Dalam dunia digital marketing, sepertinya menjadi viral adalah koentji. Semakin viral, maka akan semkain dikenal dan tentu saja akan menambah monetize.
Viral dan kontroversi itu juga sering berjalan seiring, tidak masalah, namun itu lain cerita jika berkaitan dengan kebijakan publik, semakin viral, maka deliknya adalah pertanggungjawaban.
Saya pikir ini sangat dipahami oleh Mendikbud, Nadiem Makarim, bahkan mungkin sudah menjadi bagian atau gaya hidupnya. Nadiem suka membuat terobosan yang menjadi viral, dan tentu karena itu akhirnya berdampingan dengan polemik.
Polemik itu adalah hal biasa dalam negeri demokrasi, jika tak ingin ada polemik, buat saja negeri sendiri, jadi presiden sekaligus menteri dan rakyat sekalian, jika pada akhirnya berpolemik sendiri, maka itu gila namanya.
Akan tetapi jangan terlalu sering juga mengundang polemik, kalau datang seharusnya tak diundang, tetapi jika sering diundang maka akan repot nantinya.
Soal ini Menteri Nadiem juaranya, mulai dari terobosan merdeka belajar, ide membayar uang sekolah melalui Gopay dan kebijakan lainnya mengundang polemik. Seperti gelombang, pasangnya pernah tinggi tapi surut lagi, Nadiem maju terus pantang surut terlalu dalam.
Hanya kali ini, polemik Nadiem saya pikir serius yaitu yang berkaitan dengan Program Organisasi Penggerak (POP). Program ini adalah terobosan terbaru Nadiem.
Dari Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020, dijelaskan Program Organisasi Penggerak adalah program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan melibatkan organisasi masyarakat (ormas) sebagai mitra yang berdampak pada peningkatan hasil belajar peserta didik.
Intinya adalah melalui program organisasi penggerak ini ormas dan mitra diminta untuk mendidik para guru/pengajar dalam kerangka untuk mencerdaskan bangsa. Â
"Program Organisasi Penggerak dilaksanakan dengan tujuan mencari bibit-bibit inovasi yang sudah dilakukan berbagai macam ormas di gerakan pendidikan," ujar Nadiem dalam penjelasannya melalui konferensi video, Jumat (24/7).
Secara teknis Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 595 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.
Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan, dan Kijang. Untuk Gajah, dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan Rp 5 miliar per tahun dan Kijang Rp 1 miliar per tahun.
Hanya seperti biasa, program ini menimbulkan kontroversi, dan membuat sejumlah organisasi besar mundur dari program POP itu, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) PP Muhammadiyah.
Ada apa sebenarnya, sehingga para organisasi "gajah" ini mundur. Dari pemberitaan berbagai media, dilansir ada beberapa ketidakberesan yang dituduhkan dalam proses POP ini sehingga dirasa akan tidak produktif dalam pelaksanaannya.
Tuduhan yang paling serius adalah soal adanya dugaan telah memilih organisasi yang tidak tepat sebagai penerima dana POP. Dalam pemberitaan dua lembaga CSR dari Sampoerna dan Tanoto Foundation disinyalir lolos seleksi.
Inilah yang membuat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) PP Muhammadiyah memilih mundur, padahal di tiga organisasi inilah sebenarnya program ini dibebankan agar dapat berjalan sukses.
Pertanyaannya adalah bagaimana bisa lembaga CSR dari korporasi besar yang seharusnya membantu negara bahkan kali ini mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Karena itulah dugaan lain tentang adanya ketidakberesan soal transparansi, akuntabel dan pelibatan publik juga mengemuka.
Sejumlah politisi ikut bersuara, seperti politisi Gerindra, Fadly Zon yang meminta agar Presiden Jokowi menegur Nadiem.
"Mundurnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak (POP) milik Kemendikbud seharusnya direspons serius oleh Presiden Joko Widodo," ujar Fadli Zon, Sabtu (25/7/2020).
Bukan itu saja, Fadly juga meminta agar program ini segera dihentikan dengan berbagai alasan seperti proses seleksi bermasalah, payung hukum yang belum jelas dan sebagainya.
Selain politisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ikut bersuara melalui Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Nawawi mengatakan bahwa KPK terus memantau program seperti ini, seperti program BPJS atau Kartu Prakerja, dan KPK berharap agar perlunya sikap berhati-hati dalam pelaksanaan program sejenis.
"Tentu saja ada pemantauan KPK terhadap program-program semacam ini karena salah satu tugas dan fungsi KPK yang diamanatkan dalam Pasal 6 huruf c UU 19 Tahun 2019 adalah tugas monitoring," kata Nawawi.
Kabar terakhir, Nadiem akan melakukan evaluasi terhadap program ini sesudah polemik yang terjadi. Evaluasi yang diharapkan dapat melibatkan semua pihak yang terkait sehingga mendapatkan solusi terbaik, termasuk jika program ini perlu dihentikan.
Polemik ini seperti menjadi warning bagi pemerintahan Jokowi saat ini, agar para menteri perlu mulus dalam membidani sebuah program, jangan sampai terus-terusan membuat kegaduhan dan akhirnya berimbas pada kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H