Caranya, mau tak mau Risma harus mempublikasikan aktivitasnya sebagai mensos secara masif sejak awal, dan ini sudah nampak dilakukannya.
Ini memang akan mengundang cibiran dan kritik yang bisa  datang silih berganti.
Politisi Gerindra, Fadli Zon misalnya mengatakan demikian, "Blusukan secara proporsional bagus saja sbg cara melihat langsung lapangan. Tp klu kecanduan blusukan maka harus diperiksa jgn2 gangguan 'gila pencitraan'," kata Fadli.
Risma harus terbiasa dengan hal ini, karena bukan di awal saja, di sepanjang perjalanannya, telinga Risma mesti terbiasa mendengar hal ini, dan harus diakui ini tentu akan lebih bising dibandingkan saat dirinya masih menjabat Walikota Surabaya.
Kedua, sembari melakukan hal yang pertama, Risma juga harus cakap dan cekat untuk menyelesaikan segudang persoalan di Kemensos.
Ini bisa dianggap sebagai penyeimbang pendulum yang nampak goyah dengan tuduhan pencitraan untuknya.
Bagaimana cara Risma untuk menyeimbangkan? Risma sebaiknya mampu melihat dan menggunakan sebagian kritik dan cibiran ini juga sebagai motivasi dan bahkan sebagai pengingat baginya.
Misalnya kritik politikus PKS, Hidayat Nur Wahid yang melihat Risma membungkus nasi dan berkata bahwa Menteri Sosial seharusnya kerjaannya bukan begitu, mungkin bisa menjadi pengingat bagi Risma, bahwa masih ada prioritas yang belum tergarap olehnya.
Harus diakui banyak 'pekerjaan rumah' mensos yang mesti dikerjakan Risma. Mulai dari database penerima bansos yang sering dipermasalahkan hingga mekanisme memberian bansos yang akhirnya membuat Mensos sebelumnya, Juliandri Batubara ditangkap KPK.
Sebenarnya banyak yang tidak meragukan kemampuan Risma untuk menyelesaikan hal-hal ini, hanya persoalannya Risma harus sadar bahwa dirinya sedang berburu dengan waktu.
Jika mampu menyelesaikan ini dengan cepat, niscaya akan mampu meningkatkan elektabilitasnya untuk bertarung di Pilkada DKI mendatang.