Di kantor dahulu, meski tak resmi, beberapa rekan kantor termasuk saya  akhirnya memilih rekan Hasan menjadi juru bicara atau jubir kami, sarikat staf menengah. Peristiwa berulang yang terjadi di ruang rapat kantor menjadi alasannya.
Dulu sebelum Hasan, ada Valen dan ada juga Rizal. Keduanya rontok alias gagal menjadi jubir yang baik.
Dimulai dari Valen. Di hari pertamanya menjadi jubir, ada rapat pembahasan tentang kebersihan di kantor, hanya gegara ada puntung rokok yang ditemukan oleh pak bos di selasar kantor.
Pak bos lalu mengadakan rapat agar ada kesepakatan bahwa yang merokok dapat merokok di tempat khusus dan puntungnya dibuang pada tempatnya. Sebenarnya bukan rapat dengar pendapat, karena pada akhirnya bos juga memberikan solusi. Jadi bukan rapat untuk berdiskusi, tapi instruksi, perintah.
Nah, tiba-tiba Valen minta bicara. Beberapa dari kami mulai saling lirik, meski saya sendiri merasa bahwa Valen sedang ingin menjalankan tugas atau kepercayaan dari kami. Juru bicara.
"Terima kasih untuk waktu yang diberikan. Indonesia memang sedang darurat kebersihan. Perhatikan saja bencana terjadi dimana-mana karena sampah yang bertumpuk. Gubernur saja bisa diganti, termasuk bapak, jika tidak bisa mengurus ini dengan baik, maka bisa diganti. Karena itu, saya setuju dengan arahan bapak" kata Valen, berusaha singkat, padat dan jelas.
Sesudah rapat usai, wajah bos berubah, lalu berhembus kabar, bos mengintervensi agar Valen dikudeta dari jabatan jubir. Valen terlalu politis, bisa berbahaya, menyita waktu dan pikiran.
Kami sih oke-oke saja, kami lalu bersepakat dengan Valen, periode tugasnya sudah usai. Valen juga setuju, bagi Valen, frasa Indonesia darurat kebersihan itu adalah salah satu pesan terbaik dalam tugasnya. Baiklah.
Sesudah Valen, muncul Rizal. Riz begitu kami memanggilnya, dipilih karena lebih santai dan kocak, tidak serius seperti Valen. Sayang, nasib Riz juga tak beda dengan Valen, dipecat langsung di meja rapat.
Suatu saat ada rapat soal rotasi staf, biasa untuk penyegaran. Pak Bos lalu menjelaskan bahwa selain untuk penyegaran, ini juga untuk membuat kantor lebih produktif. Sesudah penjelasan Pak bos yang demokratis itu, dimintalah pendapat dari para staf.
Riz langsung unjuk jari lalu langsung bicara.Â
" Terimakasih atas kesempatannya Pak Kepala. Menurut saya ini jangan dibuat terlalu serius, hidup harus santai, pindah-pindah pegawai juga sebenarnya dinikmati saja, jika semua aman, kami aman, bapak juga senang. Terimakasih" kata Rizal.
Banyak dahi yang mengernyit, usia Rizal seabgai jubir tak panjang, sekali dua kali sesudah itu dia diganti Pak Hasan.
Menurut saya, sebenarnya kehadiran jubir ini penting, karena memang tidak semua dapat mengkomunikasikan sesuatu dengan baik.
Ada banyak alasannya, memang kita belum berlatih sehingga tidak mampu mengkomunikasikannya dengan baik, lalu ada hal-hal tertentu yang tidak kita kuasai dan juga terlalu banyak kerjaan sehingga perlu orang lain untuk mengkomunikasikan maksud kita.
Kemarin, saya sempat menyaksikan bagaimana cara Kepala KSP, Moeldoko dalam konfrensi pers berkaitan dengan sorotan terhadapnya berkaitan dengan tudingan upaya kudeta di Demokrat.
Konpers babak satu dan dua itu sebenarnya sudah baik, hanya yang menggangu saya adalah pemilihan diksi oleh Moeldoko yang  rasanya urang tepat dalam mengkomunikasikan sesuatu, apalagi  di topik yang sensitif.
Ada beberapa diksi yang saya ingat seperti baperan, lelucon, lucu-lucuan dan dageelan yang menurut saya menaikkan tensi sebuah konpers yang pada dasarnya berniat meneduhkan situasi.
Benar saja. Sesudah itu, soal baper, dagelan, lelucon disasar habis oleh petinggi Demokrat, mau dikaitkan dengan konteks atau tidak.
Sampai disini saya lantas berpikir, Moeldoko sebaiknya menunjuka jubir pribadi untuknya. Moeldoko tak perlu sungkan karena seprti yang diketahui Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dan Menhan, Prabowo Subianto juga mempunyai jubir.
Jika saya lihat, kehadiran jubir buat Luhut dan Prabowo cukup efektif.
Soal jubir Luhut, Jodi Mahardi, Â saya ingat benar ketika muncul polemik dengan Said Didu beberapa waktu lalu, Jodi yang tampil di depan sangat membantu Luhut untuk menjelaskan posisi Luhut sehingga sang Menko dapat fokus di hal yang lainnya.
Prabowo juga nampak tepat menunjuk Dahnil Simanjuntak sebagai jubir. Di luar kemampuan orasi, menunjuk Dahnil sebagai jubir baginya membuat Prabowo juga bisa menangani banyak hal, tanpa dipusingkan dengan kesalahan penggunaan diksi yang bisa memperkeruh situasi.
Selain itu, dalam beberapa acara live dengan tema tertentu, ketika Prabowo berhalangan, Dahnil dapat hadir dan mewakili.
Dari beberapa alasan inilah saya kira, Moeldoko perlu segera menunjuk jubir untuk dirinya.
Bukan untuk lari dari persoalan tudingan kudeta ini, tapi untuk menghindari diksi-diksi yang kontraproduktif, karen komunikasi politik yang diharapkan dari Moeldoko adalah yang dapat meneduhkan situasi serta membantunya untuk dapat fokus di hal-hal yang lain---apalagi Moeldoko mengatakan bahwa pekerjaannya sedang menumpuk.
Jadi, mungkin perlu dicari jubir bagi Moeldoko. Asal jangan Valen dan Rizal saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H