Ruang kosong ini tanpa disadari membuat PSG mudah bergerak merubah pola serangan mereka. Serangan tidak lagi direct ke sayap, atau bertumpu pada Neymar, namun build up serangan PSG dibangun dari belakang, melalui Marquinhos.
Kehilangan pressing tinggi dari Leipzig membuat Marquinhos menjadi regista yang bergerak bebas membangun serangan atau melepaskan umpan terobosan cepat membelah pertahanan Leipzig--yang lagi mengarah ke sayap. Leipzig menjadi kerepotan dan terlebih daripada itu terpkasa dibuat kehilangan momentum untuk menguasai bola lebih banyak.
Padahal, ball possession adalah koentji. Menguasai bola lebih banyak seperti membuka peluang dan memaksa agar lawan membuat kesalahan atau pelanggaran sendiri--itu semua berhasil dilakukan oleh PSG dengan efektif khususnya di babak pertama.
Di babak kedua, Nagelsmann mulai menyadari itu, tetapi sudah terlambat. Leipzig berhasil membuat penguasaan bola tidak berselisih terlalu banyak dengan 44% berbading 54% saja, tetapi PSG sudah terlalu rapat menutup pertahanan mereka setelah marjin gol mereka berubah menjadi tiga.
Kedua, gegenpressing ala PSG yang bekerja dengan maksimal, yang membuat Leipzig sering melakukan kesalahan sendiri.
Gol kedua dan ketiga PSG adalah buah dari kesalahan Leipzig ketika nampak panik saat ditekan pemain lawan. Untuk ini, kredit pantas diberikan kepada para pemain tengah PSG yang nampak ciamik dalam memainkan gegenpressing ala Liverpool.
Setiap kehilangan bola, Ander Herrera atau Leandro Paredes selalu menempel ketat pemain Leipzig. Ada dua pemain PSG yang sering menjadi builder saat membuka serangan dari kaki ke kaki, yaitu Kevin Kampl dan Marcel Sabitzer. Kedua pemain ini mati kutu karena pressing ketat para pemain PSG.
Menariknya, jika kita perhatikan saat laga perempatfinal, PSG yang dibuat kesulitan oleh gaya permainan ini oleh Atalanta, namun kali ini Thomas Tuchel membalikkan situasi terhadap Leipzig. Memang, pelatih yang hebat adalah pelatih yang dapat segera mengevaluasi permainan, dan menemukan cara yang tepat untuk memperbaikinya.
Sebenarnya, Nagelsmann terlihat sudah  menginstruksikan pemainnya agar bermain bola panjang karena terus di-pressing dari garis pertahanan. Upamecano beberapa kali langsung melepaskan umpan ke arah Nkunku atau Lamier,  sial bagi Leipzig, Tuchel sudah cepat membaca gerak itu dengan menginstruksikan agar dua full backnya, Kehrer dan Bernat tak terlalu maju ke depan. Leipzig secara taktikal sudah kalah di babak pertama.
Saat di babak kedua, Nagelsmann menaikkan garis pertahanan dan lebih agresif. Akan tetapi inilah juga yang membuat bek sayap PSG seperti Juan Bernat sudah lebih bebas ikut menyerang. Hasilnya gol dari Bernat terjadi, membuat pertandingan nampak sudah usai seusai gol tersebut. Kontra taktikal kali ini harus diakui dimenangkan Tuchel.Â