Hanya penampilan timnas lah yang membuat dia bahagia menyaksikan olahraga kesayangannya ini. Tapi apa daya, uang tak bisa kembali, ketika memang pada akhirnya timnas batal mengikuti Piala AFF U-23 ini.
Pertanyaannya, adalah apakah kita hanya bisa meratap nasib dan menerima kenyataan yang tak menyenangkan ini? Tentu saja jawabannya adalah iya, apa yang bisa dilakukan dengan kondisi timnas yang sakit-sakitan seperti itu.
Akan tetapi pertanyaannya akan lebih menarik dijawab jika pertanyaannya dirubah menjadi, apakah perlu ada evaluasi tentang batal ikut turnamen yang membuat jutaan pecinta timnas kecewa ini? Jelas jawabannya adalah YA.
Saya bisa mengatakan demikian, karena runtut kebelakang dari pembatalan ini memang menunjukkan bahwa seharusnya ada yang bisa dilakukan, minimal pencegahan agar jangan banyak pemain yang harus menjadi korban.
Misalnya tentang kebijakan PSSI melanjutkan kompetisi ketika timnas sedang melangsungkan laga FIFA Matchday.Â
Ini tentu membuat para pemain yang notabene dibayar dan dikontrak klub, konsentrasinya buyar, karena pihak klub tentu saja ngomel.
Apa ini  berarti pihak klub tidak nasionalis? Tentu saja tidak. Wajar sekali jika pihak klub mengeluh karena di negara yang sepakbolanya maju, tak ada laga di kompetisi elit negara mereka, ketika timnas sedang bertanding.
Karena pihak klub ngomel, lalu seperti terjadi bayar utang setelahnya.Â
Ketika ada pemain klub yang kena Covid-19, dan jumlahnya cukup banyak, maka pihak klub meminta pemainnya untuk pulang, membela klubnya.
Katanya, tim kepelatihan dengan rela melepas pemain. Bisa saja demikian tapi jelas bahwa keputusan ini perlu disetujui dan direstui PSSI dan jelas sangat tidak rasional.Â
Bagaimana bisa sebuah pemusatan pelatihan antarnegara yang membawa nama Indonesia harus mengalah membiarkan para pemainnya pulang membela klubnya? Hanya ada di PSSIsaja.