Tangan dr. Muthalib nampak gemetaran, dia butuh bantuan. Lengan kemeja putih milik Jokowi mesti disingsingkan, biar dia bisa leluasa menyusupkan jarum suntik berisi sinovac ke lengan Sang Presiden. Jokowi terpaksa melakukannya sendiri. Sesudah rampung, Jokowi membatin, "Ah, ribet".
Pagi ini, Jokowi lantas berpikir, tak mau kerepotan yang sama itu dialaminya. Hari ini akan menjadi kali kedua sekaligus pungkasan dia menerima dosis sinovac yang 0,5 ml itu.
"Siapkan kaos kutang saja, sebagai dalaman" sabdaJokowi pada penyiap baju istana di Rabu, pagi ini.
"Â Siap pak. Kutang yang model bagaimana?" tanya sang penyiap baju itu.
"Kaos kutang biasa saja!".Â
"Oh, yang tanpa lengan itu. Siap Pak Pres!".
Jokowi nampak lebih santai saja hari ini. Setelah vaksinator sudah bersiap, dia tinggal membuka setengah jaket merahnya.Â
Lengan kirinya sudah nampak polos, putih, kaos kutang itu hanya menutup bagian tubuh, lengan kurusnya terlihat jelas.Â
"Nah, ini baru jos, simpel" kata Jokowi, dalam hati.
Kaos Kutang.Â
"Coutant!.Coutant" begitu teriak  Don Lopez Comte de Paris, bangsawan berdarah Spanyol-Perancis saat melihat perempuan cantik pribumi yang hanya menutup bagian bawah tubuh mereka. Dada mereka kelihatan.
Kain putih itu lalu diambil prajurit Daendels dan diberikan kepada Don Lopez. Don Lopez bingung kepada siapa coutant yang hanya satu itu diberikan. Â Ah, lirikannya lalu mengarah kepada perempuan yang paling cantik. Don memang begitu.
Setelah tersemat , Don juga merapikan kain putih di tubuh yang indah itu, biar menutup secara paripurna tubuh bagian belakang dan depan si perempuan pribumi cantik. Lengan putih mulus dan ketiak dengan bulu tipisnya tetap kelihatan. Coutant.
Kata Coutant segera menjadi populer di kalangan pribumi, meski lidah mereka tak sempurna mengucapkan frasa itu.Â
Akhirnya yang terdengar bukan coutant beraksen french, Â namun menjadi seperti "Koetang", ya, kutang.
Sekilas cerita di atas tersurat dengan menariknya, dan begitulah cara penulis Remy Silado bernarasi akan imajinasinya di dalam novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007), dengan latar pembangunan pos jalan Anyer Panarukan, jaman Daendels (1808 -1811).
Secara historis, koetang memang sering ditemukan dan dibicarakan pada jaman kolonial.Â
Benjamin Matthes  saat menyusun kamus bahasa Makassar-Belanda berjudul Makassaarsch-Hollandsch Woordenboek met Hollandsch-Makassaarsch (1859), mengartikan  koetang sebagai borstrok - pakaian di dalam yang berbentuk seperti rompi.
Taco Roorda dan Andries de Wilde , pengarang Kamus Belanda Melayu Sunda, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek (1841), menyebut kutang sebagai pakaian dalam dan juga kemeja.
Artinya koetang tempo doeloe memang bukan sekedar penutup bagian dada wanita, tetapi dikenal lebih daripada itu.
Apalagi, setelah buste houder atau beha (penyangga payudara) di awal abad 19 sudah dikenal oleh banyak wanita hindia belanda, maka koetang, kaus kutang akhirnya menjadi lebih independen atau lebih lekat dengan pria.
Di era modern, kaos kutang sudah berevolusi dalam hal bentuk atau model, sehingga terkadang menimbulkan kebingungan.
 "Ma, ambilin kaos kutang dong" kata papa.
"Lah, bukan yang ini" kata Papa setelah mama mengambil kaos kutang berlengan.
"Lalu yang mana?" tanya papa.
"Kaos kutang Jokowi yang saat vaksin kedua itu lho" jelas papa.
"Oh, yang itu. Model lama itu. Koetang tempo doeloe" sahut mama, ketus.Â
Mama memang lebih suka papa memakai  koetang yang berlengan, kalo pake yang ini bau ketek papa sering jadi persoalan bagi mama.
Tapi papa sering protes.Â
"Ini bukan Kutang". Pusing.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H