Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sevilla Juara Liga Eropa, Ada Apa dengan Inter Milan?

22 Agustus 2020   05:21 Diperbarui: 22 Agustus 2020   07:50 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sevilla Juara Liga Eropa 2019/2020 I Gambar : AP/Lars Baron

Babak kedua berjalan lebih lambat hingga di menit ke-74, lalu hal yang tak biasa terjadi. Bek tengah Sevilla, Diogo Carlos melakukan tendangan Salto di kotak penalti Inter, bola hampir mengarah keluar lapangan, tapi ada Romelu Lukaku yang lalu membelokkan bola ke arah gawang Handanovic. Skor berubah menjadi 3-2 bagi Sevilla.

Diogo Carlos dan Romelu Lukaku adalah dua sosok yang membuat final Liga Eropa 2019/2020 yang dihelat di Cologne, Jerman itu tensinya meningkat di awal pertandingan. Di menit ke-5, Carlos-lah yang membuat Sevilla mendapat hukuman tendangan penalti sesudah melanggar Romelu Lukaku.

Lukaku yang menjadi eksekutor melakukan tugasnya dengan dingin. Tendangan presisinya membuat penjaga gawang Sevilla, Yassine Bounou tak bisa berbuat banyak, Sevilla ketinggalan 0-1. Sesudah itu, pertandingan berlangsung dengan tempo tinggi dengan saling jual beli serangan dan saling kejar mengejar gol.

Striker Sevilla asal Belanda, Luuk De Jong berhasil membuat skor menjadi imbang di menit ke-11 dan bahkan membawa Los Nervionenses unggul 2-1 di menit ke-33 sebelum disamakan oleh Diego Godin di menit ke-36. Empat gol tercipta di babak pertama yang membuat laga final ini berlangsung seru.

Akan tetapi di babak kedua, kedua tim bermain lebih lambat dan hati-hati. Setelah peluang emas dari Lukaku saat berhadapan one to one dengan Bounou urung menjadi gol, gol dari Diogo Carlos merubah hasil pertandingan seketika. Inter tak bisa mengejar dan akhirnya Sevilla menjadi juara Liga Eropa 2019/20.

Prediksi para pandit ternyata keliru. Inter Milan yang nampak perkasa sepanjang kompetisi harus takluk. Antonio Conte yang mampu membuat Inter tampil trengginas bahkan menggilas Shatkhar Donetsk lima gol tanpa balas di semifinal, kehabisan akal di final kali ini. Sebenarnya ada apa dengan Inter Milan di laga final kali ini?

Saya kira ada 3 (tiga) hal yang dapat dikemukakan untuk menilai bagaimana Inter ditaklukkan Sevilla di laga pamungkas Liga Eropa 2019/2020 ini.

Pertama, respon taktikal yang amat minim dari Inter Milan di babak kedua.

Secara taktikal, Antonio Conte dan Julen Lopetegui tidak melakukan perubahan signifikan di laga ini. Inter tampil dengan formasi andalannya 3-5-2 dan dis-counter Lopetegui dengan 4-3-3.

Kedua tim saling menjaga alur serangan dari sayap dengan formasi ini, sambil berharap para striker mereka mampu melakukan manuver pergerakan dari tengah.

Dua gol pertama dapat dianggap dari kelengahan kedua tim memainkan taktik mereka. Gol pertama Inter lahir dari keteledoran pemain Sevilla membiarkan Lukaku bergerak terlalu bebas, sedangkan gol dari Sevilla terjadi ketika Jesus Navas dibiarkan leluasa melepaskan umpan silang ke daerah pertahanan Inter.

Sesudah dua kesalahan tersebut kedua tim bermain rapat. Gol yang terjadi selanjutnya terjadi berawal dari set piece tendangan bebas bukan dari skema bola mengalir di lapangan. Termasuk gol penentu dari Diogo Carlos.

Sebenarnya, Inter yang lebih diunggulkan bisa lebih agresif untuk merubah pertandingan ketika melihat bahwa irama pertandingan melambat di babak kedua. Sayangnya, Conte kali ini nampak menunggu, terutama setelah ketinggalan.

3-5-2 Inter baru dirubah menjadi 4-3-1-2 saat Inter ketinggalan. Bahkan Conte masih terlalu hati-hati dengan mengeluarkan Lautaro Martinez dan digantikan dengan Alexis Sanchez---saat harus mengejar marjin gol.

Padahal menurut saya mempertahankan Lautaro Martinez dan Romelu Lukaku serta menamabh Sanchez akan menambah pressing Inter pada Sevilla, sayangnya Conte masih sangat berhati-hati, dan membuat taka da perubahan signifikan dari Inter terutama saat harus mengejar defisit gol.

Untuk respon taktikal yang menurut saya minim dan tak mau mengambil resiko ini, Inter nampak seperti tim semenjana yang tak siap untuk bermain di final. Ada kemunduran reaksi taktikal, dan runner-up adalah kepantasan untuk ini.

Kedua, pergantian pemain yang lebih efektif dari Sevilla untuk menjaga tempo pertandingan.

