Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Stupidity" pada Protokol Kesehatan Itu Sakitnya di Sini....

23 Mei 2020   17:14 Diperbarui: 23 Mei 2020   17:17 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Kompas.com

Pada esensinya virus corona atau Covid-19 tidak memandang bulu, tua muda, kaya miskin, yang lebat atau jarang bulunya semua diembatnya. Namun, protokol kesehatan yang diatur manusia tetap ada bulunya juga, selama berbulu maka mungkin akan mendapat nasib lebih mujur.

Kemarin saya pergi ke sebuah kantor penyedia layanan jasa internet di kota saya. Selain ingin membayar tagihan, saya juga ingin mematikan atau menonaktifkan beberapa add on atau siaran tambahan. Ingin lebih berhemat di sektor hiburan demi tambah-tambah uang beras.

Di halaman kantor tersebut sepertinya sudah diterapkan protokol kesehatan. Terlihat di halaman depan terlihat beberapa kursi yang sudah diletakan berjarak sekitar 55,5 cm, tak tepat 1 meter.  

Saya langsung menuju ke arah dua orang pria, layaknya petugas berpakaian biru-biru seperti satpam, untuk mengambil nomor antrian. Nampaknya mereka satpam, tapi dari wajah terlihat kurang garang.

"Kaka belum cuci tangan kan, cuci tangan dulu?" kata salah satu dari antara petugas itu sambil menunjuk ke tangki air fiber berwarna kuning berukuran sedang tak jauh dari tempat itu.  

"Oh iya..." kata saya melangkahkan kaki ke arah tempat cuci tangan tersebut. Kedua tangan lalu saya cuci dengan bersih, wangi setelah cairan sabun di botol plastik saya gunakan cukup banyak. Mumpung gratis.  

Beruntung masih tergolong pagi, karena pengalaman saya,  mendekati siang maka botol plastik itu hanya tersisa busa, atau bahkan hanya diisi air saja.

Tidak semua sih yang seperti itu, namun beberapa kantor saya perhatikan agak pelit soal sabun ini, atau mungkin saja pernah dicuri oleh konsumen sehingga mereka lantas berhemat. Entahlah.

Setelah mencuci tangan, saya langsung menuju ke arah petugas tersebut sambil mengelap tangan di jaket. Tidak tersedia kain atau tisu. Benar toh, pelit kan?

Sesudah mendapat nomor antrian saya mulai duduk di barisan berjarak, dibawah tenda dengan terpal berwarna orange, yang membuat kulit terlihat berwarna seperti jeruk saat sinar matahari seperti menembus terpal tersebut. Panas.

Saya lalu memperhatikan gerak gerik, lenggak lenggok pelanggan yang datang dan protokol kesehatan yang dilakukan oleh para petugas.

Nah, setelah saya cermati  para petugas ini ternyata bersikap tak adil dan bertentangan dengan salah satu sila dalam Pancasila itu. Saya perhatikan, beberapa kali jika pelanggan itu terlihat bersih, necis, maka tak diminta untuk cuci tangan. Nomor antrian langsung diberikan.

Spontan saya lalu melihat sandal bermerek saya. Agak kotor sih. Mengambil HP lalu mencoba melihat wajah di kaca gelap HP. Iya sih, nampak tak terawat, mirip orang yang rentan terjangkit Covid-19. Jika corona bisa memilih mungkin saya adalah pilihan pertama dan utama.

Tapi ini tak bisa!! Kata hati saya yang lain, protes. Semua seharusnya setara di depan protokol kesehatan, apalagi saya adalah nasabah yang disiplin membayar dengan tepat waktu. Lha, ini mulai tidak nyambung.

Kata seorang teman, jika sedang marah, tarik napas dalam-dalam dan berhitung dari angka 1-10, maka akan tenang.

Nah, setelah saya selesai berhitung sambil mendalami, bahkan sampai dua kali karena terlalu kecepatan, saya juga tidak kunjung tenang. Sakitnya disini om, disini sambil menunjuk jidat. Iya sih, ini memang tidak menyerang hati, tapi menyerang otak, bisa kanker otak saya.

Saya perhatikan lagi, ingin mencari kesalahan yang diperbuat oleh para petugas tersebut biar saya bisa laporkan ke Ombudsman. 147?123? Saya lupa nomor yang dapat dihubungi.

Ternyata ada salah satu fenomena baru, bukan pada tamu yang necis atau yang terlihat kaya saja para petugas tersebut tak ketat soal protokol kesehatan, namun kepada tamu yang sangar dengan tato, badan berotot, atau rambutnya itu model "angkatan", mereka juga seperti meniadakan aturan itu.

Spontan sekali lagi,  saya lalu mengambil HP lalu melihat rambut saya. Ini mah sudah 2 bulan tidak digunting, ini angkatan Koes Plus ya bisa, tapi ya angkatan yang itu ya jauh. Jika bicara tato dan otot apalagi.

Bukan tato, tanda lahir hampir mirip cecak sih ada, kalau otot mah saya kan bukan orang yang suka ke gym, saya lebih suka main bulutangkis. Nah pernah lihat Taufiq Hidayat, mana ada otot. Apalagi saya.  

Kesimpulan saya, diskriminasi petugas disebabkan karena ketakutan  pada pelanggan tertentu. Bagaimana jika petugas itu dibentak, lalu dipukuli gara-gara meminta agar pelanggan harus memakai masker, atau mencuci tangan.

Saya lantas berpikir bahwa sebagian rakyat kita memang menimbulkan ketakutan sendiri bagi para petugas ini.

Mau diarahkan ke arah yang benar, kepada kebaikan bersama, malah akan dilawan, dituduh menghalang-halangi dan sebagainya. Serba salah bagi para petugas, apalagi sudah dalam kaitan hubungan dengan nasabah, nasabah adalah raja om.

Bukan di kantor saja, di beberapa video perlawanan itu terlihat juga di berbagai tempat.

Ketidaktaatan pada protokol kesehatan bahkan bisa dianggap bukan sebagai sebuah kesalahan, tetapi adalah hak setelah merasa terkungkung demikian lama.  Lagian tak jarang yang seharusnya memberi contoh malah melanggar.Eahh.

Akhirnya saya iba juga pada para petugas ini. Berimajinasi jika petugas itu ditabok oleh yang berotot itu, lalu yang berpakaian necis akan tersinggung menelepon bos dari sang petugas dan dia pada akhirnya dipecat, duduk di pinggir jalan jadi gembel, kasihan. Tapi saya bohong...

Saya bersyukur sih, meski kelihatan lecek, saya termasuk yang taat pada prosedur protokol kesehatan. Soal ini mah, bukan soal penampilan sih, tapi soal ini---sambil nunjuk kepala,  saya akan merasa malu jika tidak taat karena ini bagi beberapa orang berkaitan dengan kedalaman otak berpikir, dalam bahasa Ridwan Kamil disebut dengan stupidity.

Syukur, meskipun saya tampil apa adanya, saya masih taat. Sebenarnya saya takut juga sih, gimana kalo saya yang ditabok, benjol-benjol, mending saya duduk diam-diam saja, jangan cari masalah, lagian cuci tangan itu baik, jadi wangi. 

"55..." nah, akhirnya nomor saya dipanggil, kepada para petugas tersebut saya tersenyum, ingin menunjukan putihnya gigi. Tapi saya bohong, kan pake masker, mana bisa kelihatan giginya.

Wah, sebelum telat, saya ucapkan selamat hari idul fitri, mohon maaf lahir dan batin bagi rekan-rekan kompasianer semua.

Salam dari Kupang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun