Clever, clever and clever! Berulang kali komentator pertandingan menyebutkan kata ini untuk menyambut gol dari Kingsley Coman di menit ke-59. Gol itu bermula dari umpan cerdas dari Joshua Kimmich. Bola Kimmich melambung, membelah dan seperti menemukan Coman yang langsung menanduk bola ke dalam gawang Keylor Navas.Â
Gol Coman tersebut menjadi satu-satunya gol yang tercipta di laga final Liga Champions 2019/2020 yang dihelat di Estadio de Luz, dini hari tadi waktu Indonesia.
Bayern Muenchen menjadi juara untuk keenam kalinya di kompetisi paling elit di Eropa ini, dan Paris Saint Germain (PSG) harus menunggu lebih lama untuk mewujudkan mimpi besar, Revons Plus Grande.
Bayern bergembira, Mueller dan Lewandowski terlihat berpelukan, melompat menari di tengah lapangan ketika sang pelatih, Hansi Dieter-Flick nampak kalem menyelamati para pemain baik pemain Bayern dan PSG. Tuchel terdiam, sedih, apalagi tak bisa bergerak banyak karena cedera. Â
Neymar, pria Brasil itu menangis tersedu-sedu. Bek tengah Bayern, David Alaba bahkan sibuk menghiburnya, Neymar sudah membuat PSG sudah tampil maksimal, namun sayang, harus ada yang menjadi pesakitan dan itu adalah PSG, itulah yang mungkin membuat Neymar menjadi amat sedih.
Cerdas. Saya sepakat bahwa Bayern tampil cerdik di laga yang berlangsung ketat dengan tempo yang tinggi ini. Kredit juga saya kira pantas disematkan kepada pelatih Bayern, Hansi Dieter-Flick yang mampu membuat Bayern tampil sebagaimana seharusnya.
Karena itu, Thomas Tuchel, allenatore PSG kali ini harus mengakui, Hansi Flick, pelatih yang baru diangkat Bayern pada November lalu ini memang lebih unggul darinya secara taktikal.
Paling tidak ada 3 (tiga) hal yang dapat menunjukkan bagaimana keunggulan taktik Hansi, dan bagaimana Bayern memang pantas unggul atas PSG di laga final tadi.
Pertama, pressing dari Bayern yang lebih berani dan berjalan lebih efektif dari PSG.
Kedua tim memulai laga dengan komposisi pemain dan formasi yang tak berbeda dari yang digunakan saat laga semifinal lalu. Bayern dengan 4-2-3-1, sedangkan PSG dengan 4-3-3. Sebuah hal yang wajar, karena merubah winning team, tentu sangat berisiko bagi kedua tim.
Di dalam tataan formasi ini, kedua tim memang menjelma menjadi tim yang sama-sama dikenal amat agresif---cepat dan berbahaya. Namun, pendekatan yang dilakukan oleh pelatih dari kedua tim nampak berbeda, terutama soal menerapkan pressing terhadap pemain lawan.
Bayern nampak berani dan agresif sedangkan PSG nampak lebih defensif. Saya menduga Tuchel memang menginstruksikan tiga gelandang tengahnya---Hererra, Paredes dan Marquinhos agak mundur lebih dalam.
Tuchel sepertinya lebih memilih untuk sedikit bertahan, sembari mengintip serangan balik menggunakan kecepatan Neymar, Mbappe dan Angel Di Maria.
Setiap pilihan ada risikonya. Dari pendekatan PSG ini, Bayern akhirnya seperti dibiarkan leluasa untuk melakukan pressing dan akibatnya membuat garis pertahanan PSG terpaksa mundur, dan ball possession menjadi milik Bayern.
Menguasai bola lebih banyak, gelandang kreatif Bayern, Thiago Alcantara sepanjang pertandingan nampak leluasa mengontrol dan mengarahkan bola, sebaliknya, Marquinhos yang di laga melawan Leipzig mampu tampil apik sebagai playmaker, kali ini dipaksa turun lebih dalam ke belakang.
PSG memang beberapa kali sukses melahirkan peluang dari skema ini, hanya siapa yang unggul dalam pressing dan menguasai bola lebih banyak, akan  memiliki kesempatan atau probalitas untuk mencetak gol lebih tinggi.
Ketika ball possesion dikuasai Bayern, pergerakan pemain nampak lebih dinamis. Itulah yang membuat Joshua Kimmich yang notabene bek sayap dapat leluasa mendekati kotak penalti PSG, lalu melepaskan umpan cantik yang berbuah gol bagi Bayern.
Thomas Tuchel baru sadar untuk melakukan antisipasi sesudah gol tersebut. Gelandang kreatif asal Italia, Marco Verrati dimasukkan dengan harapan PSG dapat kembali menguasai lini tengah. Sayangnya, ketika bola kembali dapat dikuasai, Bayern malah mampu bertahan dengan amat baik. Artinya, sudah terlalu terlambat bagi PSG.
Baca Juga : Paradoks Hansi Dieter-Flick dan Legacy Giovanni Trapattoni
Kedua, eksploitasi sektor sayap Bayern yang lebih berhasil.
Saya dan mungkin banyak penikmat bola tentu sepakat bahwa inti pertarungan Bayern dan PSG di dalam kondisi normal adalah di sektor sayap---di luar kondisi bahwa pada akhirnya, kedua tim bergerak dengan compactness (kerapatan) tinggi untuk menutup pergerakan ini.
