Kedua, menyimpan Evan Dimas untuk babak kedua. Harus diakui menyimpan Evan Dimas untuk dimainkan di babak kedua juga dapat dikatakan sebuah perjudian berharga besar bagi Shin Tae Yong, syukurnya, berhasil.
Lihat saja di awal babak kedua. Setelah Evan Dimas masuk menggantikan Rachmad Irianto, lini pertahanan Indonesia sempat dibuat ketar-ketir. Syukurnya, ini hanya adaptasi, karena setelah itu, Indonesia nampak lebih dapat menyerang daripada di babak pertama.
Kunci peletakan Evan Dimas, adalah untuk men-delay bola. Maksudnya adalah Evan diharapkan dapat menahan bola lebih lama, dan membuat para sayap Indonesia punya waktu untuk maju ke depan. Tujuannya untuk menahan para pemain Vietnam lebih lama untuk kembali membangun serangan. Efektif.Â
Di sisi lain, dalam posisi ini, garis serang Indonesia sedikit naik, dan membuka ruang untuk Ricky Kambuaya dapat menusuk dari sektor kedua. Seperti yang dilakukannya di Persebaya. Ini sempat membuat pertahanan Vietnam kerepotan, meski terbilang jarang dibanding gelombang serangan dari Vietnam.
Kontra strategi lau dimainkan oleh Park Heng Seo di kubu Vietnam. Alih-alih bergerak dari sektor sayap, Vietnam mulai mencari ruang kosong dari garis tengah, khususnya ketika Evan kehilangan bola. Sayang bagi Heng Seo, Shin Tae-Yong pintar membaca situasi.
Bek tengah Alfeandra Dewangga, beberapa kali berubah menjadi gelandang bertahan dan menghalau bola dari luar kotak penalti. Dewangga memang menjadi pemain serba bisa di AFF ini. Dengan penempatan ini, Dewangga memastikan bahwa Evan Dimas mampu mendelay bola dengan baik.
Ketiga, keberanian bermain dengan keras dan beradu mental. Salah satu keraguan soal skuad timnas ini adalah faktor usia yang masih muda. Pertanyaan kuncinya adalah apakah mental mereka teruji ketika berada di situasi pressure tinggi dari Vietnam? Di laga ini terlihat bahwa jawabannya bisa.
Asnawi cs mampu membuat Vietnam yang terlihat ngotot, hampir hilang kira dengan permainan keras mereka. Bukan itu saja, perhatikan bagaimana cara mereka berakting cedera dan membuat waktu pertandingan menjadi terhenti menjelang laga berakhir.
Ini seperti laga-laga final turnamen besar, dan sah-sah saja. Pemain sekaliber Alesandro Del Piero saja melakukannya, tak ada masalah, bahkan itu jurus mujarab dan membuat Vietnam nampak frustrasi.
Apakah ini spontanitas dari para pemain? Ah, sekali lagi saya menilai ini otaknya Shin Tae-Yong. Di Korea, bahkan cara ini, adalah cara legenda. Tak uah saya ceritakan lebih lanjut, tetapi penikmat bola lawas, pasti ingat cara Korsel menaklukkan Italia di Piala Dunia 2002.
Akhirnya, Â dengan hasil imbang ini, Vietnam yang tampak superior di Asia Tenggara ini, harus puas menjadi runner up klasemen sementara grup di bawah Indonesia. Sesuatu yang nampaknya tak bisa diterima Park Hang Seo cs.