Jika ukurannya adalah menteri yang bisa memuat kebijakan yang tepat ketika pandemi covid-19, maka harus diakui tidak ada yang dikatakan menonjol.
Situasi pandemi yang asing ini bukan saja membuat menteri di Indonesia gelagapan, tetapi juga secara global mengalami hal serupa.
Apakah seharusnya ada kebijakan yang lebih baik dalam ekseskuinya? Jawabannya iya, dan sektor yang menjadi perhatian adalah kesehatan, ekonomi dan pendidikan.
Dari beberapa hal ini, maka bisa diduga bahwa alasan kinerja menteri yang semakin baik bukanlah alasan primer mengapa Istana berusaha meredam isu reshuffle kabinet ini. Sehingga alasan kegaduhan dan ribut-ributlah yang dapat diangkat ke permukaan.
Gaduh yang seperti apa? Reshuffle tanpa kegaduhan, seperti makan tanpa garam, kurang afdol, hanya ketika kegaduhan itu pada akhirnya kontraproduktif bagaiman rencana istana ke depan, maka memang harus dihentikan.
Perhatikan saja gelagat politikus dan partai politik menanggapi isu reshuffle ini. Jika dicermati ada pergerakan, baik di bawah tanah maupun di permukaan.
Masing-masing mulai bersiasat untuk menyelamatkan dirinya, sekaligus melihat kesempatan di dalam kesempitan.
Ada yang mulai menyebut nama-nama menteri yang seharusnya diganti, dan ada pula yang langsung melakukan pertemuan-pertemuan politik baik secara terbuka maupun tertutup.
Istana atau Jokowi berada di persimpangan. Mau melakukan reshuffle untuk kinerja yang lebih baik, atau berani menghadapi dinamika politik menjelang Pilkada 2020 atau meretas jalan menuju Pilpres 2024? Apalagi situasi pandemi membuat beberapa hal menjadi lebih sulit.
Reshuffle itu bisa dikatakan seperti restart. Maksudnya seperti ini.Â
Jika Jokowi berani mengutak-atik kabinet sekarang dengan postur yang berubah secara ekstraordinary, Â maka Jokowi harus siap menghadapi gesekan-gesekan, ini yang dihindari dengan pernyataan Praktikno.