Kecerdasan melakukan pergantian pemain saya pikir salah satu kunci kemenangan Sevilla. Saya tentu tidak menghitung masuknya Munir menggantikan Lucas Ocampos di menit ke-71 karena Ocampos terbelit cedera.

Akan tetapi jika kita perhatikan dengan jeli, maka pergantian Franco Vazques untuk Suso saya pikir keputusan jenius dari Lopetegui. Suso di sisi kanan memiliki kecepatan, sehingga sering memaksa pemain Inter seperti Bastoni dan Ashley Young di sisi itu sering berjibaku dan tertahan di belakang.

Perhatikan. Ketika Vazques masuk di menit ke-77, meski tetap bergerak dari sisi kanan, namun Vazques sering masul lebih ke tengah untuk membantu playmaker Sevilla, Ever Banega untuk menjaga aliran bola.

Inilah yang menurut saya membuat Inter nampak tertahan di tengah meski Christian Eriksen sudah masuk di lapangan. Bagaimana bisa menyerang ketika ball possession nampak masih imbang, apalagi gelandang perebut bola seperti Galgliardiani sudah keluar, dan Barella nampak ngos-ngosan menjelang babak kedua berakhir.

Mengganti Diogo Carlos dengan Nemanja Gudelj juga tindakan berani Lopetegui lainnya dan lagi-lagi efektif. Sedari awal babak kedua, saya menunggu kapan Carlos yang tampil agresif itu mendapat kartu kuning keduanya.

Lopetegui pintar. Tahu bahwa Inter akan lebih agresif, maka supaya Carlos tidak terlalu berhati-hati menggalang pertahanan Gudelj dimasukkan.

Sebaliknya beberapa pergantian Inter nampak sporadic tanpa efek berarti. Antonio Candreva dan Victor Moses hanya menjadi pergantian tanpa arti---selain melihat mereka nampak bingung siapa yang maju dan siapa yang mundur karena posisi mereka yang serupa.

Luuk De Jong mencetak dua gol I Gambar : AP
Luuk De Jong mencetak dua gol I Gambar : AP
Untuk ini, saya pikir adalah dampak dari kepanikan Antonio Conte. Conte tak siap ketinggalan di laga final, dan bagaimana merespons dengan pergantian pemain yang tepat. Sebaliknya, Lopetegui cerdik melakukan hal itu.

Terakhir untuk poin ini adalah dimasukkannya Luuk De Jong sebagai striker. Pilihan utama Sevilla sebagai striker tunggal selama ini adalah Youseff En-Nesyri, akan tetapi Lopetegui memilik Luuk De Jong. Apakah Lopetegui tahu permainan akan ditentukan oleh set piece bola mati yang menjadi kekuatan Luuk De Jong? Satu nilai lebih lagi untuk Lopetegui.

Ketiga, faktor "X" Sevilla yang tampak kuat di laga final ini.

Banyak yang mengatakan bahwa Liga Eropa ini adalah Liga Sevilla. Sevilla menjadi klub yang terlalu sering menjadi juara dalam satu dekade terakhir ini. Sudah empat kali Sevilla menjadi juara, bahkan tiga kali mencetak hattrick di periode 2013-2016.

Hal inilah yang membuat ada yang mengakatakan akan ada faktor "X" yang dikatakan akan menjadi kekuatan tersendiri bagi Sevilla di laga puncak nanti -meski Inter Milan lebih diunggulkan.

Saya tak percaya faktor "X", bagi saya kekuatan taktik adalah koentji. Namun kali ini saya "terpaksa" harus setuju bahwa ada faktor "X" tersebut.

Faktor yang membuat Sevilla bermain tanpa takut, berani menyerang dan berduel dengan pemain Inter Milan yang unggul kualitas, dan semua itu menjadi lengkap ketika tanpa diduga Diogo Carlos mampu mencetak gol yang tak biasa.

Gol perdana Carlos dari 8 pertandingan di Liga Eropa, yang membuatnya tersedu-sedu di bench saat tahu golnya akan membuat Sevilla menjadi juara.

Apakah ini yang dinamakan dengan Dewi Fortuna, atau sebuah keberuntungan? Tidak. Ini faktor "X", Dewi Fortuna itu nampak jika penampilan di lapangan berbeda jauh dengan hasil. Tidak. Sevilla bermain seperti akan juara, meski tidak diunggulkan, ada fakto X yang membuat hal itu terjadi.

Sampai kapan faktor 'X" itu akan hilang. Entahlah. Biarkan Sevilla menikmatinya, karena faktor ini muncul untuk kompetisi di Liga Eropa saja, bukan di kompetisi paling elit, Liga Champions. Sevilla nampaknya perlu faktor lain lagi untuk juara di Liga Champions nanti.

Ah, lupakan dahulu musim depan. Sevilla perlu bergembira, di tengah pandemi Covid-19, gelar juara adalah sebuah penghibur yang luar biasa. Sevilla pantas berpesta untuk gelar dan segala usaha yan gtelah dilakukan.

Selamat, Sevilla.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun