Pesta belum mulai, undangan belum dikirimkan, kursi juga belum diatur, tetapi para calon undangan sudah ribut di kompleksnya masing-masing. Sudah biasa, soal siapa yang pantas ikut pesta, atau siapa yang akan diajak ikut pesta.
Pilgub DKI 2022 masih tahun depan, apalagi Pilpres, butuh melewati sekian musim pohon mangga berbuah, namun di politik, hitungan waktu teramat penting. Siapa cerdik, cepat dan lebih sigap dia berpeluang menjadi yang terdepan.
Tak ada angin tak ada hujan, Gubernur DKI. Anies Baswedan seperti melihat petir. Ketua DPC Gerindra Jakarta Timur Ali Lubis lugas meminta dirinya segera mundur dari jabatannya.
Alasan Lubis tegas, Anies dianggap nyerah melawan Covid, karena meminta pemerintah pusat untuk ambil kendali.
Seperti dihantam Gerindra, Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Achmad Yani seperti menjadi pembela bagi Anies.
Yani menganggap apa yang dilakukan Lubis sudah tak beretika. Masak partai pengusung meminta Anies untuk mundur? Begitu kira-kita maksud Yani.
Sebenarnya sudah agak slow setelah Ketua Mahkamah Partai Gerindra Habiburokhman turun tangan, Habiburokhman kabarnya sudah memperingatkan Ali Lubis soal bahasa kritik yang dianggap terlalu keras ke Anies. Oh, hanya soal Bahasa.
Meski demikian, sudah pasti relasi Gerindra dan PKS menjadi menegang. Di kondisi ini, PDI-P masuk. Melalui Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Ima Mahdiah keluar kalimat pendek. "Ini merupakan tamparan yang keras bagi Pak Anies, karena datang dari partai pendukung."
Kehadiran dan tanggapan PDI-P, dapat disebut sebagai sahutan "seksi", mencari perhatian, menebar pesona. Untuk apa dan siapa? Perlu disimak relasi menarik di antara ketiganya dalam konteks Pilgub DKI.Â
Ketiga partai ini---PKS, Gerindra dan PDI-P dapat dibilang sahabat karib jika mau positif memandang rivalitas ketiganya di Pilgub DKI khususnya.