Meskipun dalam pertandingan nampak lebih minor dibandingkan laga kedua tim sebelumnya, namun bagi saya eksploitasi di sisi ini lebih berhasil dilakukan oleh Bayern.
Jika dicermati, kekuatan sayap bukanlah soal agresifitas semata, tetapi juga soal keseimbangan. Untuk ini, sekali lagi saya pikir Bayern memang unggul.
Joshua Kimmich dan Serge Gnabry berulang kali terlihat apik untuk saling menyokong satu sama lain dalam bertahan dan menyerang. Begitu juga Alphonso Davies dan Kingsley Coman di sisi lain yang terus menjaga jarak satu sama lain.
Perhatikan PSG, hal sebaliknya terjadi. Bek sayap kanan mereka, Thiago Kehrer nampak terlalu jauh dengan Angel Di Maria, begitu juga dengan Kylian Mbappe yang berlimpit dengan Juan Bernat di sisi kiri.
Angel Di Maria misalnya, terlalu lambat untuk mundur ketika Bayern menyerang, tetapi perhatikan pergerakan Serge Gnabry. Penyerang sayap Bayern yang menjadi pahlawan Bayern saat melawan Lyon ini, bukan saja mampu mundur ke belakang membantu pertahanan, tapi siap beradu fisik bahkan memancing emosi Neymar di babak kedua.
Pelatih Bayern, Hansi Flick nampaknya paham bahwa siapa yang menguasai sisi ini akan unggul.
Pergantian pemain di sektor sayan ini juga berjalan efektif bagi Bayern. Ivan Perisic dan Coutinho dimasukkan untuk menggantikan Coman dan Gnabry sesudah Bayern unggul.
Dengan pergantian ini lini ini terus bergerak dalam tempo tinggi dan sebaliknya PSG mulai ngos-ngosan, Neymar dan Mbappe sudah nampak kelelahan setelah stamina mereka terkuras karena harus menjemput bola lebih dalam.
Mengeksploitasi sektor sayap dengan intensitas tinggi, menjaga alur bola dari tengah, membuat pertandingan final tadi memang pantas menjadi milik Bayern.
Ketiga, Manuel Neuer yang tampil Brillian.
Saya terpaksa menyebut sebuah nama untuk diberikan apresiasi khusus dan saya memilih untuk menyebutkan nama kiper Bayern, Manuel Neuer. Lebih dari 3 kali saya kira Neuer menyelamatkan gawang Bayern, entah dari bola set piece, atau duel bola satu lawan satu.
Bayern pantas bersyukur masih memiliki Neuer. Pria kelahiran Gelsenkirchen ini memang sudah berusia 34 tahun, namun pengalaman dan kematangannya bicara banyak di laga final.
Neuer menjadi satu dari sedikit nama yagn tersisa di Bayern setelah meraih gelar mereka yang terakhir di Liga Champions, pada musim 2012/13.Â
Di lapangan, masih ada Jerome Boateng dan Thomas Mueller, yang tampil pada final saat mengalahkan Borrusia Dortmund saat itu dengan skor, 2-1.
Inilah yang membuat Neuer dengan cekatan mampu membaca arah serangan PSG dan bagaimana arah bola ditendang oleh para penyerang PSG.
Neuer mampu menutup ruang, sehingga bola seperti terus mengarah pada dirinya, dan lebih daripada itu tangan dan kakinya nampak cekatan menjaga bola untuk tidak melewatinya.
Misalnya, di babak pertama. Double saved berhasil dilakukan Neuer ketika Neymar terlepas dari pengawalan pemain belakang Bayern. Tendangan bola Neymar tertahan di antara kedua kakinya, bola rebound lalu kembali disambar Neymar tetapi sambil terbang kedua kakinya bisa menghalau bola itu.
Jika bukan Neuer di bawah gawang Bayern, maka hasilnya dapat berbeda. Saya bahkan sempat kuatir ketika Jerome Boateng harus ditarik keluar lebih awal karena cedera. Apakah Bayern dapat tampil bertahan dengan apik? Neuer akhirnya menjadi pembeda, pahlawan. Tembok Bayern nampak masih tebal karena dirinya.
Ketiga hal ini memang tidak membuat Bayern nampak superior atas PSG namun menentukan di lapangan. Karena bagi saya, PSG sudah tampil maksimal.
Pelatih PSG, Thomas Tuchel menggunakan pendekatan defensing yang menurut saya wajar, karena perlu berhati-hati melawan Bayern yang dalam 10 pertandingan ini selalu menang dengan rata-rata gol tiap pertandingan 4,2 gol.
PSG sudah maksimal memacu Neymar dan Kylian Mbappe agar menggunakan kemampuan individu mereka untuk membuat Bayern harus mengeluarkan mungkin lebih dari 100 persen kemampuan mereka di laga final.
Laga yang nampak sulit bagi kedua tim, namun sang pemenang adalah pihak yang menaruh perhatian pada hal-hal sederhana atau detail dan menunggu untuk terus sabar sampai tim lawan sedikit lengah. Bayern melakukannya dengan cerdas sehingga pantas untuk juara. Selamat, Bayern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H