Langsung saja. Ada yang bertanya demikian mengapa Jokowi merestui anaknya Gibran Rakabumi untuk maju dan bertarung pada pemilihan Wali Kota Solo 2020? Bukankah itu sebuah langkah dari sebuah politik dinasti?
Pertanyaan pertama jelas keliru, karena yang menunjuk Gibran atau yang menentukan untuk maju pada Pilkada jelas bukan Jokowi, tetapi PDI-P sebagai partai pengusung, sehingga alangkah baiknya jika kita membahas pertanyaan, apakah Jokowi sedang melakukan politik dinasti di sini?
Menurut saya, jawabannya, secara tipis-tipis iya, meski tebal tipis kadang-kadang subyektif melihatnya. Saya pikir politik dinasti di sini untuk kasus Gibran tentu saja berbeda dengan dinasti "parah" yang melahirkan pemimpin parah yang cenderung korupsi, ini terlihat di beberapa daerah.
Misalnya, ada bupati yang menunjuk adik, iparnya untuk "bermain" di daerah yang sama, lalu mulai kongkalikong juga untuk menunjuk saudara yang lain menjadi anggota DPRD, ini jelas ngeri, konflik kepentingan terjadi, dan nyatanya demikian, korupsi akhrinya terjadi.
Kembali ke Jokowi dan Gibran, apakah ini mungkin terjadi. Saya pikir terlalu jauh melihat ini sama dengan contoh yang saya katakan tadi. Bagi saya, Jokowi dan Gibran hanya ingin memanfaatkan momentum saja.
Jokowi sedang dicintai rakyatnya, lalu tinggal satu periode menjadi Presiden dan tentu saja populer sehingga ingin menaikkan Gibran yang kurang populer itu menjadi populer karena nama bapaknya, sah-sah saja. Artinya, tidak ada yang mengerikan menurut saya dari restu Jokowi pada Gibran ini.
Maksud saya yang mengerikan seperti ini, bahwa nampak jelas apa yang dimaksud oleh Lord Acton bahwa "power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely". Ini terlalu jauh, Belanda masih jauh, sehingga melihat ini sebagai potensi yang destruktif nantinya juga ibarat masih di awang-awang.
Persinggungan Jokowi dengan Gibran juga masih jauh dari sisi kepentingan nantinya, tidak ada yang terlalu perlu dikuatirkan, meski ada yang melihat ini memakai kacamata Thomas Hobbes, dalam Leviathan yang menyebut manusia dilahirkan dengan membawa hasrat untuk berkuasa.
Apakah nafsu kekuasaan yang membuat Jokowi merestui Gibran? Tak usah munafik, pasti ada dan itu sah-sah saja, karena Hubbles sendiri mengatakan bahwa hasrat pada kekuasaan itu merupakan dorongan alamiah yang terus-menerus (perpetual) dan tidak kenal lelah (restless) dan satu-satunya yang dapat menghentikan dorongan itu hanyalah kematian.
Persoalannya nanti, jika kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Lha, ini belum apa-apa, ibarat berlayar, ini juga baru mau beres-beres kapal, layar juga belum sempurna terkembang.
****
Sebenarnya jika hal-hal di atas itu beres, maka saya mencoba melihat dari sisi lain yaitu soal tepatkah restu ini dari sisi kemampuan Gibran? Bukankah ini bisa disebut sebagai langkah yang prematur karena profil Gibran yang masih hijau dalam politik?
Untuk ini, dari awal saya memang ragu. Gibran dapat dikatakan masih minim pengalaman untuk turun gunung. Memaksa Gibran tanpa melihat kemampuannya secara detail juga berbahaya, apalagi perlu diingat beban nama besar Jokowi juga akan menjadi persoalan sendiri bagi Gibran.
Lalu ada yang mengatakan demikian, "Ah, Gibran kan tinggal copy paste yang dilakukan oleh Jokowi di Solo? Sekarang saya tanya, copy paste apa yang sempurna, meski itu mudah untuk dilakukan. Esensi dari copy paste adalah memindahkan originalitas ke wadah lain, dan itu memang tidaklah mudah.
Okay, Â jika Gibran itu dilahirkan prematur secara politik, maka saya kira ada dua hal yang perlu dilakukan oleh Jokowi. Pertama, memberikan kapan naga geni segera seperti yang dilakukan oleh Sinto Gendeng kepada Wiro Sableng.
Maksud saya, perlu ada senjata khusus yang menjadi ciri khas dari Gibran yang membuat dia dapat "hidup" sendiri, jika gagal, maka Gibran akan dengan mudah tenggelam dibentur-benturkan ke sana-sini.
Kedua, Jokowi harus mempersiapkan inkubator bagi Gibran yang prematur ini. Inkubator itu lingkungan yang membuat Gibran harus dapat bernapas dan tetap hidup selanjutnya. Hanya bermodalkan pekik "Merdeka.. Merdeka" dalam setiap orasinya tidak akan membuat Gibran bertahan lama.
Langkah Jokowi dapat dikatakan apik ketika menghubungi Purnomo, seorang sahabat yang harus "dikorbankan" demi jalan politik Gibran.
Ini sebuah langkah dalam kerangka inkubator bagi Gibran. Sebagai bayi, Gibran perlu tidur tenang dalam pertumbuhannya, memastikan pasokan oksigen cukup dengan suhu yang jangan terlalu panas atau terlalu dingin.
Artinya, sebagai partai, PDIP harus disiapkan juga untuk tetap solid mendukung Gibran. Membayangkan Gibran yang masih lugu dan sudah bermimpi untuk melakukan ini itu dengan memandang political plan seperti business plan, maka Gibran tidak akan siap jika harus lebih dulu menata lingkungan politik di sekelilingnya. Karena itu, hal ini harus disiapkan Jokowi lebih dahulu.
Jika kedua hal ini beres, maka langkah menunjuk atau merestui  Gibran bukanlah sebuah langkah "bunuh diri", bagi Jokowi, Gibran dan juga dinastinya.
Jokowi tentu sudah bermimpi Gibran akan menjadi suksesor di masa depan, namun jika tidak cermat dalam menentukan langkah-langkah untuk mempermudah gerak Gibran yang masih hijau, maka bisa saja keputusan ini bisa menjadi hal yang buruk bagi karir Gibran ke depan. Semoga saja tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H