Tidak ada yang keliru dalam sebuah siasat, apalagi siasat dalam berpolitik. Siasat itu masuk dalam ranah seni berpolitik, siapa yang pandai dalam bersiasat dia yang akan menang. Sesederhana itu.
Isu tentang reshuffle Kabinet menggelinding dengan cepat dan bolanya berubah terasa semakin panas.
Pernyataan Jokowi yang tidak puas dengan kinerja para menterinya, memunculkan berbagai spekulasi, dan bagi para politisi partisan, ini adalah sebuah kesempatan berlomba dalam "kolam kemungkinan".
"Kolam kemungkinan" itu adalah ruang untuk bagaimana politik sebagai seni kemungkinan (the art of possibilities), apa yang tidak mungkin menjadi mungkin itu mendapat tempat geraknya.
Ruang untuk diplomasi, negosiasi, perubahan struktur koalisi bahkan "kampanye" dalam bentuk yang berbeda akan riuh kembali.
Di ruang inilah, pencitraan demi meraih atau mempertahankan kedudukan dalam struktur kekuasaan akan bergejolak kembali.
Narasi reshuffle adalah pemicu. Setiap politisi dan juga partai mulai berhitung, menyiapkan strategi sebelum, dan sewaktu reshuffle dilakukan.
Diplomasi dilakukan, pencitraan dan "kampanye" dilakukan untuk menyedot perhatian publik sekaligus mengarahkan ke tujuan politik mereka, sambil berharap prerogative Jokowi berjalan seirama dengan keinginan mereka.
Ini adalah sebuah hal yang menarik untuk disimak. Ada beberapa contoh untuk mencermati fenomena yang terjadi ini.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) misalnya yang seperti mengambil start terlebih dahulu melalui pernyataan politisinya Maman Imanulhaq.
Melalui Maman, PKB menyatakan bahwa jika presiden terpaksa harus melakukan reshuffle kabinet kerja maka dua menteri, yakni Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.