Mengemukannya isu kecurigaan Partai Demokrat tentang rencana Jokowi menyiapkan Gibran Rakabuming Raka untuk Pilkada DKI 2024 dibalik pembatalan revisi UU Pemilu serta merta membuat nama Gibran disorot.
Ada dua hal yang kira-kira menjadi fokus sorotan. Pertama, mampukah Gibran akan menjadi pemimpin yang sukses di Solo nanti, dan kedua, gaya kepemimpinan apa yang akan digunakan oleh Gibran nantinya.
Untuk pertanyaan pertama, sebenarnya adalah pelengkap dari asumsi Demokrat yang menyatakan bahwa kurang lebih dalam 3 tahun ini, Gibran akan dipersiapkan untuk mengganjal Anies Baswedan, Gubernur petahana yang diperkirakan akan juga berlaga.
Logikanya seperti ini; kesuksesan Gibran nanti akan menjadi tangga yang baik untuk menunjukkan kepantasan dirinya berlaga di DKI nanti, seperti yang telah dilakukan oleh sang ayah, Jokowi.
Sebenarnya, itu bukan hal yang sulit. Jokowi sudah membuka jalan, dan Gibran memiliki dukungan politik yang sangat kuat di Solo, yang berarti program-programnya akan lebih mudah dieksekusi.
Hanya, publik tentu menunggu, inovasi apa yang dapat dilakukan oleh Gibran di Solo nanti yang seperti menjadi pembeda atau kartu As dirinya untuk mendapatkan perhatian publik, sekaligus membuat elektabilitasnya menjadi naik.
Soal kedua, juga tak kalah menarik. Gaya kepemimpinan apa yang akan dipilih oleh Gibran. Sampai sekarang belum terlihat, karena komunikasi publik yang dibangun Gibran juga amat terbatas. Gibran memang selama ini dikenal hemat bicara dan cuek.
Jika harus menduga, maka ada dua alternatif gaya kepemimpinan yang dapat ditiru oleh Gibran. Pertama, gaya kepemimpinan Jokowi selama menjabat sebagai Walikota Solo.
Saat menjabat, Jokowi terkenal sebagai pemimpin yang memberikan telinganya bagi para bawahan dan rakyatnya. Ini tentu pendekatan yang tepat secara Jawa, karean unsur hormat, dan kesopanan yang dijaga.
Dalam pendekatan gaya kepemimpinan seperti ini, Gibran mesti tahu cara mencuri hati rakyat selain tentunya terus bekerja untuk melaksanakan janji kampanyenya.
Blusukan, pertemuan informal yang mendekatkan dirinya dengan warganya menjadi sedikit dari apa yang dilakukan oleh Gibran nantinya.
Kedua, gaya kepemimpinan Ahok. Tak dapat dipungkiri bahwa kemungkinan Gibran untuk meniru gaya kepemimpinan Ahok juga terbuka lebar.
Gibran dalam beberapa pernyataannya, terkesan tidak mau dibanding-bandingkan dengan Jokowi soal gaya, sehingga bisa saja Gibran berbeda, 180 derajat bahkan, yang berarti itu mirip dengan Ahok.
Pendekatan gaya kepemimpinan Ahok tentu lebih berorientasi ke program daripada pendekatan personal. Ahok akan memilih programnya jalan, daripada menghabiskan waktu "mencari muka" atau kongkow dengan orang lain.
Inilah yang membuat Ahok mungkin bisa dikatakan berjarak dengan warganya, tapi kepuasan warga akan programnya meningkat.
Pilihan meniru gaya kepemimpinan Ahok ini bisa saja dilakukan oleh Gibran. Hanya Gibran mesti hati-hati, karena karakter di Solo tentu saja berbeda dengan di Jakarta.
Di Solo, kesantunan, hormat terhadap yang lebih tua dalam komunikasi politik bisa jadi lebih diutamakan daripada jalannya program, sebaliknya di kesibukana Jakarta, orang akan lebih senang pemimpin yang kerja daripada ngebanyol saja.
Sebenarnya ada pilihan ketiga bagi Gibran yakni me-mix antara Jokowi dan Ahok dalam kepemimpinannya. Gibran dapat menjadi pemimpin yang rajin turun ke bawah, tapi juga gesit bekerja dengan karakter yang kuar. Meskipun akan lebih sulit, namun jika berhasil dilakukan maka Gibran tentu akan mendapatkan nilai lebih, khususnya jika berniat menuju ke DKI 2024 nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H