Saya bisa sedikit sombong karena tinggal bertetangga dengan luar negeri, yakni Timor Leste. Dari Kupang, jika jalan darat, paling cepat 12 jam bisa sampai Dili, Ibu Kota negara tersebut. Kami memang sepulau, yakni pulau Timor. Dili di bagian timur, saya di bagian barat.
Itulah yang membuat saya cukup mengetahui karakter orang di sana, yang mirip sekali dengan kami, terkhususnya dua hal, yakni karakter yang keras dan juga fanatik akan sepak bola.
Soal yang kedua ini terlihat dari julukan timnas Timor Leste sekarang, The Little Samba Nation. Di jalanan, anak-anak Tiles bermain bola, seperti di Brasil sana. Perbincangan tentang bola juga seperti makan, rutin dilakukan tiap hari. Gila bola, begitu kira-kira.
Saya kira kurang lebih 5 tahun lalu, tahun 2016, Â geliat bola itu semakin dirasa oleh saya mencapai puncaknya setelah Liga di Timor Leste bernama Liga Futebol Amadora melakukan transfer besar dengan mendatangkan pemain kelas atas dari Indonesia untuk bermain disana.
Nama-nama pemain yang masih mengkilap pada waktu itu seperti Boaz Solossa, Oktovianus Maniani, Imanuel Wanggai, Patrich Wanggai, Abdul Rahman, Markus Horison dan Titus Bonai ditransfer oleh klub-klub papan atas Liga Timor Leste atau Amadora.
Boaz bersama Okto dan Manu Wanggai bermain di klub Bernama Carsae FC, sedangkan Titus Bonai bermain di Karketu FC.
Klub Carsae FC saat itu, dilatih oleh pelatih Fabio Oliviera yang pernah mencicip kompetisi sepakbola di Liga Indonesia. Carsae adalah klub milik Pedro Carrascalao, yang saat ini telah berganti nama menjadi Boavista Futebol Clube Timor Leste.
Transfer Boaz dkk bisa terjadi karena Liga Indonesia saat itu masih vakum karena terjadi konflik internal di PSSI, yang membuat kompetisi terhenti. Kesempatan ini digunakan oleh klub di Timor Leste untuk mengontrak mereka, meski dalam jangka waktu yang pendek.
Saat itu, semusim di Liga Amadora hanya berjalan selama empat bulan. Konon kabarnya pemain dikontrak dengan biaya mahal. Misalnya, Boaz Salossa menurut media digaji 150 juta perbulan yang berarti menerima 600 juta selama semusim.
Kedatangan Boaz di Carsae FC saat itu membuat ekspetasi para pendukung membubung tinggi. Carsae FC semakin dikenal sebagai klub kuat dan berpotensi menjadi juara. Sayangnya, perjalanan karir Boaz Salossa di Timor Leste tidak berjalan mulus.
Dalam beberapa pertandingan awal, Carsae menuai hasil buruk. Di Maret 2016 misalnya, Carsae kalah 2-3 dari Academica FC setelah sebelumnya juga kalah dari FC Aitana dengan skor yang sama. Dua tim yang di atas kertas, jauh di bawah Carsae FC.
Karena dianggap pemain bintang yang bisa menjadi pembeda setelah diimpor dan dibanderol mahal. Tak ayal, Boaz dijadikan kambing hitam dari hasil buruk tersebut. Suara negatif pun dari fans yang diarahkan kepada Boaz.
Mulai dari ketidakpercayaan fans kepada kemampuan pemain bintang asal Indonesia, dan yang itu, duit banyak yang digelontorkan klub untuk Boaz ternyata tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.
Suara suporter dan hasil itulah mungkin yang membuat usia karir Boaz di Timor Leste tidak bertahan lama. Pada April 2016, kurang lebih dua bulan setelah penampilan perdananya di Liga Timor Leste, meski alasan yang muncul di media karena ijin kerja yang belum rampung bagi Boaz Solossa.
Waktu musim kompetisi usai, para pemain Indonesia juga pada akhirnya pulang ke Indonesia. Setelahnya Liga Armadora tidak pernah membuat transfer fantastis yang melibatkan pemain bintang Indonesia. Seiring Liga Armadora yang nampaknya semakin menurun pamornya. Â
Sayang, padahal saya sempat bermimpi, jika geliat itu semakin hebat, maka bisa saja, Kupang, kota saya tinggal akan mendapat imbasnya. Minimal di suatu waktu, saya akan bertemu pemain hebat yang sekedar mampir atau transit di Kupang saat akan ke Timor Leste.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H