Saya sudah tertidur dari pukul 10 malam waktu Kupang karena berencana berangkat ke Jakarta besok pagi. Kupang memang sudah hujan deras dari Sabtu, tapi saya pikir Senin akan lebih baik.
Akan tetapi alam mengamuk. Pas tengah malam suara atap dengan gemuruh membangunkan saya. Saya membuka hp dan baru tahu beberapa menit sebelumnya BMKG baru mengumumkan, Kupang akan diserang bibit siklon dari pukul 00.00 dan puncak terbentuk siklon itu di pukul 2 dinihari. Siklon Seroja namanya.
Sejak saat itu, suasana menjadi mencekam. Listrik padam, langit gelap gulita dengan angin besar serta hujan lebat. Saya berpikir jika ini masih bibit siklon bagaimana nanti di pukul 2 hingga selanjutnya.
Atap rumah seperti digoyang-goyang oleh raksasa, bunyi hujan seperti sekumpulan lebah dan atap seng yang ditampis air serta angin memekikakn telinga. Suasana rumah sunyi,tapi alam bisik sekali.
Pukul 2 dinihari,saya sudah pasrah, atap seng terlepas satu persatu, pohon tumbang menghajar kanopi, saya tidak keluar rumah, memilih di dalam rumah dalam gelap menakutkan itu.
Sejak pukul 2 sampai pagi sekitar pukul 5 saya yakin tidak ada warga Kupamg yang terlelap meski gelap. Bersyukur masih ada sinyal hp yang membuat bisa saling kontak dan menguatkan antar keluarga.
Di pukul 3, saya lihat di linimasa medsos, warga Kupang banyak yang menaikkan doa, dan tentu banyaj yang berdoa secara pribadi.
Alam memaksa untuk kepasrahan itu nampak total. Sesekali menggunakan senter saya mengecek situasi belakang rumah. Air dar kali yang lebih sering kering sekitar 100 meter dari rumah sudah meluap luar biasa.
Pagar pembatas rumah kami dan kos kpsan tetangga ambrol. Bunyinya keras, tapi tak ada orang yang berteriak, semua memilih diam, apa yang terjadi-terjadilah.
Plafon mulai meneteskan air, arah angin yang tak karuan membuat air menetes masuk dari sisi yang tak pernah diperkirakan. Saya brrsial untuk ambruk, syukur hingga kini, plafon tripleks itu hanya berubah warna belum runtuh.
Suasana hati menjadi lebih baik ketila cahaya menembus jendela sekitar 5.30, meski angin masih sangat keras dengan hujan yang berlari kesana kemari.
Cahaya membuat saya yakin bahwa jika ada hari baru yang diijinkan oleh Sang Kuasa, maka badai akan berlalu.
Di aplikasi pengamat cuaca, diperkirakan akan reda di pukul 8 pagi. 8 jam bukan waktu uang singkat di tengah suasana yang mencekam tersebur, tapi bagi saya yang penting akan berlalu.
Di tengah angin tapi sudah cukup terang, saya mencoba menengok situasi sekeliling dan ke rumah sebelah, ada keluarga orang tua juga disana.
Melintasi pohon yang tumbang, saya menjumpai mereka. Ada senyuman, sukacita karena semalam telah berlalu.
Kami mendengar kabar saudara saudara di pesisir harus mengungsi, rumah banyak yang ambruk dan ada korban.
Pukul 10, kami memberanikan diri membereskan dahan dari pohon yang tumbang. Nampak angin masih berhembus sedang  langit masih mendung. Tapi Seroja sepertinya sudah beranjak.
Listrik masih padam dan akan lama. Setelah membereskan pohon tumbang, saya berispa untuk memastikan beberapa sanak keluarga yang perlu dibantu.
Dalam situasi seperti ini, memang haris salimg menguatkan dan membantu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H