Salah satunya adalah tentang kesolidan partai. Ini tentu menjadi pertanyaan karena tak dapat dipungkiri bahwa gejolak internal seperti menjadi ganjalan ketika pengurus era AHY ini nampak ingin menunjukan kesolidan itu sendiri.
Perhatikan saja respon beberapa forum politisi senor Demokrat yang secara terang-benderang mengungkapkan dukungannya terhadap Moeldoko. Bukan itu saja, Marzuki Alie sendiri bahkan mengancam atas tudingan terhadap dirinya, yang menurutnya tanpa bukti.
Baik, AHY memang ingin menunjukan bahwa dia kuat untuk menjaga marwah dan kedaulatan partai dari intervensi internal, tetapi gesekan dengan Marzuki Alie cs tidak dapat dipandang remeh.
Demokrat meski pada awalnya nampak figur sentris di saat kepemimpinan AHY, tapi masih terlihat faksi-faksi di dalamnya.
Paling tidak ada 4 faksi yang dapat dikedepankan. Pertama, faksi para simpatisan mantan ketua umum Partai Demokrat almarhum Hadi Utomo. Kedua, simpatisan salah satu pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketiga adalah simpatisan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan faksi keempat diisi simpatisan mantan sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie.
Saat ini, AHY secara langsung didukung oleh faksi SBY, nampak ada tokoh seperti Syarif Hasan, Andi Malarangeng yang nampak loyal di dalamnya.
Menjadi soal adalah ketika isu ini dinaikkan ke permukaan, sengaja atau tanpa sengaja, ajakan perang terbuka ini juga menyisir kelompok atau faksi yang lain. Marzuki Alie nampak berang, sedangkan faksi lain langsung ribut meminta agar Moeldoko dapat didukung.
Dalam situasi ini, maka konsolidasi internal terasa perlu. Meski mengakui bahwa dirinya didukung DPP, DPD ata DPC, tapi kehadiran faksi yang berseberangan membuat Demokrat akan nampak rapuh ke depannya.
Apa yang perlu dilakukan AHY? Saya kira jika berani, AHY perlu memotong gesekan ini agar tidak menghasilkan resonansi yang kontraproduktif bagi partai.
Beberapa bulan lalu, hal ini secara tegas dilakukan AHY terhadap Subur Sembiring cs, kader senior yang sempat "main-main" ke kantor Luhut Pandjaitan. Dianggap membuat kekisruhan, Subur lalu dipecat.