Sesudah Gramedia hadir di kota kami yang kecil bertahun-tahun yang lalu, maka toko buku Gramedia adalah  salah satu tempat favorit saya,  bahkan bisa dikatakan terfavorit. Toko Gramedia di kota saya itu, tiga lantai, tapi tidak besar. Kecil. Lantai satu berisi ATK dan barang lain, lantai dua dan tiga; buku.
Bukan apa-apa, dibandingkan toko buku konvesional; Â tempat yang nyaman, lapang dan dilengkapi buku buku serta majalah yang berkualitas membuat saya rela menghabiskan waktu bisa berjam-jam di Gramedia itu. Satu-satunya toko buku gramedia di kota saya.
Tentu saja demi simbisios mutualisme, meski berjam di sana, saya pasti akan membeli buku. Ketika masukan dari K Rewards masih cukup tebal, maka Gramedia jadi tempat utama pelampiasan untuk menghabiskan uang berbonus buku.
Oh iya, karena cukup sering kesana, saya jadi menghafal wajah beberapa karyawan di Gramedia itu. Â Salah satunya, seorang bapak yang nampaknya sudah sangat lama bekerja di sana, mungkin berlevel supervisor atau manajer.
Saya ingat betul kerutan bapak itu di dahinya--meski tak berambut putih, perkiraan saya sudah lebih dari delapan tahun beliau bekerja disana. Beliau biasanya akan tampil jikalau karyawan baru nampak gagap menyelesaikan persoalan pembayaran dengan kartu atau e-money di meja kasir.
Beliau itu keren, rapi, bajunya disisipkan di celana, pokoknya keren. Makanya, meski berkuliah di Teknik, tapi saya sempat berpikir akan menjadi seperti beliau.Â
"Keren juga jadi bos yang punya buku-buku sebanyak ini. Mungkin dapat jatah buku gratis setiap bulannya" banyol batin saya waktu itu.
Tapi begini daripada disalah sangka---Saya kira yang membuat bapak itu "bersinar" karena karyawan Gramedia wanita lah yang mengelilingi beliau, di jaman itu, terlihat manis dan cantik-cantik.
Berseragam/berkaos biru, berjeans, bersepatu sporty, lalu tampil lincah kesana kemari, mencari judul buku yang kita pinta dan dengan kemurahan senyum manis yang paripurna dan  tak pernah habis, memang membuat kaki seperti tak mau beranjak pulang.
Wajah mereka juga semakin bertambah bercahaya, karena lampu Gramedia itu terang benderang.Â
Kata kolega yang Arsitek, memang harus begitu, soalnya cahaya itu dapat membangun psikologis.Â