Nah, untuk menjawabnya, tentu kita harus meihat bagaimana isu upaya kudeta ini digulirkan dan bagaimana pengamat politik melihatnya sebagai bagian dari strategi Demokrat untuk populer dan juga meningkatkan elektabilitas.
Untuk elektabilitas, ada dugaan bahwa langkah ini untuk menaikkan daya jual Demokrat sebagai partai oposisi yang paling kuat saat ini menggantikan peran dari Gerindra yang sudah bergabung dengan koalisi pemerintah.
Caranya adalah menyatakan pada publik bahwa ada upaya yang diduga melibatkan elemen kekuasaan untuk mengambilalih kepemimpinan di Demokrat secara paksa.
Jika ini menjadi sebuah opini yang "dipercayai" masyarakat, maka Demokrat ingin terlihat seperti partai yang dizolimi, dan berharap agar mendapatkan belas kasihan dari publik.
Pertanyaannya adalah apakah strategi ini berhasil? Dari pernyataan Adi Prayitno dalam tautan yang sama ini belum dikatakan berhasil.
Adi mengatakan ada perbedaan opini tentang isu ini, sehingga Demokrat bisa dikatakan belum menuai hasil seperti yang diinginkan.
"Saat ini publik terbelah dalam menyikapi isu kudeta demokrat. Terjadi tauran opini, jadi belum ketahuan siapa yang lebih kuat. Harus ada alat ukur yang objektif," kata Adi.
Realitanya memang demikian, alih-alih mendapat tanggapan positif tentang upaya kudeta dari elemen kekuasaan, Demokrat malah disibukkan denngan persoalan internal partai, seperti ketidakpuasan kader dan sebagainya.
Di titik ini, apa yang perlu dilakukan oleh Demokrat? Jika menggunakan landasan berpikir seperti ini, maka rasanya Demokrat perlu menyiapkan langkah atau plan B, agar tujuan elektabilitas tercapai.
Nampaknya, langkah-langkah itu sudah terlihat. Salah satunya adalah bagaimana Demokrat begitu reaktif setelah rencana revisi UU Pemilu benar-benar dibatalkan.
Demokrat bahkan menyebut bahwa ada rencana dibalik pembatalan revisi UU Pemilu, salahs atunya adalah  Jokowi  yang dianggap menggunakan momen ini  untuk menyiapkan Gibran untuk maju ke DKI 2024 untuk menjegal Anies.