Isu tentang  rencana revisi UU Pemilu yang mencantumkan usulan gelaran pilkada serentak pada 2022 paling banyak menyeret nama Gubernur DKI, Anies Baswedan, dan akhirnya membuahkan dugaan-dugaan politis yang riuh di tengah publik.
Soal apa? Soal posisi koalisi pemerintah dan oposisi terhadap rencana revisi ini. Koalisi pemerintah hari ini terhitung bulat untuk menolak rencana revisi UU Pemilu tersebut yang berarti mendukung pilkada diadakan serentak pada 2024 nanti.
Sebaliknya, oposisi, PKS dan Demokrat memilih agar pilkada diadakan 2022, yang artinya menjadikan bahwa pada 2024 nanti, keramaian pemilu hanya tertuju pada pilpres.
Di situasi ini, nama Anies Baswedan disebut-sebut. Ada yang menilai gelaran serentak pada 2024 nanti, adalah langkah untuk mengganjal Anies untuk menjadi gubernur untuk periode kedua kalinya.
Hitungannya tentu jangka panjang. Jika Anies terpilih pada 2022 nanti maka stamina politiknya akan tetap terjaga, sekaligus elektabilitasnya bisa naik, jikalau Anies semakin moncer di kursi gubernur.
Lalu bagaimana jika pilkada 2022 yang kemungkinan besar tidak jadi digelar, apakah ini berarti Anies betul-betul merugi? Jika ditilik, tidak juga demikian.
Baca Juga :Â PDIP Gandeng Anies? Bagaimana Nasib Risma?
Mengapa? Politik Ping-pong yang seperti memindah-mindahkan Anies ini memang memiliki kerugian dan juga keuntungan bagi seorang Anies. Kerugiannya, seperti dipaparkan di atas Anies akan kehilangan panggung lebih lama di Jakarta.
Hanya yang dilupakan, posisi Anies yang non partisan---tidak bergabung sebagai kader politik manapun membuat dia memiliki gerak flesibilitas yang tinggi sekaligus menjadi komoditi politik yang berkualitas.
Perhatikan saja bagaimana riak politik sesudah Jokowi mengumpulkan jubir Tim Kampanye Nasional (TKN) yang terendus bertujuan untuk mendukung Pilkada serentak 2024.
Sesudah itu, isu atau rumor tentang Anies ada dimana-mana. Anies diajak untuk bertemu secara diam-diam oleh Ketum Gerindra, Prabowo Subianto, Â lalu hasil survei tiba-tiba yang kembali menegaskan Anies dengan elektabilitis yang tinggi, penghargaan transportasi untuknya, lalu yang paling akhir pergunjingan bahwa PDIP akan menggandengnya.
Ada apa dengan isu-isu ini? Jawaban yang paling mungkin adalah para partai politik mesti mengambil ancang-ancang untuk menyiapkan posisi mereka terhadap posisi Anies nantinya.
Apalagi ada satu hal yang menarik yang mungkin dilupakan. Jika berlangsung serentak, maka Pilpres akan berjalan lebih dahulu daripada Pilkada.
Desain politik yang terlihat paling mungkin dan penting, jika koalisi pemerintah mau menggandeng Anies adalah untuk memastikan bahwa Anies turun di pilpres mewakili siapa, atau bernegosiasi dengan Anies untuk melepas pilpres dan turun di pilkada saja,
Ancang-ancang ini perlu karena situasi covid-19, lalu penolakan terhadap revisi UU membuat banyak calon potensial yang terjebak untuk berada di satu pilihan.
Perlu Dibaca :Â Menerka Politik Taktis Pertemuan Prabowo dan Anies
Maksudnya seperti ini; Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan akan diganti oleh pejabat sementara (pjs) pada 2022 nanti, mereka kehilangan panggung dan akhirnya mesti memilih bertempur di pilpres saja atau pilkada saja.
Hitung-hitungan ini, membuat para parpol, perlu memping-pong tokoh politik yang diincarnya, sekaligus mempersiapkan diri jauh-jauh hari, agar tidak terjadi tumpeng tindih dalam pengusungan calon.
Misalnya. Jika Anies dibujuk untuk ikut pilkada saja, maka tinggal dibereskan bagaimana poros-poros politik mempersiapkan calon untuk presiden nanti.
PDIP-Gerindra misalnya akan mengusung Prabowo-Puan, dan tanpa Anies maka jalan mungkin akan seperti jalan tol, mulus.
Akan tetapi negosiasi politik ini terus berjalan. Dalam politik, apapun bisa terjadi. Ketika kekuatan oposisi berkurang setelah Gerindra bergabung ke dalam pemerintah, Anies meungkin galau, dan "terpaksa" memilih untuk bergabung ke partai koalisi pemerintah.
Hanya, sekali lagi apapun bisa terjadi. Bisa saja ada partai koalisi pemerintah yang bermanuver demi Anies, tapi bukan sekarang, nanti, karena ketika bermanuver saat ini, akan merugikan, karena pemerintahan masih tersisa 3 tahun lagi.
Prediksi saya, riuhnya akan terasa tahun depan, atau dua tahun depan--jikalau benar dan sah , revisi UU ditolak, dan pilkada dan pilres baru dilaksanakan pada 2024.
Akan menarik. Kita tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H