Bola panas dari tudingan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) bahwa ada upaya penggulingan kekuasaan partai yang datang dari lingkar Jokowi terus bergulir panas.
Meski AHY tidak menyebut nama, namun orang lingkar AHY nampak rajin sekali menyebutkan nama-nama yang dimaksud oleh AHY, sebagai orang-orang yang ingin melakukan kudeta terhadap Demokrat.
Sesudah menyebut nama Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai pihak esternal yang disebut, nama lain pun akhirnya bermunculan satu persatu di publik.Â
Dari mulut politisi Demokrat seperti Syarif Hasan, Andi Arief dan Rachlan Nasidik, nama-nama seperti "Marzuki Alie, Jhoni Alen, Darmizal, Nazaruddin dan Maz Sopacua" dianggap sebagai biang dari rencana kudeta.
Ternyata riak gelombang membesar terjadi, terutama dari internal partai. Tak sedikit yang menganggap ada fitnah yang terjadi, dan merasa kepemimpinan AHY terlalu gegabah dalam menyampaikan hal ini di depan publik.
Terakhir, forum politisi senior Demokrat dan pendiri juga menyampaikan kritik tajam terhadap langkah politik AHY tersebut. Demokrat menghadapi kegaduhan politik dari luar dan dalam.
Ada apa sebenarnya? Jika melihat ini dalam perspektif bahwa ada kesalahan dalam komunikasi politik yang dilakukan oleh AHY, kita dapat membuatna menjadi lebih spesifik yakni ada kesalahan pemilihan panggung dari AHY.
Apa yang dimaksud? Harus diakui bahwa komunikasi publik membutuhkan panggung, namun perlu pengalaman dan kecerdasan membaca arah politik untuk memilih panggung, yang terdiri dari dua, yaitu panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan adalah tempat dimana politisi menyampaikan pesan politiknya kepada publik secara terang-terangan, dan bersiap untuk menerima segala respon dan interpretasi terhadap pernyataan politik yang dibuatnya.
Kita bisa menyebut bahwa pernyataan AHY kemarin, adalah penggunaaan panggung depan.