Saling bantah, saling sanggah, saling unjuk, baik kata maupun bukti sudah dimulai. Tanda bahwa setelah usai genderang perang dibunyikan, Demokrat terus merangsek, Moeldoko dan orang lain yang dituding sesekali balas serang.
Ini seperti diketahui bermula dari konfrensi pers yang tiba-tiba dilakukan oleh Ketum Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY mengatakan bahwa upaya penggulingan kekuasaan secara paksa.
Menjadi panas, karena ada tudingan bahwa ada elemen kekuasaan, orang lingkar Jokowi yang terlibat---yang akhirnya diketahui sebagai Moeldoko, dan beberapa kader dan non kader, Marzuki Alie Cs.
Dalam sebuah tayangan dialog politik di salah satu stasiun televisi swasta yang membahas polemik ini, saya sempat mendengar sebuah pernyataan menarik dari Adi Prayitno, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Parameter Politik.
Adi mengatakan bahwa ini dapat diibaratkan sebagai ajakan perang terbuka dari Demokrat.
Ada lebih lanjut secara singkat menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) hal yang ingin dikomunikasikan AHY sebagai Ketum, dan Demokrat melalui ajakan perang terbuka ini.
Pertama, Â Demokrat ingin menunjukan kepada publik, bahwa di bawah kepemimpinan AHY, Demokrat telah siap menghadapi siapapun dari eksternal maupun internal yang ingin meraih kekuasaan secara paksa.
Kedua, Demokrat ingin menunjukkan bahwa DPP, DPD maupun DPC sudah sangat  solid dan didominasi oleh kaum muda yang dapat disebut tidak mempunyai dosa masa lalu.
Ketiga, ajakan perang terbuka ini membuat Demokrat dapat dikatakan tidak peduli akan elektabilitas, ini bahkan melewati dari ambisi elektabilitas karena ini berkaitan dengan marwah dan kedaulatan partai.
***
Secara esensi, saya setuju dengan opini Adi Prayitno ini, namun ada beberapa hal yang tetap menjadi pertanyaan.
Salah satunya adalah tentang kesolidan partai. Ini tentu menjadi pertanyaan karena tak dapat dipungkiri bahwa gejolak internal seperti menjadi ganjalan ketika pengurus era AHY ini nampak ingin menunjukan kesolidan itu sendiri.
Perhatikan saja respon beberapa forum politisi senor Demokrat yang secara terang-benderang mengungkapkan dukungannya terhadap Moeldoko. Bukan itu saja, Marzuki Alie sendiri bahkan mengancam atas tudingan terhadap dirinya, yang menurutnya tanpa bukti.
Baik, AHY memang ingin menunjukan bahwa dia kuat untuk menjaga marwah dan kedaulatan partai dari intervensi internal, tetapi gesekan dengan Marzuki Alie cs tidak dapat dipandang remeh.
Demokrat meski pada awalnya nampak figur sentris di saat kepemimpinan AHY, tapi masih terlihat faksi-faksi di dalamnya.
Paling tidak ada 4 faksi yang dapat dikedepankan. Pertama, faksi para simpatisan mantan ketua umum Partai Demokrat almarhum Hadi Utomo. Kedua, simpatisan salah satu pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketiga adalah simpatisan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan faksi keempat diisi simpatisan mantan sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie.
Saat ini, AHY secara langsung didukung oleh faksi SBY, nampak ada tokoh seperti Syarif Hasan, Andi Malarangeng yang nampak loyal di dalamnya.
Menjadi soal adalah ketika isu ini dinaikkan ke permukaan, sengaja atau tanpa sengaja, ajakan perang terbuka ini juga menyisir kelompok atau faksi yang lain. Marzuki Alie nampak berang, sedangkan faksi lain langsung ribut meminta agar Moeldoko dapat didukung.
Dalam situasi ini, maka konsolidasi internal terasa perlu. Meski mengakui bahwa dirinya didukung DPP, DPD ata DPC, tapi kehadiran faksi yang berseberangan membuat Demokrat akan nampak rapuh ke depannya.
Apa yang perlu dilakukan AHY? Saya kira jika berani, AHY perlu memotong gesekan ini agar tidak menghasilkan resonansi yang kontraproduktif bagi partai.
Beberapa bulan lalu, hal ini secara tegas dilakukan AHY terhadap Subur Sembiring cs, kader senior yang sempat "main-main" ke kantor Luhut Pandjaitan. Dianggap membuat kekisruhan, Subur lalu dipecat.
Apakah kali ini langkah ini akan berani dilakukan oleh AHY? Kita tunggu saja. Konsekuensi dari perang terbuka adalah siap menerima serangan dari berbagai penjuru. Jika tak kuat, strategi ini dapat dianggap keliru, meskipun motivasinya benar yaitu menjaga marwah dan kedaulatan partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H