Tentu saja, penunjukkan Moeldoko disertai kalkulasi politik yang matang dari Presiden Jokowi. Harapan Jokowi dengan masuknya jenderal ke dalam kabinet adalah untuk memastikan amannya pemetaan keamanan dan stabilitas politik di saat genting.
Dalam tugasnya sebagai KSP, Moeldoko dapat dianggap bertindak taktis. Dia menjadi salah satu sentral baru dalam politik di sekitaran Jokowi. Dia memastikan bahwa Jokowi aman ketika terjadi perhelatan politik dengan angin yang lebih keras.
Moeldoko bahkan terlihat lebih banyak tampil di hadapan publik dan memberikan komentar terkait berbagai isu yang ada ketimbang para menteri lainnya.
Saat, Jokowi akan memasuki periode kedua, nama Moeldoko meroket sebagai salah satu bakal calon wakil presiden (Cawapres) Jokowi. Namun, Jokowi akhirnya lebih memilih Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin karena situasi politik yang dinamis.
***
Kedekatan Moeldoko dengan SBY dan Jokowi, membuat konflik Demokrat dan Moeldoko ini menjadi seperi sebuah puzzle yang masih terus dikerjakan.
Akan tetapi yang pasti, Moeldoko sudah bergerak menjadi seorang politikus yang memiliki pengaruh. Dia bukan lagi seorang prajurit yang dipilih oleh SBY, dengan loyalitas kepada pimpinan yang kuat, tidak, dia sekarang sudah menjelma sebagai seorang purnawirawan Jenderal yang sudah berpolitik.
Inilah yang membuat banyak hal masih menjadi teka-teki, dan dalam politik itu sebuah hal yang biasa.
Demokrat menuding Moeldoko bermanuver melakukan kudeta demi mendapatkan kendaraan politik menuju 2024.
Meski Moeldoko sudah membantah dan menganggap ini sebuah dagelan, tapi tudingan ini juga masuk akal. Karir seorang Jenderal selesaai saat purnabakti, tapi seorang politisi selesai saat ambisi kekuasaan mendapatkan jalannya.
Moeldoko mengatakan bahwa dia menghormati SBY, akan tetapi geliat politik membuat rasa hormat dan langkah politik mempunyai batas yang tipis, dan kemesraan dapat berlalu.