Andi Arief membantah pernyataan dari Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari yang mengatakan bahwa stretegi kudeta adalah desain dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Andi mengatakan bahwa pernyataan Qodari seperti meragukan kemampuan manajemen krisis yang dipunyai oleh Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Andi juga menandaskan bahwa ide, serta keputusan untuk melakukan respon terhadap upaya kudeta pihak internal dan eksternal dilakukan sendiri oleh AHY.
"Isu kudeta ini terbongkar karena kesetiaan atau loyalitas para kader, mereka yang melapor pada AHY. Dan AHY mengambil keputusan cepat dan terukur," kata Andi yang juga Ketua Bapilu Partai Demokrat kepada wartawan, Rabu (10/2/2021).
Jadi siapa yang benar? Belum dapat dipastikan. Hanya bisa dianggap wajar pendapat dari M Qodari karena SBY adalah pendiri partai yang nampaknya belum bisa lepas dari strategi politik dan langkah politik Demokrat.
Lihat saja, bagaimana komunikasi politik SBY melalui medsos, ketika AHY akan melakukan konfrensi pers. SBY sudah "sibuk" lebih dahulu, pantas saja dinilai bahwa peran SBY masih besar.
Hanya esensi dari dualisme pendapat ini, bermuara pada pertanyaan tentang kapasitas kepemimpinan AHY, yang tentu akan terus menjadi isu hangat, selama persoalan tudingan kudeta ini masih mengemuka di publik.
Dari kacamata pesepakbola, saya ingin menilainya lebih sederhana.Â
AHY itu ibarat pesepakbola itu Christiano Ronaldo atau Neymar.
Bagi saya kedua pesepakbola ini berbeda, meski sama-sama mumpuni sebagai pesepakbola. Lupakan saja dulu pikiran tentang siapa lebih banyak mendapatkan balon d'or, karena bukan itu yang ingin saya sampaikan.
Mari kita mulai.  AHY sebagai Christiano Ronaldo. Ronaldo dikenal sebagai pesepakbola pekerja keras, dia bukan lahir dari bakat tapi dari kerja keras latihan.
Hingga menginjak usia 36 tahun, salah satu yang diingat oleh rekan-rekannya, adalah Ronaldo datang paling cepat dan pulang paling lambat, latihannya selalu lebih lama daripada yang lain.
Ronaldo tahu bahwa skill di atas lapangan muncul dari pengalaman yang terbentuk karena latihan. Ronaldo akan ingin terlihat paling bugar di lapangan, siap untuk beradu kuat, ketika memang benar-benar siap.
Karakternya di lapangan adalah pejuang. Ronaldo bukan pemain yang sering terlihat diving, merengek ketika ditekel lawan kepada wasit, tidak seperti itu. Dia bisa ditekel, dan cepat bangun.
Salah satu yang diakui dari Ronaldo adalah dia siap berada di situasi apapun, kepindahannya ke Juventus, Seri A Italia seperti meninggalkan zona nyaman di Madrid. Ronaldo siap, dan membuktikan dia bisa.
AHY untuk beberapa hal, mirip dengan Ronaldo. Dia berani meninggalkan karirnya dan turun di politik ketika usianya masih muda, dan bahkan dinilai kurang berpengalaman.
AHY mungkin masih membutuhkan waktu, hanya apakah dia akan cukup bugar untuk memilih lebih cepat menghadapi laga politik yang semakin keras?
AHY sebagai Neymar. Neymar adalah pesepakbola berbakat yang digadang-gadang jadi pemain hebat seusai era Ronaldo dan Messi.
Hanya, sayang, era Messi dan Ronaldo yang lebih panjanb bisa jadi membuat Neymar tidak bisa berbuat apa-apa meski sudah di usia emasnya. Neymar hanya bisa mengikut dari belakang, tidak di depan.
Itulah yang membuat Neymar tak tahan berada di belakang Messi saat di Barcelona, dia ingin menjadi nomor satu bukan nomor dua.
 Tawaran klub kaya asal Prancis, PSG diambilnya, meski dia mengerti main di Liga Prancis serasa hanya untuk menghabiskan ampas karir, seperti yang dilakukan Zlatan Ibrahimovic.
Apakah mental Neymar yang tak mau bersaing di level atas ini yang membuat dia tidak bisa bertahan? Tidak juga, ada faktor lain, yakni karakter yang dipilihnya saat bermain.
Neymar sering sekali berakting. Dihantam lawan sedikit, langsung jatuh, lalu merasa disakiti, dan sering merengek meminta belas kasihan simpati dari penonton dan terutama wasit.Â
Inilah yang membuat Neymar bisa menjadi pemain hebat, tapi sulit menjadi yang terhebat seperti Messi dan Ronaldo.
AHY di titik ini dianggap beberapa pihak seperti Neymar, ada politik merasa dizolimi yang dimainkannya, dengan tujuan untuk menarik simpati. Playing victim begitu orang menyebutnya.
Apakah strategi ini berhasil? Ya jika bicara soal tingkat popularitasnya yang menjadi naik, tapi sayang belum tentu popularitas linier dengan elektabilitas.
AHY butuh pembuktian lain. Dia bisa mendapat simpati tapi belum tentu dia dapat meraih balon d'or, penghargaan individual tertinggi bagi pesepakbola di jagat ini.
Apakah AHY akan terus tenggelam jika seperti ini? Tidak juga. Apapun bisa terjadi di politik, hari ini AHY bisa seperti Neymar, tapi dalam perjalanannya dia bisa seperti Ronaldo, jika semakin pandai memilih cara yang tepat.
Mengapa AHY tidak dibandingkan seperti Messi? Saya tidak sampai hati. Hari ini, Â Messi bahkan sempat akan diusir dari Barcelona, klub yang dibesarkannya.Â
Mengapa? Â Messi mulak tidak diterima, karena Barca dianggap tidak besar lagi atau tidak bisa kemana-mana, jika masih bergantung pada dirinya. Semoga saja ini tidak terjadi pada AHY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H