Tiba-tiba nama Ketua Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menjadi titik kehebohan atau perhatian publik. Sayangnya bukan soal keberhasilan dalam mengungkap kasus korupsi, tetapi soal etika.
Etika Firli dipertanyakan sesudah diketahui naik helikopter mewah saat melakukan kunjungan ke Baturaja, Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan.
Kabarnya ini bukan kunjungan kerja karena Firli menggunakan cuti sehari untuk berkunjung ke kampung halaman. Namun, penggunaan heli mewah inilah yang menjadi titik persoalan.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK telah bereaksi dan memanggil Firli Bahuri untuk diklarifikasi soal ini, apalagi tindakan Firli ini juga sudah menjadi laporan dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kepada KPK.
Tahap yang sedang dilakukan berdasarkan keterangan dari anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris adalah pengumpulan bukti dan meminta keterangan saksi.
"Dewas masih akan terus kumpulkan bukti dan meminta keterangan saksi-saksi dan pihak-pihak yang tahu, mendengar, melihat, dan/atau memiliki info terkait isu tersebut," kata anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris kepada wartawan, Minggu (28/6/2020).
Pertanyaan sederhananya adalah mengapa tindakan Firli ini menjadi pusat perhatian? Apakah Ketua KPK tidak boleh menyewa Heli mewah?
Dari berbagai pemberitaan, polemik Firli ini tidak dapat dianggap remeh karena berkaitan dengan Kode Etik. Di dalam Peraturan Komisi Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK soal ini diatur dengan jelas di dalam konteks pimpinan KPK tidak boleh menampilkan gaya hidup mewah.
Bahkan secara spesifik dikatakan dalam aturan tersebut bahwa pimpinana KPK bahkan dilarang untuk bermain golf karena termasukolahraga mahal.
Setelah Undang-Undang KPK direvisi pada 2019, organ Dewan Pengawas bahkan menerbitkan aturan baru mengenai kode etik untuk segenap pegawai KPK, termasuk juga pimpinan dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK dengan penegasan sama, yakni melarang pimpinan bergaya hidup mewah.
Tindakan Firli ini juga mengundang respon dari para pimpinan lembat antirasuah terdahulu. Seperti mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang yang mengatakan bahwa pimpinan hingga pegawai KPK harus mengedepankan hidup sederhana.
Inilah yang membuat Saut mesti menjual mobil Jeep Rubicon miliknya ketika menjabat pimpinan KPK era kemarin setelah diperingatkan oleh ICW, meski mobil itu sudah dibelinya sebelum mejadi pimpinan KPK.
Ketua KPK Periode 2011-2015 Abraham Samad juga berpendapat senada. Samad mengatakan bahwa pada masanya atau bahkan pemimpin sesudahnya --sebelum Firli, belum ada pimpinan KPK yang melakukan tindakan menyewa heli mewah, karena prinsip bekerja di KPK adalah menghindari kemewahan dan pemborosan dari setiap aspek.
Maskudnya adalah marwah etika komisi antirasuah untuk tidak bergaya hidup mewah ini harus juga dibawa dalam keseharian bukan saja dalam pekerjaan dinas.
*****
Jika ditelisik lebih jauh, bergaya hidup mewah ini bukanlah persoalan kecil. Seringkali bergaya hidup mewah adalah akar dari keinginan untuk korup. Sebagai pejabat publik, ini memang wajib hukumnya untuk dihindari.
Ada dua hal yang dapat menjadi alasan, pertama, ini menjadi contoh atau teladan bagi publik dan kedua, untuk menjaga agar tidak ada perbenturan kepentingan atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Pejabat publik yang terlihat mewah itu hal yang biasa, tetapi jika bisa mewah tapi memilih untuk sederhana itu yang hebat. Firli mungkin mampu menyewa, tetapi sebagai pejabat publik panggilan untuk memberi teladan kesederhanaan itu adalah etika yang perlu dijunjung tinggi, jiak tak mampu melakukannya, maka gawat.
Dimanafaatkan karena perbenturan kepentingan juga sesuatu yang harus dijaga. Dewas KPK tentu juga akan menyelidiki apakah penyewaan heli ini karena biaya pribadi atau dibiayai orang lain, jika orang lain itu siapa. Ini sangat gawat, karena jika dibiayai oleh orang lain maka wajah KPK akan ditaruh dimana.
Artinya persoalan ini memang serius. Kita tinggal menunggu Dewas KPK yang berisi nama-nama dengan reputasi kuat seperti Syamsuddin Haris, Albertin Ho menjalankan tugasnya. Yang pasti, KPK akan semakin disorot, setelah beberapa hari lalu para pimpinan KPK mendapat rapor merah dari ICW berkaitan dengan kinerja penindakan, pencegahan, dan kebijakan internal KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H