya berkontribusi maksimal meski minim peluang. Sebelum laga final ini, kepada media ketika ditanyakan media tentang kunci kesuksesan City di laga final, Pep Guardiola lalu seperti menyamakan Haaland dengan Lionel Messi.

"Saya tidak bercanda! (Tapi kuncinya) adalah memiliki Messi di masa lalu (bersama Barcelona) dan memiliki Haaland sekarang. Setiap manajer yang sukses memiliki manajemen yang baik dan pemain yang hebat". kata Pep Guardiola.

Memang tak usah banyak menceritakan tentang kehebatan Haaland, karena sebelum laga final Haaland sudah dipastikan menjadi top skor Liga Champions dengan torehan 12 gol.

Akan tetapi, Pep sebenarnya tahu bahwa menyebut dan menganggap Haaland sebagai pemain hebat akan menyedot perhatian lawan, dan itu akan menguntungkan bagi pergerakan pemain lawan.

Disadari atau tidak, keberhasilan City mengandaskan Real Madrid di babak semifinal, dengan agregat 5-1, tidak dengan sumbangsih satu gol pun dari Haaland, namun Haaland berhasil memancing pemain lawan untuk lebih dalam bertahan.

Perhatikan saja, di beberapa momen, ketika City menyerang, maka tiga bek dan beberapa pemain akan terus menempel Haaland, tapi membuat garis bertahan lebih dalam dan menyisakan ruang untuk para gelandang City.

Maksud saya begini, ketika lawan berfokus menghentikan gelontoran 52 gol Haaland musim ini, maka Kevin De Bruyne, Bernardo Silva dan bahkan Rodri akan mendapat ruang untuk melepaskan tendangan.

Nama terakhir membuktikannya. Ketika, Bernardo Silva terlepas dari sisi kanan, dan para pemain Inter Milan mulai sibuk melihat pergerakan Haaland, Rodri lalu mendapatkan bola liar dan dengan dengan sempurna menceploskannya ke gawang Andre Onana.

Rodri memang mesti diwaspadai. Musim lalu saja dia melakukan hampir 3000 umpan, dengan intersepsi bola yang tepat dan pertunjukan distribusi bola dengan akurasi di level tertinggi.

Apalagi ketika John Stones dibuat Pep sebagai tambahan gelandang  pengalih perhatian di lini tengah, maka Rodri akan mendapat ruang yang lebih luas untuk bergerak. Inter dihukum atau disakiti karena pergerakan Haaland dan Rodri kali ini.

Akhirnya, tanpa berpanjang-panjang lagi, harus diakui bahwa Inter Milan telah berusaha, tapi Manchester City lah yang menentukan. Secara taktik dan teknis, City dapat dikatakan unggul mesti tidaklah jomplang.

Hasil yang sempurna bagi Pep Guardiola. Selain treble winner, Pep juga menuntaskan dahaga gelar bagi The Citizen, yang di Ataturk, Stadium turut bergembira bersama sang pemilik Shekik Mansour, yang baru secara langsung menonton pertandingan Manchester City sejak 2010.

Selamat Manchester City, Respek Inter Milan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun